Kamis, 21 Agustus 2025

Kabut Asap

Begini Penampakan Kalimantan dari Satelit NASA saat Diselimuti Kabut Asap dan Karhutla

Berikut penampakan Kalimantan yang direkam satelit NASA saat diselimuti kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan.

Penulis: Citra Agusta Putri Anastasia
earthobservatory.nasa.gov
Berikut penampakan Kalimantan yang direkam satelit NASA saat diselimuti kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan. 

Berikut penampakan Kalimantan yang direkam satelit NASA saat diselimuti kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan.

TRIBUNNEWS.COM - Kalimantan dan Sumatra telah dilanda kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada September 2019.

Karhutla yang terjadi menyebabkan kabut asap berkepanjangan, menyelimuti langit kedua pulau tersebut.

Beberapa hari lalu, The Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) pada satelit Aqua NASA menangkap gambar langit Kalimantan pada 14-17 September 2019.

Dalam citra satelit yang ditangkap NASA pada earthobservatory.nasa.gov, tampak asap menyelubungi pulau terbesar di Indonesia itu.

Baca: VIRAL Video Bangkai Burung Berserakan di Jalan Karena Kabut Asap

Baca: Pengusaha Kelapa Sawit Tolak Penyebab Karhutla karena Ulah Manusia, Karni Ilyas Langsung Interupsi

Kabut asap tersebut telah memicu peringatan terhadap kualitas udara maupun kesehatan di Indonesia dan negara tetangga.

Satelit NASA juga mendeteksi titik-titik karhutla di Kalimantan.

Berdasarkan rekaman NASA, karhutla telah terdeteksi sepanjang Agustus 2019.

Namun, jumlah dan intensitas kebakaran meningkat pada minggu pertama September 2019.

Karhutla diprediksi masih berlanjut hingga Oktober 2019.

Penampakan Kalimantan dari satelit NASA, Sabtu (14/9/2019).
Penampakan Kalimantan dari satelit NASA, Sabtu (14/9/2019) akibat kabut asap. (earthobservatory.nasa.gov)

Bencana alam buatan ini diduga dikarenakan petani membakar puing-puing pertanian dan penebangan untuk memberi jalan bagi tanaman dan ternak.

Di Kalimantan, pembakaran tersebut disinyalir bertujuan untuk membuka lahan penanaman kelapa sawit dan pulp akasia.

The Operasional Tanah Imager (OLI) di Landsat 8 merekam gambar yang menunjukkan kebakaran di beberapa daerah kelapa sawit di Kalimantan Selatan.

Pengamatan gelombang pendek-inframerah (pita 7-6-2) telah ditindih pada gambar warna alami (pita 4-3-2) untuk menyorot lokasi kebakaran aktif.

s
Penampakan Kalimantan dari satelit NASA, Minggu (15/9/2019) akibat kabut asap. (earthobservatory.nasa.gov)

Sementara itu, peta di bawah ini menunjukkan data karbon organik dari 17 September 2019.

Peta diperoleh dari model GEOS forward processing (GEOS-FP) yang mengasimilasi informasi dari satelit, pesawat, dan sistem pengamatan berbasis darat.

GEOS-FP berfungsi untuk mengamati aerosol (seperti asap dan kabut) dan kebakaran.

GEOS-FP juga mencerna data meteorologi seperti suhu udara, kelembaban, dan angin untuk diproyeksikan dalam bentuk peta.

Berdasarkan tangkapan GEOS-FP, asap relatif tetap menyelubungi langit Kalimantan dengan sumber api yang terlihat di Kalimantan dan Sumatera.

Berdasarkan amatan International Forestry Research’s Borneo Atlas, banyak kebakaran terjadi di atau dekat daerah-daerah dengan lahan gambut.

Kebakaran gambut cenderung sulit dipadamkan.

Lantas, kebakaran tersebut awalnya terjadi di bawah permukaan tanah selama berbulan-bulan hingga musim hujan tiba.

f
Penampakan Indonesia dari satelit NASA, Selasa (17/9/2019) akibat karhutla. (earthobservatory.nasa.gov)

Kebakaran gambut melepaskan sejumlah besar gas dan partikel, termasuk karbon dioksida, metana, dan partikel halus.

Karbon dioksida dan metana adalah gas rumah kaca yang potensial menyebabkan global warming.

Sementara itu, campuran partikel halus memiliki efek kesehatan negatif.

Melihat kabut asap dan karhutla di Indonesia, ilmuwan NASA Goddard Institute for Space Studies, Robert Field, telah melacak perkembangan musim kebakaran di Indonesia.

“Kebakaran benar-benar menjadi pusat masalah sekarang. Ini mengingatkan kita pada 2015, meskipun penumpukan asap yang berlanjut selama beberapa minggu karena hujan pada pertengahan Agustus,” kata Field, dikutip dari earthobservatory.nasa.gov.

Field juga mengemukakan, karhutla yang terjadi di Indonesia kali ini mengingatkan pada dua kebakaran besar terakhir lainnya di Tanah Air, yakni pada 1997 dan 2015.

Kala itu, El Nino menyebabkan kekeringan yang berujung pada kebakaran.

Pada 2019, kondisi El Nino netral, tetapi osilasi suhu permukaan laut yang disebut Dipole Samudera Hindia tampaknya bertanggung jawab atas kekeringan tahun ini.

5 Penyakit yang Perlu Diwaspadai akibat Kabut Asap

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan membuat sejumlah wilayah di sekitarnya tertutup kabut asap tebal.

Akibatnya, kualitas udara pun menjadi tidak sehat.

Udara yang tidak sehat tentunya berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat.

Berikut 5 penyakit yang diakibatkan oleh kabut asap seperti dikutip Kompas.com dari depkes.go.id :

1. Infeksi saluran pernafasan atas

Penyakit ini memiliki nama lain yaitu ISPA.

Sebenarnya ISPA disebabkan oleh infeksi virus dan bukan karena kabut asap.

Namun, polusi yang parah ditambah dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh dapat menimbulkan terjadinya ISPA.

ISPA juga terjadi karena kemampuan paru-paru dan saluran pernapasan dalam mengatasi infeksi berkurang, dengan begitu dapat menyebabkan infeks.

Selama ini, ISPA lebih banyak menjangkiti anak-anak dan kaum lansia.

2. Asma

Penyakit ini terkenal dengan penyakit genetik.

Namun, asma juga dapat disebabkan oleh buruknya kualitas udara.

Kabut asap yang saat ini merajalela membawa partikel berukuran kecil yang masuk melalui saluran pernafasan dan menyebabkan gangguan layaknya asap rokok.

Penduduk yang mengidap asma, terutama anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap ancaman kabut asap.

3. Penyakit paru obstruktif kronik

Nama lain penyakit ini adalah PPOK, penyakit ini merupakan gabungan penyakit pernafasan semisal bronkitis.

Menurut Yayasan Paru-paru Kanada, kabut asap yang disebabkan kebakaran hutan dapat berakibat fatal bagi penderita PPOK karena dapat mengurangi atau memperburuk kinerja paru-paru.

Bila penderita penyakit ini terpapar kabut asap dalam waktu yang lama, dapat meningkatkan risiko kematiannya.

4. Penyakit jantung

Perlu diketahui, kabut asap membawa partikel mini bernama PM2.5 yang cara masuknya dapat melalui saluran pernafasan.

Sebuah studi dari California Environmental Protection Agency pada tahun 2014 lalu telah membuktikan, pasien yang terpapar kabut asap dalam waktu lama, menggandakan risiko terkena serangan jantung ataupun stroke.

5. Iritasi

Dalam bentuk yang paling ringan, terkena kabut asap dapat menimbulkan iritasi pada mata, tenggorokan, hidung dan menyebabkan sakit kepala atau alergi.

Asosiasi Paru-paru Kanada mengingatkan, masker wajah tidak dapat melindungi tubuh dari paparan partikel ekstra kecil yang dibawa oleh kabut asap.

Dari situs yang sama, dijelaskan pula rekomendasi tentang Kesehatan Anak akibat Bencana Kabut Asap.

a. Tetap di dalam ruangan dengan jendela dan pintu tertutup.

b. Tutup tiap ada akses ke luar ruangan.

c. Kurangi aktivitas di luar rumah.

d. Hindari aktivitas di dalam rumah yang menambah kontaminasi seperti merokok atau menyedot debu.

e. Gunakan masker dan alat pelindung lainnya seperti sarung tangan, baju lengan panjang, dan celana panjang.

f. Cuci buah dan sayur sebelum dimakan.

g. Ganti masker bila sudah kotor (masker yang kotor ditandai dengan perubahan warna masker atau saat bernapas melalui masker menjadi bertambah sulit).

h. Sediakan obat-obatan penting di rumah.

i. Mempersiapkan tempat-tempat umum seperti sekolah, aula, gedung olah raga, hotel, musholla/masjid, kantor, gedung serba guna, dan lainnya untuk dijadikan penampungan berudara bersih.

(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia/Kompas.com/Dandy Bayu B)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan