Respons Politikus PAN Sikapi Wacana Coblos Partai Bukan Caleg di 2024: Mengebiri Hak Rakyat
Guspardi Gaus merespons wacana mencoblos partai atau sistem proporsional tertutup pada pemilihan umum atau Pemilu 2024.
Penulis:
Fersianus Waku
Editor:
Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus merespons wacana mencoblos partai atau sistem proporsional tertutup pada pemilihan umum atau Pemilu 2024.
Guspardi menilai upaya mengembangkan sistem Pemilu dari terbuka ke proporsional tertutup merupakan bentuk mengebiri hak rakyat dalam memilih wakilnya.
"Mengembalikannya sistem pemilihan legislatif ke sistem proporsional tertutup merupakan bentuk 'set back' atau memutar jarum kebelakang dan mengkebiri hak rakyat dalam memilih wakilnya di parlemen," kata Guspardi dalam keterangannya, Jumat (30/12/2022).
Ia juga menganggap hak rakyat dalam untuk memilih wakilnya dekan dirampas dan lari dari semangat reformasi.
"Hak demokrasi rakyat memilih wakil mereka untuk duduk di parlemen seakan dirampas dan juga lari dari semangat reformasi," ujar Guspardi.
Baca juga: PSI Tolak Wacana Penerapan Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu 2024: Khianati Demokrasi
Terhadap pernyataan Ketua KPU Hasyim Asyari baru-baru ini soal kemungkinan Pemilu 2024 pakai proporsional tertutup, Guspardi mengingatkannya agar fokus pada tahapan Pemilu.
"KPU sebagai penyelenggara Pemilu harusnya fokus mempersiapkan Pemilu dengan berbagai tantangan dan kerumitannya dapat berjalan sukses sesuai dengan tahapannya," ucap Anggota Baleg DPR RI itu.
Menurut Guspardi, pada 23 Desember 2008 silam Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak judicial review (JR) yang diajukan 2 partai saat itu tentang sistem proporsional terbuka.
Baca juga: KPU Bicara Peluang Pemilu Proposional Tertutup, Wakil Ketua Umum PPP: Peringatan ke Partai Politik
"MK menilai sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan sistem proporsional tertutup bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat," ungkapnya.
Terkait adanya uji materi agar Pemilu 2024 menggunakan sistem proposional tertutup, ia menyebut bahwa putusan MK tidak dapat diubah karena bersifat mengikat.
"Masa sih MK akan membatalkan keputusannya sendiri. Jangan sampai ada dugaan MK cenderung tidak netral," ucapnya.
Lebih lanjut, Guspardi menambahkan Indonesia telah menggunakan sistem proposional terbuka dalam tiga kali Pemilu berturut-turut, yakni di tahun 2009, 2014, dan 2019.
"Dengan tiga kali Pemilu sistem proporsional terbuka ini tidak ada masalah. Oleh karena itu, sistem proporsional terbuka itu sudah sangat ideal dan sudah teruji dan perlu di lanjutkan," imbuhnya.
Adapun saat ini sejumlah politisi mengajukan uji materi terhadap UU No. 7 tahun 2019 atau UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka meminta MK untuk membatalkan pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Sebelumnya, Hasyim mengungkapkan ada kemungkinan Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup.
Hal itu disampaikan Hasyim pada sambutan acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU RI, di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/2022).
Hasyim juga mengimbau kepada para calon legislatif (Caleg) agar tidak melakukan kampanye dini.
Sebab, ada kemungkinan jika MK memutuskan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup.
"Maka dengan begitu menjadi tidak relevan, misalkan saya mau nyalon pasang gambar-gambar di pinggir jalan, jadi enggak relevan. Karena apa? Namanya enggak muncul lagi di surat suara. Enggak coblos lagi nama-nama calon. Yang dicoblos hanya tanda gambar parpol sebagai peserta Pemilu," ungkap Hasyim.
Sebagai informasi, dalam sistem Pemilu proposional tertutup, partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh partai politik.
Selain itu, pemilih memilih partai politik dan penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.
Jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2.