Rabu, 1 Oktober 2025

Hari Lingkungan Hidup

5 Juni Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Raja Ampat Menangis Alamnya Dikeruk Demi Nikel

Di peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni, bumi Raja Ampat sedang menangis karena alamnya dikeruk untuk tambang nikel

TRIBUN SORONG/M FAJRI
KERUK NIKEL - Gugusan pulau indah di kawasa wisata Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Kepulauan Raja Ampat jadi destinasi top wisata bahari karena keanekaragaman hayati laut dan gugusan karangnya. Di peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni, bumi Raja Ampat sedang menangis karena alamnya dikeruk untuk tambang nikel 

TRIBUNNEWS.COM - Hari ini 5 Juni 2025 memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) telah menggaungkan seruan global sesuai tema Hari Lingkungan Hidup (HLH) tahun ini yakmi Hentikan Polusi Plastik.

Tema tersebut dicanangkan untuk menegaskan pentingnya aksi kolektif untuk menghentikan krisis plastik yang semakin mengancam ekosistem dan kesehatan manusia.

Namun di sisi lain, peringatan HLH tahun ini tercoreng dengan kabar yang mencuat belakangan.

Beroperasinya tambang-tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai protes dari sejumlah kalangan, termasuk pecinta lingkungan hidup.

Kegiatan tersebut dinilai merusak ekosistem dan mengancam kesehatan masyarakat sekitarnya.

Sejumlah anggota komunitas lingkungan hidup belum lama ini menjadi sorotan karena melayangkan aksi unjuk rasa di tengah acara konferensi 'Indonesia Critical Minerals" yang dihadiri Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno yang berlangsung di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa(3/6/2025).

Mereka yang melakukan protes adalah sejumlah warga Raja Ampat dan beberapa aktivis Greenpeace itu kemudian diusir dan diseret keluar dari tempat acara.

Saat diusir dan diseret aktivis dan warga Raja Ampat, Papua sempat berteriak 'Save Raja Ampat!'. Mereka juga membentangkan spanduk bertuliskan "Nickel Mines Destroy Lives" dan Save Raja Ampat from Nickel Mining”. 

Greenpeace dalam siaran pers yang diterima Tribun membenarkan insiden tersebut.

Menurut mereka setelah Sulawesi, Halmahera, dan pulau kecil seperti Obi, tambang nikel kini juga mengincar Raja Ampat (Pulau Gag, Kawe, dan Manuran). Setidaknya 500 Hektare hutan mulai musnah. 

Baca juga: Aktivis Greenpeace dan Warga Diseret Keluar Hotel Saat Protes Pembukaan Tambang Nikel di Raja Ampat

Padahal menurut UU Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, kawasan ini tak boleh ditambang.

Sebenarnya aktivis Greenpeace dan warga Raja Ampat, Papua melakukan aksi damai untuk menyuarakan dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel yang membawa nestapa bagi lingkungan hidup dan masyarakat.  

Bukan hanya di ruang konferensi, aktivis Greenpeace Indonesia dan anak muda Papua juga membentangkan banner di exhibition area yang terletak di luar ruang konferensi.

Pesan-pesan lain yang berbunyi “What’s the True Cost of Your Nickel”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat the Last Paradise” terpampang di antara gerai-gerai dan para pengunjung pameran. 

Greenpeace dalam aksinya tersebut sebenarnya ingin mengirim pesan kepada pemerintah Indonesia dan para pengusaha industri nikel yang meriung di acara tersebut, serta kepada publik, bahwa tambang dan hilirisasi nikel di berbagai daerah telah membawa derita bagi masyarakat terdampak.

Industri nikel juga merusak lingkungan dengan membabat hutan, mencemari sumber air, sungai, laut, hingga udara, dan jelas akan memperparah dampak krisis iklim karena masih menggunakan PLTU captive sebagai sumber energi dalam pemrosesannya.

“Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel dalam konferensi ini, masyarakat dan bumi kita sudah membayar harga mahal. Industrialisasi nikel yang makin masif seiring tren naiknya permintaan mobil listrik telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi. Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, Rabu(4/6/2025).

3 Pulau Kecil

Dari sebuah perjalanan menelusuri Tanah Papua pada tahun lalu, Greenpeace menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, di antaranya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. 

Ketiga pulau itu termasuk kategori pulau-pulau kecil yang sebenarnya tak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil. 

Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas.

Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.

Raja Ampat, salah satu surga tersembunyi di Indonesia Timur.
Raja Ampat, salah satu surga tersembunyi di Indonesia Timur. (indonesia.travel)

Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun.

Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp100.000. 

Raja Ampat, yang sering disebut sebagai ‘surga terakhir di Bumi’, terkenal karena kekayaan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautnya. Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan.

Daratan Raja Ampat memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark.

Ronisel Mambrasar, anak muda Papua yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat mengatakan bahwa Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung halamannya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele. 

"Tambang nikel mengancam kehidupan kami. Bukan cuma akan merusak laut yang selama ini menghidupi kami, tambang nikel juga mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik," ujarnya.

Karena itu Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industrialisasi nikel yang telah memicu banyak masalah.

Sesumbar tentang keuntungan hilirisasi, yang digaungkan sejak era pemerintahan Jokowi dan kini dilanjutkan Prabowo-Gibran, sudah seharusnya diakhiri. 

Industrialisasi nikel terbukti menjadi ironi: bukannya mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, tapi justru menghancurkan lingkungan hidup, merampas hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan memperparah kerusakan bumi yang sudah menanggung beban krisis iklim. 

Evaluasi Bahlil

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia akan mengevaluasi keberadaan tambang-tambang nikel yang ada di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Menurut Bahlil, diperlukan perlakuan khusus untuk pembangunan smelter di Papua karena daerah tersebut merupakan otonomi khusus.

Bahlil pun akan memanggil para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di kawasan Raja Ampat agar bisa mengevaluasi aktivitas pertambangan di sana.

"Nanti saya akan evaluasi. Saya ada rapat dengan dirjen saya, saya akan panggil pemilik IUP, mau BUMN atau swasta. Kita memang harus menghargai karena di Papua itu kan ada otonomi khusus sama dengan Aceh. Jadi perlakuannya juga khusus," katanya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (3/6/2025).

"Ini mungkin saja saya melihat ada kearifan-kearifan lokal yang belum disentuh dengan baik. Jadi saya akan coba untuk melakukan evaluasi," jelas Bahlil.

Pria yang juga Ketua Umum Partai Golkar itu memastikan keberadaan tambang nikel di Raja Ampat akan disesuaikan dengan kaidah yang terkandung dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Sebagaimana diketahui, keberadaan industri nikel di Raja Ampat tengah menjadi sorotan.

NGO Greenpeace dalam akun media sosial X-nya menyebut Raja Ampat kini sedang berada dalam ancaman industri nikel dan program hilirisasi yang dijalankan pemerintah.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty telah menaruh perhatian pada kasus ini. Ia menegaskan, Raja Ampat merupakan kawasan dengan kekayaan alam luar biasa, mulai dari pantai, hutan, hingga ekosistem laut yang unik. 

Keberadaan pertambangan yang tidak terkelola secara baik menjadi ancaman bagi masa depan pariwisata di kawasan tersebut.

“Kita tahu ini sudah diviralkan oleh Greenpeace, banyak demo, karena mereka punya kekhawatiran yang sama kelestarian lingkungan dan keberlanjutan wisata,” ujar Evita pada kunjungan kerja reses Komisi VII DPR RI di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (28/5/2025), dikutip dari Tribun Sorong.

Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap perusahaan tambang karena semua perizinan dikelola dari pusat tanpa pelibatan maksimal pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum setempat.

Evita meminta agar pemerintah pusat segera mengevaluasi secara menyeluruh terhadap izin-izin tambang yang telah dikeluarkan, terutama di wilayah yang sensitif terhadap pariwisata seperti Raja Ampat

Politisi perempuan dari PDI Perjuangan tersebut menilai, narasi “pertambangan berdampingan dengan pariwisata” hanyalah ilusi.

“Suka tidak suka, kalau ada tambang, tidak mungkin bisa menjaga ekosistem. Bohong itu,” katanya.

(Tribunnews.com/ Chrysnha, Willy Widianto, Endrapta Ibrahim)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved