KPK Temukan Sejumlah Masalah dari Program LPG 3 Kg
Dari kajian yang dilakukan pada rentang Januari-Juli 2019 itu, KPK mengungkapkan menemukan sejumlah permasalahan.
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian terkait sistem tata kelola program LPG 3 kilogram.
Dari kajian yang dilakukan pada rentang Januari-Juli 2019 itu, KPK mengungkapkan menemukan sejumlah permasalahan.
Plt Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding menerangkan, terdapat empat poin yang melatarbelakangi lembaga antirasuah melakukan kajian.
Pertama, program pemerintah terkait konversi minyak tanah ke LPG pada tahun 2007 yang bertujuan antara lain untuk diversifikasi pasokan energi, efisiensi anggaran, dan mengurangi subsidi minyak tanah.
Kedua, subsidi minyak tanah pada tahun 2008 mencapai Rp47,61 triliun.
Setelah dialihkan menjadi subsidi LPG, kata Ipi, nilai subsidi justru meningkat menjadi Rp58,14 trilliun.
"Ini menjadi beban yang terus membengkak bagi negara," kata Ipi dalam keterangannya, Kamis (8/10/2020).
Ketiga, data per 2018 penerima subsidi terdiri atas 50 juta rumah tangga; 2,29 juta usaha mikro; dan 47.554 nelayan.
Poin keempat latar belakang kajian yaitu distribusi paket pada rentang 2007-2018 untuk tiga kelompok penerima subsidi tersebut mencapai 57,65 juta paket.
Baca: Ketua KPK Beberkan 5 Dinas ASN yang Sering Terlibat Praktik Korupsi Kepala Daerah
Ipi mengatakan, kajian ini dilakukan untuk memetakan potensi kerawanan dan permasalahan dalam program LPG bersubsidi.
Serta merumuskan langkah-langkah strategis dan operasional dalam program LPG bersubsidi, terkait permasalahan pada aspek perencanaan dan aspek pelaksanaan.
Terkait aspek perencanaan, KPK menyebut terdapat ketidakjelasan kriteria pengguna LPG bersubsidi.
Seperti, tidak ada kriteria spesifik/definisi masyarakat miskin penerima subsidi. Kemudian, ketidakjelasan jenis usaha mikro apa saja yang bisa menerima subsidi.
"Penentuan kriteria usaha mikro diserahkan ke pangkalan," kata Ipi.
Selanjutnya, imbuh Ipi, tidak akuntabelnya penetapan kuota penerima LPG bersubsidi.
Yakni, usulan dari daerah tidak didasarkan pada data calon penerima yang valid. Misalnya, usulan yang diajukan provinsi selalu meningkat, padahal data BPS
menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut.
"Pada tahun 2018, dari 404 kabupaten/kota hanya 67 yang mengajukan usulan penerima subsidi dan diterima oleh Kementerian ESDM," ujar Ipi.
Kemudian terkait aspek pelaksanaan, Ipi mengungkapkan, dari kajian KPK pihaknyak menemukan lemahnya sistem pengawasan distribusi LPG 3 kg.
Menurut KPK, kurangnya sosialisasi dari Pertamina dan agen kepada pangkalan menyebabkan banyak pangkalan tidak mengisi logbook dengan benar.
"Minimnya sanksi kepada agen oleh Pertamina dan minimnya sanksi dari agen ke pangkalan untuk yang menjual di atas harga eceran tertinggi (HET) atau logbook tidak sesuai," ungkapnya.
Tidak hanya itu, dalam aspek pelaksanaan program LPG bersubsidi ini, KPK menyebut adanya kelemahan kendali dalam implementasi penetapan harga eceran tertinggi.
Misalnya, tidak ada ketentuan mengenai bagaimana pemda mengatur HET; Kementerian ESDM tidak mengevaluasi HET Pemda; dan agen jarang melakukan pengawasan ke pangkalannya, seperti Pertamina tidak selalu mengawasi agennya.
"Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota tidak mempunyai wewenang untuk menindak,
hanya bisa memberikan himbauan; harga di pangkalan lebih tinggi dari HET; serta HET tidak dievaluasi secara berkala," urai Ipi.
Masih dalam aspek pelaksanaan program LPG bersubsidi, permasalahan lainnya yang dikaji KPK terkait tidak operasionalnya pengaturan zonasi distribusi LPG Public Service Obligation (PSO).
"Pembagian alokasi ditentukan oleh KESDM dengan memperhitungkan kebutuhan per kabupaten/kota sebagaimana usulan," tutur Ipi.
Kata Ipi, penentuan alokasi per daerah berdampak kesulitan di level operasional, yaitu kekurangan di suatu daerah tidak dapat dipenuhi oleh daerah lain yang kelebihan walaupun berdekatan/berbatasan dan kelebihan di suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain.
"Dampaknya, terjadi manipulasi pengisian logbook. Semakin banyak persentase ke pengecer, maka harga semakin tidak terkendali. Ada indikasi pembelian rutin dan jumlah banyak oleh UMKM/RT untuk dijual kembali," kata dia.
Atas dasar temuan dari kajian tersebut, KPK menyimpulkan tiga poin.
Pertama, upaya pemerintah untuk mengkonversi penggunaan minyak tanah menjadi LPG dengan subsidi harga komoditas terbukti tidak efektif, dengan meningkatnya anggaran subsidi melebihi subsidi minyak tanah.
Kedua, subsidi harga LPG 3 kg bermasalah mulai dari perencanaan, operasional, pengendalian, dan pengawasan.
"Ketiga, mekanisme pengendalian melalui distribusi tertutup terbukti gagal," tegas Ipi.
Karenanya, kata Ipi, KPK memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan PT Pertamina (Persero) agar sejumlah permasalahan LPG bersubsidi yang disebutkan segera rampung.
Rekomendasi pertama, soal evaluasi Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG bersubsidi.
Kedua, pemerintah disarankan mengubah kebijakan dari subsidi harga komoditas ke Pertamina menjadi bantuan langsung (targeted subsidy) dalam bentuk cash transfer dengan utilisasi Basis Data Terpadu (BDT) atau sekarang dikenal dengan DTKS yang memiliki NIK sebagai target penerima subsidi energi.
"Rekomendasi terakhir, perbaikan database untuk target penerima usaha kecil menengah (UKM)," kata Ipi.