Penyandang Disabilitas Menangis Haru Setelah Divonis Menangkan Gugatan atas Maskapai Etihad
Di tengah proses pembacaan putusan, Hakim Ketua majelis hakim, Ferry Agustina Budi Utami memutuskan untuk menghentikan pembacaan putusan
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Seorang penyandang disabilitas dan aktifis disabilitas Dwi Aryani menangis ketika berpelukan dengan ibunya usai pembacaan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang memenangkan gugatannya.
Aryani memenangkan gugatan atas Perusahaan Maskapai Penerbangan Etihad Airways, PT. Jasa Angkasa Semesta. Tbk., dan Kementerian Perhubungan RI pada Senin (4/12/2017).
Setelah itu Aryani tampak tersenyum di atas kursi rodanya sambil bersalaman dengan rekan-rekan sesama penyandang disabilitas yang telah datang sejak sekitar pukul sebelas siang.
Sekitar sepuluh orang rekan Aryani sesama penyandang disabilitas mengikuti sidang di dalam ruang pengadilan utama PN Jakarta Selatan hampir selama dua jam.
Aryani dan seluruh rekannya yang menggunakan kursi roda tersebut harus diangkat oleh beberapa wartawan dan kolega Aryani agar bisa masuk ruang pengadilan.
Hal itu karena lantai ruang pengadilan lebih tinggi sekitar 15 cm dibandingkan lantai di luar ruang sidang. Selama persidangan, mereka tampak tertib mendengarkan dan menyimak meski pengeras suara untuk hakim terdengar sangat pelan.
Kuasa hukum dari pihak tergugat maju dan meletakan sebuah ponsel dan sebuah alat perekam di atas meja majelis hakim.
Bahkan dua orang wartawan ikut maju bergantian ketika pembacaan putusan untuk meletakan mikropon dan ponselnya ke atas meja majelis hakim untuk merekam.
Namun di tengah proses pembacaan putusan, Hakim Ketua majelis hakim, Ferry Agustina Budi Utami memutuskan untuk menghentikan pembacaan putusan karena terganggu dengan salah satu ponsel yang berdering.
Pembacaan putusan kembali dilanjutkan setelah pemilik ponsel mengambil ponselnya.
Setelah pembacaan vonis selesai, kuasa hukum Aryani, Hepy Sebayang dan Ikhwan memberikan selamat kepada Aryani yang tampak tersenyum mendengar putusan hakim yang menangkannya.
Setelah itu giliran para pengantarnya memberikan selamat kepada Aryani.
Di luar ruang sidang itulah air mata Aryani meleleh ketika memeluk ibunya yang sejak awal menemaninya.
Menurut Aryani, putusan pengadilan yang memenangkan dirinya itu ia anggap sebagai kado terindah untuk Hari Internasional Penyandang Disabilitas yang jatuh pada 3 Desember 2017 kemarin.
"Ini sebuah keputusan berarti bagi kami semua karena menjadi tolak ukur hak-hak disabilitas harus terus diperjuangkan. (Putusan ini-red) merupakan kado terindah hari disabilitas kemarin. Dimana hak kita terhadap akses layanan publik harus dihormati, menjadi yurisprudensi agar kasus serupa tidak terulang lagi," ungkap Aryani yang dikerumuni para penyandang disabilitas lainnya di sampingnya.
Penantian Panjang
Aryani dan ibunya telah berada di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.sejak sekitar pukul 9.00. Namun menurut informasi dari kuasa hukumnya, Ikhwan mengatakan bahwa sidang harus ditunda hingga pukul 13.00. Meski begitu, sidang baru dimulai sekitar pukul 13.30.
Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Ferry Agustina Budi Utami, Hakim Anggota Agus Widodo dan Sudjarwanto, Panitera Pengganti Sakir Baco.
Sidang dihadiri oleh kuasa hukum dari Perusahaan Maskapai Etihad Airways, PT. Jasa Angkasa Semesta. Tbk., dan Kementerian Perhubungan RI.
Untuk menghadiri sidang tersebut, Aryani bersama keluarganya diketahui telah berada di Jakarta sejak Minggu (3/12/2017). Ibu yang dikaruniai satu anak lelaki itu juga membawa serta anak lelakinya dan suaminya. Meski begitu, suami dan anak lelakinya yang berusia empat tahun tersebut enggan masuk ke PN Jaksel.
"Tadi nggak dapat parkir, jadi parkir.di luar," ungkap ibu dari Aryani sambil tersenyum.
Selama ini, Aryani dan keluarganya diketahui tinggal di Solo. Untuk mengikuti jadwal persidangan, keluarganya harus bolak-balik Jakarta-Solo selama setahun kebelakang.
Sebelumnya, Aryani diketahui telah mendapat perlakuan diskriminatif dari pegawai Etihad Airways di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang pada 3 April 2016.
Aryani terpaksa harus menggagalkan rencananya untuk pergi ke Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss karena tidak diperbolehkan terbang dengan maskapai tersebut tanpa pendamping.
Kuasa hukum Aryani, Hepy Sebayang menilai bahwa proses kasus yang sudah berjalan setahun lebih ini berjalan cukup lambat. Menurut Hepy, hal itu disebabkan karena persoalan teknis pengadilan dan banyaknya perkara yang harus diadili oleh majelis hakim.
"Dua saksi sehari, dua saksi sehari kan jadinya kan.. sementara kita tunda seminggu-seminggu. Lama, kalo paling tidak sidangnya dua kali seminggu atau saksinya bisa ditambah empat saksi satu hari kan bisa lebih cepat sebetulnya," ungkap Hepy.
Meski begitu, Hepy memaklumi kesibukan majelis hakim yang telah mengadili perkaranya.
Aryani merasa bersyukur atas putusan sidang yang memenangkan dirinya.
"Alhamdulillah bersyukur sekali, karena akhirnya keadilan itu ditegakan," ungkap Aryani tersenyum.
Seluruh Keberatan Tergugat Ditolak
Hakim ketua sidang, Ferry Agustina Budi Utami menyatakan dalam persidangan bahwa eksepsi (keberatan tergugat) dari tiga tergugat ditolak seluruhnya di ruang pengadilan utama Oemar Seno Adjie Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (4/12/2017).
Tiga pihak tergugat itu antara lain Perusahaan Maskapai Etihad Airways, PT. Jasa Angkasa Semesta. Tbk., dan Kementerian Perhubungan RI.
"Mengadili dalam eksepsi (keberatan tergugat), menolak eksepsi tergugat satu, tergugat dua, dan tergugat tiga seluruhnya," tegas hakim Ferry.
Dari beberapa poin keberatan Perusahaan Maskapai Etihad Airways sebagai tergugat utama yang dibacakan oleh Hakim Ferry, salah satu pokok isi keberatan adalah gugatan Aryani kabur (tidak jelas) karena Aryani dianggap tidak memberikan rincian yang jelas tentang kerugian materil.
Pertimbangan majelis hakim menolak keberatan tersebut adalah karena keberatan soal rincian biaya sudah masuk pokok perkara yang harus terlebih dulu dibuktikan ada atau tidak adanya perbuatan melanggar hukum, sementara agenda pembacaan keberatan tersebut belum masuk agenda pokok perkara.
Selanjutnya, dalam putusan majelis hakim yang dibacakan pada Senin (4/12/2017) majelis hakim menyatakan bahwa Etihad Airways telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Untuk itu, Etihad Airways dihukum untuk meminta maaf secara terbuka lewat media cetak, harian Kompas.
Selain itu, Etihad Airways juga dihukum untuk membayar biaya perkara yang ditaksir sebesar Rp. 1 juta sebelas ribu.
Sementara untuk seluruh pihak tergugat yaitu Etihad Airways, PT. Jasa Angkasa Semesta. Tbk., dan Kementerian Perhubungan RI untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp. 37 juta dan imateril sebesar Rp. 500 juta.
Meski begitu, majelis hakim masih memberikan waktu selama tujuh hari untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak mengajukan banding.
Menurut kuasa hukum Aryani, Hepy Sebayang menyatakan bahwa ada tiga tuntutan pihaknya yang tidak dikabulkan majelis hakim.
Pertama adalah menetapkan bahwa PT. Jasa Angkasa Semesta dan Kementerian Perhubungan RI telah melakukan perbuatan melanggar hukum.
Kedua adalah Etihad Airways diminta memohon maaf lewat empat stasiun TV. Terakhir adalah Etihad Airways juga diminta untuk memohon maaf kepada kliennya di tiga media cetak.
Namun untuk yang terakhir, majelis hakim hanya menghukum Etihad Airways untuk meminta maaf lewat satu media cetak.
Untuk kemungkinan banding, Hepy mengaku akan melakukan koordinasi terlebih dahulu kepada kliennya.
"Ini kan kembali kepada hak tergugat ya. Apakah mereka akan banding atau tidak. Termasuk saya juga akan berkoordinasi dengan bu Dwi, apakah dia juga banding atau tidak. Kan ini tidak semua permohonan kita dikabulkan," ungkap Hepy.
Meski begitu, Hepy menyatakan siap mengikuti proses peradilan selanjutnya jika memang pihak tergugat mengajukan banding.
"Ya kita akan ikut, otomatis kan. Nggak mungkin dia banding kita nggak layani," kata Hepy sambil tersenyum.