Selasa, 26 Agustus 2025

BNPT: 1.250 WNI Pergi ke Irak dan Suriah Ikut Kelompok Terorisme, Ada yang Tewas dan Ditahan

Catatan BNPT: 1.250 WNI pergi ke Irak dan Suriah ikut kelompok terorisme, ada yang tewas, ditahan dan berada di pengungsian.

Ilustrasi gerakan terorisme. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat ada 1.250 warga negara Indonesia (WNI) yang telah pergi ke Irak dan Suriah sampai 2021 ini.

Kepergian ribuan WNI itu ke Irak dan Suriah untuk mengikuti kelompok-kelompok terorisme.

"Dari jumlah yang pergi ke Irak dan Suriah itu, sebagian telah meninggal dunia akibat aksi bom bunuh diri, sebagian ditahan, sementara wanita dan anak-anak saat ini berada di kamp pengungsian," ungkap Kepala BNPT, Komjen Boy Rafli Amar dalam webinar, Jumat (5/2).

Baca juga: Soal Terbitnya Perpres Nomor 7 Tahun 2021, Kepala BNPT: Ancaman Terorisme Nyata Adanya

Mereka semua yang pergi ke Irak dan Suriah terbujuk dengan apa yang ditawarkan dalam konten narasi radikalisasi oleh kelompok-kelompok terorisme.

Boy mengungkapkan, ini merupakan dampak proses radikalisasi yang dilakukan secara masif oleh kelompok-kelompok terorisme.

Proses radikalisasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di skala global, dunia.

"Dampak dari proses radikalisasi masif ini telah nyata mendatangkan beberapa korban jiwa dari masyarakat Indonesia," ujar Boy.

Menurut catatan BNPT, sudah hampir 2.000 masyarakat Indonesia berkaitan dengan kasus tindak pidana terorisme dalam waktu 20 tahun terakhir.

"Ancaman tindak kejahatan terorisme adalah ancaman yang nyata adanya di tengah masyarakat," ucap Boy Rafli.

Baca juga: Kepala BNPT: Kita Tidak Ingin Ada Lagi Anak yang Menjadi Pelaku Bom Bunuh Diri

Tindak kejahatan terorisme bisa terjadi di mana saja, siapa saja bisa menjadi korbannya dan bahkan bisa menjadikan masyarakat sebagai bagian dari tindak kejahatan ini.

Bila tidak waspada, masyarakat dapat masuk dalam pengaruh radikalisasi dan secara tidak sadar ikut aksi kejahatan terorisme.

Atas dasar itu, BNPT memprakarsai penerbitan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme (RAN PE) tahun 2020-2024.

Regulasi tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Januari dan resmi diundangkan pada 7 Januari 2021.

Boy Rafli mengungkapkan, pembentukan Perpres RAN PE didasari semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada aksi terorisme di Indonesia.

Kondisi ini menciptakan situasi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.

Mereka yang telah terpengaruh radikalisasi, kata Boy, akan melegalkan cara-cara kekerasan demi mencapai tujuan kelompok teroris yang diikuti.

"Mereka tidak lagi menghargai hukum, tidak menghargai kehidupan yang demokratis, tidak menghargai konstitusi, dan tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan," ujar Boy Rafli.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar (Tribunnews.com/Chaerul Umam)

Pemahaman tentang radikalisme ini sesuai dengan yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (2) Perpres RAN PE. Bahwa Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.

Pada ayat (4) dijelaskan, Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana.

Dalam menanggulangi radikalisasi yang mengarah pada terorisme, Perpres RAN PE mengedepankan pendekatan lunak atau soft approach.

Penyusunan dan implementasi soft approach Perpres RAN PE menekankan pada keterlibatan menyeluruh pemerintah dan masyarakat.

Pola pendekatan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari soft approach dan hard approach dalam penanggulangan terorisme.

"Dalam Perpres ini banyak hal-hal yang mengarah kepada langkah-langkah pencegahan, koordinasi, peningkatan kapasitas di antara pemangku kepentingan, serta mengedepankan partnership, kemitraan, baik dengan masyarakat sipil yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri," papar Boy Rafli.

Rencana aksi yang terkandung dalam RAN PE merupakan serangkaian program terkoordinasi yang akan dilaksanakan oleh berbagai kementerian/lembaga (K/L) terkait guna memitigasi ekstremisme berbasis kekerasan. Dalam hal ini RAN PE bersifat melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan nasional terkait dengan tindak pidana terorisme.

Tidak Ingin Ada  Anak Indonesia Pelaku Bom Bunuh Diri

Melalui Perpres RAN PE, BNPT akan menggelar 82 aksi pilar pencegahan, kesiapsiagaan kontra radikalisasi dan deradikalisasi; 33 aksi untuk pilar penegakan hukum, perlindungan saksi dan korban serta penguatan kerangka legislasi nasional; dan 15 aksi untuk pilar kemitraan dan kerjasama internasional.

Serangkaian aksi ini merupakan bagian dari soft approach terhadap upaya penanggulangan kejahatan terorisme.

BNPT, kata Boy Rafli, ingin sosialisasi menolak Ekstremisme berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme jadi lebih masif dilakukan di seluruh elemen masyarakat.

Jangan sampai proses radikalisasi yang terjadi dalam kehidupan diterima mentah-mentah dan kemudian mempengaruhi pola pikir masyarakat.

"Kita tidak ingin ada lagi masyarakat Indonesia yang berangkat ke Irak dan Suriah, tidak ingin ada lagi masyarakat yang dipenjara karena urusan terorisme, dan tidak ingin ada lagi anak-anak Indonesia yang menjadi pelaku bom bunuh diri," ucap Boy Rafli.

Baca juga: Kepala BNPT: Dunia Sedang Proses Radikalisasi yang Masif

Perpres ini lebih berbicara kepada upaya-upaya preventif dengan bekerjasama dengan semua pihak, untuk membangkitkan sikap-sikap resistance terhadap radikalisasi.

Hakekat Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila harusnya dijadikan platform dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Siapapun di negara ini, tegas Boy, semua warga negara yang merasa sebagai anak bangsa, tentu harus melihat UUD 1945 dan Pancasila sebagai sesuatu yang harus diindahkan, dihormati, dilaksanakan, karena Indonesia begitu beragam.

"Indonesia yang begitu heterogen, kalau tidak dijalankan dengan menerapkan nilai-nilai luhur, maka akan terjadi tindakan-tindakan yang bisa mengarah pada konflik sosial dikarenakan tidak bisa menerima dan menghormati perbedaan," ujar dia.

Menjaga keberagaman harus dicapai dengan menciptakan masyarakat yang moderat.

Jika ada kelompok-kelompok masyarakat yang terpengaruh radikalisasi dan tidak lagi sesuai dengan kepribadiannya sebagai bangsa Indonesia, maka sendi-sendi bangsa akan terganggu.

Kepala BPNPT Boy Rafli Amar bertemu eks panglima Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), Ustaz Gunawan
Kepala BPNPT Boy Rafli Amar bertemu eks panglima Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), Ustaz Gunawan (ISTIMEWA)

Oleh karena itu, melalui Perpres RAN PE, BNPT melibatkan semua pihak untuk mengelola bangsa yang penduduknya 270 juta dan terdiri dari 17 ribu pulau besar dan kecil ini.

Atas dasar itu, Perpres RAN PE memiliki misi yang sangat mulia.

"Perpres ini memberikan perlindungan lebih kepada warga negara dengan melibatkan semua pihak. Tidak hanya dilakukan oleh aparat negara, tetapi semuanya," ucap Boy Rafli.

"Kejahatan terorisme bisa menempatkan siapa saja jadi pelaku kejahatan, dan juga, siapa saja bisa jadi korban dari kejahatan itu sendiri," pungkas dia. (tribun network/genik)

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan