Senin, 8 September 2025

Yusril: Hukuman Mati Dalam KUHP Nasional Tak Dihapus, Tapi Masuk Kategori Sanksi Pidana Khusus

Yusril Ihza Mahendra menegaskan pidana mati dalam KUHP Nasional tidak dihapuskan, melainkan ditempatkan sebagai sanksi pidana yang bersifat khusus

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Danang Triatmojo
PIDANA MATI - Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra di Hotel Dharmawangsa Jakarta, Kamis (6/2/2025). Yusril menegaskan pidana mati dalam KUHP Nasional tidak dihapuskan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pidana mati dalam KUHP Nasional tidak dihapuskan, melainkan ditempatkan sebagai sanksi pidana yang bersifat khusus dan dijatuhkan serta dilaksanakan secara sangat hati-hati. 

Jaksa juga diwajibkan oleh KUHP Nasional untuk mengajukan tuntutan hukuman mati dengan disertai alternatif hukuman jenis lain, misalnya hukuman seumur hidup, untuk dipertimbangkan majelis hakim.

"Pemerintah dan DPR memang harus menyusun undang-undang tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati sebagaimana diamanatkan Pasal 102 KUHP Nasional yang baru," ujar Yusril melalui keterangan tertulis, Rabu (9/4/2025).

"Namun secara substansi, ketentuan mengenai pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP Nasional," imbuhnya.

Menurut Yusril, pidana mati tidak serta merta dilaksanakan setelah putusan pengadilan.

Baca juga: Prabowo Tak Setuju Koruptor Dihukum Mati, Ini Penjelasan Yusril Ihza Mahendra

KUHP mengatur bahwa pidana mati hanya dapat dieksekusi setelah permohonan grasi terpidana ditolak presiden. 

Jadi, memohon grasi atas penjatuhan pidana mati wajib dilakukan baik oleh terpidana, keluarga atau penasihat hukumnya sesuai ketentuan KUHAP.

Pasal 99 dan 100 KUHP memberi ruang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.

Baca juga: Dorong Pembahasan RUU Keamanan Laut, Yusril Singgung Kewenangan Penegakan Hukum

"Apabila selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, maka presiden dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup," kata Yusril.

Menko Yusril menambahkan, pendekatan kehati-hatian ini berangkat dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Karena itu, pidana mati hanya dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan berat tertentu dan tidak boleh dilaksanakan tanpa pertimbangan mendalam.

"Bagaimana juga, hakim dan pemerintah adalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam memutuskan," ujar Yusril.

Yusril mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan, "Bagi seorang hakim, adalah lebih baik dia salah dalam mengambil keputusan dengan membebaskan seseorang, daripada dia salah memutuskan dengan menghukum seseorang."

Menurut Yusril, jika suatu kesalahan terjadi dalam menjatuhkan dan melaksanakan pidana mati, maka konsekuensinya tidak dapat diperbaiki. 

"Orang yang sudah dihukum mati tidak mungkin dihidupkan kembali. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah prinsip yang mutlak," ujarnya.

Terkait dengan perdebatan seputar hak asasi manusia (HAM), Yusril menyatakan bahwa sikap terhadap pidana mati sangat tergantung pada tafsir filosofis tentang hak hidup. 

"Beberapa agama di masa lalu mungkin membenarkan pidana mati berdasarkan doktrin dan hukum agama tersebut, namun dalam perkembangan teologis masa kini, ada pula tafsir baru yang menolak pidana mati," kata dia.

KUHP Nasional, lanjut Yusril, mengambil jalan tengah antara berbagai pendekatan. 

"Pidana mati dikenal dalam Hukum Pidana Islam, hukum pidana adat, maupun dalam KUHP warisan Belanda. Kita menghormati hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat. Karena itu, kita tidak menghapuskannya, tetapi merumuskan pidana mati sebagai upaya terakhir yang pelaksanaannya dilakukan dengan penuh kehati-hatian," ujar dia.

Dalam wawancara bersama enam pemimpin redaksi media nasional, Presiden Prabowo Subianto menegaskan ketidaksetujuannya terhadap penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. 

Prabowo berpendapat bahwa hukuman mati tidak memberikan ruang koreksi apabila terjadi kesalahan dalam proses hukum.

Prabowo menyatakan bahwa meskipun keyakinan atas kesalahan seseorang mencapai 99,9 persen, masih ada kemungkinan individu tersebut menjadi korban atau dijebak. 

Karena itu, hukuman mati yang bersifat final tidak memungkinkan perbaikan atas kesalahan tersebut.

Lebih lanjut, Presiden Prabowo menekankan pentingnya pengembalian kerugian negara oleh koruptor dan mendukung penyitaan aset-aset hasil korupsi sebagai langkah yang wajar dalam memberantas korupsi. 

Namun, Prabowo juga mengingatkan agar aspek keadilan diperhatikan, sehingga anak dan keluarga koruptor tidak ikut menderita akibat penyitaan harta tersebut.

Prabowo menyatakan bahwa dosa orang tua tidak seharusnya menjadi beban bagi anak-anak mereka.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan