Minggu, 17 Agustus 2025

Qodari: Jokowi-Prabowo Dalam Pilpres 2024 Solusi Atasi Polarisasi di Tengah Masyarakat

M Qodari berpandangan mengusung Jokowi-Prabowo sebagai pasangan presiden dan wakil presiden dalam Pilpres 2024 merupakan solusi mengatasi polarisasi

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Dennis Destryawan
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, Ketua Umum DPP Projo Budi Arie Setiadi, dan Penasihat Relawan Joko Widodo-Prabowo Subianto (Jokpro) untuk 2024 Muhammad Qodari, dalam diskusi daring Tribun Network, Pro Kontra Presiden 3 Periode dan Pasangan Jokowi-Prabowo, Kamis (24/6/2021). 

Laporan wartawan tribunnews.com, Lusius Genik

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penasihat Komunitas JokPro, M Qodari berpandangan mengusung Jokowi-Prabowo sebagai pasangan presiden dan wakil presiden dalam Pilpres 2024 merupakan solusi mengatasi polarisasi di tengah masyarakat.

"Saya melihat solusinya (atasi polarisasi) adalah pada Jokowi dan Prabowo. Dua sosok selama ini menjadi representasi pilihan masyarakat Indonesia. Karena mereka berdua ini yang selama ini didukung," jelas Qodari saat berbincang dengan Tribun Network, Kamis (26/6/2021).

Qodari menjelaskan, Indonesia saat ini hidup di zaman politik identitas.

Kondisi ini memicu terjadinya konfrontasi atau benturan antar peradaban di tiap-tiap kontestasi pemilihan umum.

Hal lain yang melatari Komunitas JokPro mengusung Jokowi-Prabowo yakni kondisi manusia yang saat ini hidup di zaman media sosial (medsos).

Keberadaan teknologi informasi yang kian maju, membuat manusia sekarang ini hidup di dua dunia, dunia nyata dan dunia maya (dunia virtual).

Baca juga: Meski Telah Menolak, Jokowi Bisa Jadi Presiden 3 Periode jika Partai Pendukungnya Merestui

Dunia maya yang menerapkan logika algoritma biner, kata Qodari, menciptakan fenomena yang disebut ruang gema atau echo chamber.

"Di mana semisal seseorang mengakses informasi mengenai orang lain, misal dikasih informasi tentang si A terus, kemudian dia akses informasi tentang si B, si B terus. Itu menciptakan fenomena yang namanya ruang gema atau echo chamber," jelas Qodari.

Manifestasi fenomena echo chamber ini terjadi saat Pilpres 2019 dalam wujud kategorisasi cebong dengan kampret.

Baca juga: Fadli Zon: Wacana Presiden 3 Periode Sangat Kontraproduktif dan Tak Etika Disituasi Pandemi

Sebagai informasi, cebong dan kampret merupakan sebutan bagi pendukung Jokowi dan Prabowo.

Fenomena politik identitas dan echo chamber, lanjut Qodari, melahirkan hal-hal yang tidak pernah diduga dan tidak pernah terjadi sebelumnya.

Semisal pada tahun 2014, saat Presiden Jokowi akan dilantik, sesungguhnya massa simpatisan Prabowo Subianto berencana menyerbu gedung MPR.

Tujuannya ialah untuk membatalkan pelantikan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden.

Baca juga: Qodari Ungkap Alasan Dorong Jokowi Tiga Periode Berpasangan dengan Prabowo di 2024

"Tahun 2014 banyak yang tidak tahu. Sesungguhnya massa Prabowo Subianto itu sudah banyak yang punya agenda untuk menyerbu gedung MPR pada hari pelantikan Presiden Jokowi dengan Jusuf Kalla pada waktu itu," jelas Qodari.

"Yang kedua di tahun 2019 misalnya Bawaslu diserbu habis-habisan, terjadi bentrokan, bukan hanya di Sudirman, tetapi kemudian sampai ke Tanah Abang, Slipi. Dan sebetulnya ada korban meninggal juga. Saya melihat tren ini ke depan hampir menjadi sebuah proyeksi yang kuat sekali," sambung dia.

Komunitas JokPro berpandangan, bila Indonesia masih mengalami fenomena politik identitas dan echo chamber, suasana kontestasi Pilpres 2024 tidak akan kondusif.

"Saya melihat nanti 2024 kalau polanya tetap seperti ini, katakanlah kalau calon itu bukan Jokowi-Prabowo, maka akan terjadi apa yang dikhawatirkan," kata Qodari.

"Di mana nanti akan ada kerusuhan. Banyak orang meninggal dunia, terjadi penyerbuan gedung MPR. Petugas kelelahan, jadi korban, ada yang kena peluru nyasar. Seperti 2019 ada orang seperti Yunarto Wijaya dijadikan target pembunuhan. Skala (kerusuhan) akan jauh lebih besar dibanding yang kita saksikan sekarang sebelumnnya," lanjutnya.

"Singkatnya Indonesia itu arahnya memenuhi tesis atau teori from elections to violence atau dari pemilu menuju kepada kekerasan," imbuh Qodari.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan