Kisah Unik
Pengusaha Liem Sioe Liong Selamat dari Kecelakaan Maut namun Kakinya Pendek Sebelah
Raja bisnis di Indonesia, Liem Sioe Liong pernah mengalami peristiwa maut, yaitu tabrakan mobil. Teman-temannya di mobil itu tewas, Liem selamat.
Penulis:
Febby Mahendra
Editor:
cecep burdansyah

TRIBUNNEWS.COM - SEBUAH kecelakaan hebat nyaris merenggut nyawa Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, seorang pengusaha yang kemudian menjadi konglomerat papan atas Indonesia dan menjadi sahabat karib penguasa Orde baru, Soeharto.
Dalam perjalanan dari Kota Kudus ke Semarang, Jawa Tengah, September 1949, taksi yang membawanya bertabrakan dengan truk militer Belanda yang berbobot 10 ton.
Pada saat itu Liem memilih tinggal di Kota Kudus.
Ia sering hilir mudik ke Kota Semarang untuk mencari pasokan.
Pada hari naas itu Liem bergegas ke Semarang untuk menghindari denda pengapalan barang oleh Belanda.
“Saya tidak punya mobil, sedikit sekali orang yang punya mobil pribadi saat itu. Kalau mau pergi ke kota lain, Anda bisa menyewa taksi secara berombongan. Beberapa teman saya juga berniat pergi ke Semarang sehingga kami memutuskan untuk bersama-sama menyewa taksi,” kata Liem dalam buku ‘Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto’, karya Richard Borsuk dan Nancy Chng, Penerbit Buku Kompas, 2016.
Pria kelahiran Fujian, Tiongkok, tersebut menceritakan suasana dalam taksi ketika itu.
Awalnya Liem duduk di kursi depan, dekat sopir.
Namun kemudian temannya yang berada di kursi belakang minta tukar tempat. Setelah Liem duduk di bangku belakang dekat jendela, seorang yang lebih tua dan duduk di tengah, giliran minta tukar tempat.
Ia ingin duduk dekat jendela karena mengaku merasa gerah.
Meski jengkel, Liem bersedia bertukar tempat duduk.
Sekira 20 menit sebelum masuk Kota Semarang, sopir taksi mendahului dua mobil di depannya. Kemudian taksi ingin mendahului sebuah gerobak sapi.
Namun belum sampai melewati gerobak tersebut, dari depan muncul truk militer Belanda yang besar sekali. Tabrakan tak terhindarkan.
Sopir dan teman Liem yang duduk di samping sopir, tewas seketika.
Sedang orang yang minta berganti tempat di pinggir jendela menderita luka parah dan harus dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan.
Orang ketiga di mobil itu juga meninggal.
Liem pingsan, kakinya patah, dan kepalanya lecet-lecet. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit St Elizabeth milik Belanda di Semarang. Sebenarnya rumah sakit itu khusus untuk orang Belanda atau orang yang berhubungan dengan Belanda.
Liem Sioe Liong menduga dirinya dirawat di rumah sakit itu karena kecelakaan tersebut melibatkan truk militer Belanda.
“Mereka mengoperasi kaki saya. Sampai hari ini kaki kiri saya lebih pendek 1 centimeter dari kaki kanan. Tiga bulan saya berada di rumah sakit. Selama waktu itu istri saya melahirkan bayi kami,” ujar Liem Sioe Liong.
Karena merasa bersyukur bisa hidup hingga anaknya dilahirkan, Liem kemudian memberi nama anak ketiga itu Fung Seng artinya bertemu hidup baru.
“Saya katakan kepada anak saya itu, ini karena ayahmu masih hidup,” kenang Sudono Salim.
Baca juga: Istri Konglomerat Liem Sioe Liong Ditembak Dua Kali tapi Nyawanya Bisa Diselamatkan
Pindah ke Jakarta
Liem Fung Seng kemudian diberi nama Indonesia dan akrab dipanggil Anthony Salim.
Belakangan Anthony memang dapat menyelamatkan Salim Group di masa setelah Soeharto lengser dari jabatannya pada Mei 1998.
Boleh jadi kecelakaan traumatis itu yang memberi Liem keberanian lebih untuk risiko bisnis besar di kemudian hari.
Seorang penulis biografi konglomerat Amerika, Cornelis Vanderbilt, suatu ketika mengatakan, “Perjumpaan yang dekat dengan kematian dikenal bisa mengubah kehidupan, memulai titik tolak baru yang dramatis.”
Tiga tahun setelah kecelakaan, yaitu 1952, Liem memutuskan untuk pindah ke Jakarta, memboyong seluruh keluarganya dan meninggalkan saudara-saudaranya untuk mengurusi usaha mereka di Kudus.
Banyak teman-teman Liem yang juga mengemasi barang-barang mereka untuk bertolak mencari peluang baru ke Ibu Kota Indonesia.
Tempat tinggal pertama mereka di Jakarta adalah Hotel Chiao Tung (artinya komunikasi) di Jl Hayam Wuruk, dekat lokasi Pecinan di Jakarta.
Pada saat itu hotel tersebut merupakan penginapan terbaik di kawasan Pasar Pagi dan Pintu Kecil, Glodok.
Kemudian keluarga Liem pindah ke kawasan Petojo, sebelum akhirnya membeli rumah di Jl Gunung Sahari IV, yang ditinggali hingga terjadi kerusuhan Mei 1998.
Liem memutuskan untuk tidak mengubah struktur bangunan rumah tersebut agar tidak mengusik fengsuinya. (*)
*Dikutip dari buku ‘Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto’, karya Richard Borsuk dan Nancy Chng, Penerbit Buku Kompas, 2016.
Baca juga: Sebatang Rokok Bikin Hancur Hubungan Bisnis Liem Sioe Liong dengan Ipar Soeharto