KPK Peringatkan Potensi 'Upeti' Kuota dan Markup dalam Layanan Haji 2026
KPK menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana haji tahun 2026 yang diperkirakan mencapai Rp 17-20 triliun untuk 221 ribu jemaah.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana haji tahun 2026 yang diperkirakan mencapai Rp 17 triliun hingga Rp 20 triliun untuk 221 ribu jemaah.
Keterbukaan, terutama dalam proses pengadaan barang dan jasa (PBJ), diyakini menjadi kunci untuk mewujudkan layanan haji yang akuntabel dan bebas dari penyimpangan.
Hal ini mengemuka dalam audiensi antara pimpinan KPK dan jajaran Kementerian Haji dan Umrah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Jumat (3/10/2025).
"Prinsipnya itu transparansi, kalau ada proses lelang, pengadaan, sebaiknya dipublikasikan saja," ujar Ketua KPK, Setyo Budiyanto.
Menurut Setyo, dengan mempublikasikan proses pengadaan, masyarakat dapat turut serta mengawasi.
Baca juga: Irfan Yusuf Serahkan 200 Nama Calon Pejabat Kementerian Haji ke KPK, Minta Ditelusuri Rekam Jejaknya
Langkah ini diharapkan dapat mencegah terulangnya berbagai persoalan yang terjadi pada penyelenggaraan haji tahun sebelumnya.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Haji dan Umrah, Mochamad Irfan Yusuf, menyambut baik dorongan KPK dan menyatakan komitmennya untuk menciptakan layanan yang transparan dan akuntabel.
Pihaknya secara proaktif akan menggandeng KPK untuk mendampingi dalam upaya pencegahan korupsi.
Baca juga: DPR Tetapkan Kementerian Haji dan Umrah sebagai Mitra Kerja Komisi VIII
"Kami minta bantuan KPK untuk bisa menjalankan amanah sesuai yang diperintahkan oleh presiden," kata Irfan.
Dalam pertemuan tersebut, kementerian memetakan sejumlah titik rawan dalam pengadaan barang dan jasa layanan haji.
Potensi markup dan gratifikasi diidentifikasi dapat terjadi pada pengadaan gelang identitas, buku manasik, hotel, penerbangan, katering, hingga transportasi.
Selain itu, kerugian negara juga bisa timbul dari pembayaran premi asuransi yang melebihi nilai seharusnya.
Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, menyoroti risiko lain yang lebih besar dari sekadar kerugian finansial, yaitu praktik pemberian upeti terkait perolehan kuota haji.
“Yang paling rawan itu bukan kerugiannya, tapi menerima upeti karena semua orang itu pasti ingin berangkat,” kata Fitroh.
Sebagai bentuk komitmen, Kementerian Haji dan Umrah meminta bantuan KPK untuk melakukan penelusuran (tracing) rekam jejak calon pejabat yang akan mengisi posisi di kementerian baru tersebut.
KPK menyambut baik sinergi ini dan menawarkan sejumlah dukungan, mulai dari hasil kajian penyelenggaraan haji, penguatan integritas petugas, hingga pengawasan langsung pada pelaksanaan haji 2026.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.