Rabu, 12 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Pemberian Gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto Dinilai Jadi Skandal Era Reformasi

Pemberian status pahlawan nasional untuk Soeharto dinilai merupakan skandal politik terbesar era reformasi. 

Tribunnews.com/Taufik Ismail/Tangkapan Layar di YouTube Sekretariat Presiden
GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional tahun 2025 kepada 10 tokoh. Penganugerahan tersebut dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Keluarga almarhum Presiden ke-2 RI Soeharto menanggapi pro-kontra atas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional yang diberikan Presiden Prabowo. 

Ringkasan Berita:
  • PVRI menyebut penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sebagai skandal politik terbesar era reformasi.
  • Keputusan tersebut dinilai sebagai bentuk pengkultusan elite yang mengabaikan nilai moral, pengetahuan ilmiah, dan ingatan publik atas penyimpangan kekuasaan.
  • Direktur Eksekutif PVRI, Muhammad Naziful Haq, menyatakan bahwa Soeharto bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) secara sistemik.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga kajian dan aktivisme demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai pemberian status pahlawan nasional untuk Soeharto merupakan skandal politik terbesar era reformasi

Direktur Eksekutif PVRI Muhammad Naziful Haq menilai, keputusan tersebut adalah pengkultusan elite yang menihilkan nilai-nilai moral, pengetahuan ilmiah dan ingatan rakyat atas penyimpangan kekuasaan selama 32 tahun.

"Keputusan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto lebih mirip pencucian dosa sejarah yang dipaksakan terang-terangan," kata Nazif dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).

Nazif berpandangan, keputusan ini mengabaikan aspirasi dan penolakan masyarakat sipil termasuk korban pelanggaran HAM yang hingga kini masih menuntut keadilan.

“Para elite mungkin menganggapnya sah administratif, tapi apalah artinya itu dibanding sebelangga fakta ilmiah yang terhampar terang dan dibaca khalayak umum. Jadi keputusan ini pada dasarnya sesat pikir dan logika. Bagaimana mungkin aktor yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM dan KKN secara sistematik dianggap pahlawan?" ucapnya.

Usman Hamid: Bagaimana Bisa?

Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus PVRI, Usman Hamid, mengaku heran atas gelar pahlawan terbesar. 

“Bagaimana bisa orang yang paling bertanggungjawab atas salah satu genosida terbesar selama sejarah ketika merebut kekuasaan justru dijadikan pahlawan nasional. Benar-benar absurd,” ucap Usman.

Menurut dia, kajian ilmiah menunjukkan, Soeharto bermasalah sejak awal karena meraih kekuasaan dengan penuh rekayasa berdarah. 

Sebagian fakta ini tercermin di karya Benedict Anderson dan Ruth McVey pada tahun 1971 berjudul Preliminary Analysis of the 1 October, 1965 Coup in Indonesia, terbitan Cornell University Press. 

Sebagian lagi tercermin dari karya John Roosa pada 2006 berjudul Pretext of Mass Murder: The September 30th Movement and Soeharto’s Coup d’ Etat in Indonesia, terbitan University of Wisconsin Press.

“Rezim Soeharto mengawali kekuasaannya dengan pembasmian gerakan rakyat yang berkemajuan, yang salah satunya adalah gerakan perempuan, seperti yang ditulis di Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999) karya Saskia E. Wieringa. Anti-komunisme juga dinormalisasi lewat film dan sastra yang akhirnya ini menjadi kekerasan budaya setelah 1965. Wijaya Herlambang menuliskannya dengan rinci dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013)," lanjut Usman.

Nazif menyebut, berdirinya rezim Soeharto tidak terlepas dari agenda global Amerika Serikat (AS) menjatuhkan kepemimpinan Soekarno yang kritis pada kekuatan ekonomi politik Barat dan menyediakan karpet merah untuk kapitalisme Amerika di Indonesia. 

Ia mengutip karya jurnalis Amerika, Vincent Bevins, Metode Jakarta (2022) bahkan menggambarkannya amat gelap.

Sekitar 500.000 jiwa telah menjadi korban program anti-komunisme bersponsor AS di Indonesia. 

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved