Kasus Suap di MA
Kuasa Hukum Sebut Label Pengacara Top Rahmat Santoso Tak Berkaitan dengan Nurhadi
Muhammad Rudjito, mengatakan sebutan pengacara top terhadap Rahmat Santoso, sama sekali tidak berkaitan dengan Nurhadi.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Muhammad Rudjito, mengatakan sebutan pengacara top terhadap Rahmat Santoso, sama sekali tidak berkaitan dengan Nurhadi.
Rahmat Santoso sendiri merupakan adik ipar dari Nurhadi.
Sebelumnya, dalam sidang lanjutan kasus suap dan gratifikasi dengan terdakwa Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (20/11/2020), saksi Onggang JN selaku Legal Adviser PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) menyebut Rahmat sebagai pengacara top asal Surabaya.
Baca juga: Saksi KPK Nyatakan Tak Ada Uang Mengalir ke Nurhadi dan Rezky Herbiyono
Berdasarkan keterangan dari para saksi di persidangan, kata Rudjito, label pengacara top Rahmat Santoso memang karena kinerjanya, bukan kedekatannya dengan Nurhadi.
"Pengacara top kalau menurut saudara Hiendra itu adalah top dalam kaitan dengan kualitas yang bersangkutan, bukan kaitannya dengan kedekatan atau kerabat Pak Nurhadi," ucap Rudjito di sela-sela persidangan Nurhadi yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (20/11/2020).
Berdasarkan fakta persidangan hari ini, kata Rudjito, saksi Onggang JN mengakui mengenal Rahmat Santoso sebagai pengacara yang akan mengurus peninjauan kembali (PK) antara PT MIT dengan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN).
Namun demikian, Onggang menyatakan tidak mengenal Nurhadi.
Baca juga: Kuasa Hukum Nurhadi Tanggapi Soal Munculnya Nama Marzuki Alie di Persidangan
"Bahkan saksi tadi mengatakan dia baru mendengar nama Pak Nurhadi setelah ada pemeriksaan di KPK. Sebelumnya dia tidak tahu tentang hubungan Rahmat Santoso dengan Pak Nurhadi. Dia baru tahu setelah ada pemeriksaan di KPK," ungkapnya.
Atas dasar itulah, Rudjito menekankan bahwa Nurhadi sebenarnya tidak terlibat dalam perkara ini.
Sebab, saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), belum ada yang bisa menjelaskan soal keterlibatan Nurhadi dalam perkara ini.
"Jadi keterangan saksi hari ini dari saudara Onggang JN sebagai advokat atau lawyer dari PT MIT, itu belum bisa membuktikan adanya keterkaitan Pak Nurhadi di dalam perkara ini. Jadi belum bisa membuktikan apakah ada hubungannya Pak Nurhadi dalam kaitannya dengan perkara yang sedang dipersoalkan oleh KPK itu," katanya.
Baca juga: Menantu Nurhadi Disebut Punya Hutang Rp81 Miliar ke Pengusaha Iwan Cendekia Liman
Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono sebelumnya didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp83 miliar terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan.
Untuk suap, Nurhadi dan Rezky menerima uang sebesar Rp45.726.955.000 dari Direktur Utama PT MIT Hiendra Soenjoto. Hiendra sendiri merupakan tersangka KPK dalam kasus yang sama dengan para terdakwa.
Uang Rp45 miliar lebih itu diberikan agar kedua terdakwa mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT KBN terkait dengan gugatan perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.
Awal mula gugatan, pada 27 Agustus 2010 Hiendra melalui kuasa hukumnya Mahdi Yasin dan rekan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN.
Hal itu sebagaimana register perkara nomor: 314/Pdt.G/2010/PN Jkt.Ut.
PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa depo container tetap sah dan mengikat.
Serta menghukum PT KBN membayar ganti rugi materiel kepada PT MIT sebesar Rp81.778.334.544.
Tak terima, PT KBN mengajukan banding. Namun lagi-lagi upaya hukum mereka kandas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Namun di tingkat kasasi, MA dalam putusannya nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan bahwa pemutusan perjanjian sewa-menyewa depo container adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar Rp6.805.741.317 secara tunai dan seketika kepada PT KBN.
PT KBN lantas bermohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dilakukan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan aanmaning/teguran.
Mengetahui akan dieksekusi, Hiendra meminta bantuan kakaknya Hengky Soenjoto untuk dikenalkan dengan advokat Rahmat Santoso yang merupakan adik ipar Nurhadi atau paman Rezky.
Dalam pertemuan di cafe Vin+ Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Hiendra meminta Rahmat menjadi kuasanya dalam permohonan PK perkara gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.
Satu bulan usai pertemuan, tepatnya tanggal 20 Agustus 2014, Hiendra memberi surat kuasa kepada Rahmat sekaligus memberi uang Rp300 juta dan cek OCBC NISP atas nama PT MIT nomor NNP 218650 sejumlah Rp5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK didaftarkan ke MA. Pada 25 Agustus 2014, Rahmat mendaftarkan permohonan PK dan permohonan penangguhan eksekusi.
Beberapa hari kemudian, tutur Jaksa, Hiendra mencabut kuasa yang telah diberikan dan melarang Rahmat mencairkan cek Rp5 miliar.
"Namun pada kenyataannya Hiendra meminta terdakwa II (Rezky) yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I (Nurhadi) untuk pengurusan perkara tersebut, padahal diketahui pada saat itu, terdakwa II bukanlah advokat," ucap Jaksa sebagaimana surat dakwaan.
Lebih lanjut, Nurhadi dan Rezky juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp37.287.000.000. Nurhadi disebut memerintahkan Rezky untuk menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali secara bertahap sejak 2014-2017.
Penerimaan uang di antaranya dari Handoko Sutjitro (Rp2,4 miliar); Renny Susetyo Wardani (Rp2,7 miliar); Donny Gunawan (Rp7 miliar); Freddy Setiawan (Rp23,5 miliar); dan Riadi Waluyo (Rp1.687.000.000).