Kamis, 13 November 2025

Menilik Kasus Sengketa Lahan Jusuf Kalla, Mahfud MD: Ini Penggarongan Hak-hak Masyarakat Indonesia

Mahfud MD menilai, dari sengketa lahan yang dialami Jusuf Kalla, ada permainan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan aparat.

Tribunnews.com/Chaerul Umam
SENGKETA LAHAN - Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK), ditemui di Gedung DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025). Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM RI (Menkopolhukam) Mahfud MD menanggapi sengketa lahan yang dialami oleh Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla. 
Ringkasan Berita:
  • Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, mengalami sengketa lahan seluas 16,4 hektare di Kota Makassar dengan PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (GMTD).
  • Jusuf Kalla pun murka dan menganggap dirinya sebagai korban mafia tanah.
  • Menanggapi sengketa lahan Jusuf Kalla, eks Menkopolhukam RI Mahfud MD menyebut sektor pertanahan menjadi salah satu pusat korupsi dan perampokan hak-hak masyarakat Indonesia.

TRIBUNNEWS.COM - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM RI (Menkopolhukam), Mahfud MD, menanggapi sengketa lahan yang dialami oleh Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla.

Sengketa lahan terjadi antara Jusuf Kalla atau JK yang juga pendiri Kalla Group dengan PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (GMTD), sebuah anak perusahaan Lippo Group.

Kasus tersebut, mengemuka pada awal November 2025, dan menuai sorotan publik lantaran muncul dugaan praktik "mafia tanah" di kawasan strategis Makassar, Sulawesi Selatan.

Apalagi, korbannya adalah sosok sekaliber Jusuf Kalla yang notabene pernah menjadi orang nomor dua di Indonesia.

Dalam sengketa ini, JK menuduh adanya rekayasa hukum untuk merebut lahan seluas 164.151 meter persegi atau 16,4 hektare miliknya yang terletak di Jalan Metro Tanjung Bunga, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Sementara, pihak GMTD dan Lippo Group telah membantah tudingan tersebut, sekaligus mengeklaim kepemilikan berdasarkan putusan pengadilan lama.

Penggarongan Hak-hak Masyarakat Indonesia

Terkait sengketa lahan yang dialami Jusuf Kalla, Mahfud MD menilai, hal tersebut merupakan modus yang sudah sering dilakukan oleh mafia tanah.

Modusnya, menjual tanah orang lain dengan cara memalsukan sertifikat atau mengeluarkan sertifikat baru, kemudian pemilik tanah yang asli disuruh menggugat ke pengadilan.

"Apa yang terjadi dengan Pak JK ini adalah modus yang umum dilakukan oleh penggarong atau oleh mafia tanah."

"Mengambil tanah orang atau tanah negara dengan cara memalsu sertifikat dulu atau memaksa ada sertifikat lain, lalu yang punya yang asli itu disuruh gugat ke pengadilan," kata Mahfud MD, dikutip dari podcast Terus Terang yang diunggah di kanal YouTube Mahfud MD Officia, Senin (10/11/2025).

Baca juga: Jusuf Kalla: Mafia Tanah Harus Diberantas, Jangan Sampai Masyarakat Jadi Korban

"Sama kan dengan Pak JK. Dia punya tanah sudah beli 30an tahun lalu."

"Dia punya sertifikat disuruh jaga ke orang. Lalu orang yang disuruh jaga ini disuruh jual. Iya kan? Padahal orang itu nggak punya hak atas tanah itu."

"Lalu diketahui bahwa itu punya Pak JK, nggak boleh dijual, tapi sertifikatnya sudah keluar dijual oleh orang ini," imbuhnya.

Menurut Mahfud, ada permainan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan aparat yang seharusnya menegakkan hukum.

Sehingga, orang yang statusnya bukan pemilik malah bisa menjual tanah yang diserobotnya, karena BPN kongkalikong mengeluarkan sertifikat kepemilikan baru.

Lalu, Mahfud sudah menandai, ada pola yang sama.

Yakni, ketika pemilik asli menggugat ke pengadilan untuk mempertahankan tanah miliknya yang dijual oleh orang lain lewat sertifikat yang berbeda, maka dia akan kalah di pengadilan.

"Nah gimana cara menjual? Main dengan BPN, main dengan aparat, lalu keluarlah sertifikat," papar Mahfud MD.

"Lalu disuruh menggugat kan? Pak JK sebagai korban suruh menggugat. Dia nggak merasa menjual, kok suruh menggugat orang lain yang tidak punya hak menjual?

"Nanti, kalau [pemilik asli] menggugat ke pengadilan, kalah. Itu pola di mana-mana."

Mahfud MD yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu menyebut, sektor pertanahan menjadi salah satu pusat korupsi dan perampokan hak-hak masyarakat Indonesia.

"Oleh sebab itu saya katakan area atau sentra korupsi dan penggarongan hak-hak masyarakat di Indonesia itu ada di Pajak/Bea Cukai, Pertanahan, Pertambangan, Kelautan dan lain-lain."

"Yang lain-lain sektoral. Tapi kalau ini, tanah, gila," tutur Mahfud.

Baca juga: Duduk Perkara Sengketa Lahan 16,4 Hektare antara Jusuf Kalla dan Anak Usaha Lippo Group di Makassar

Jusuf Kalla: Sudah Terjadi di Mana-mana

Soal sengketa lahan dengan GMTD, Jusuf Kalla pun menganggap dirinya sebagai korban mafia tanah.

Senada dengan apa yang disampaikan Mahfud MD, Jusuf Kalla menegaskan bahwa mafia tanah tak hanya ada di Makassar, tapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia.

"Bukan hanya di Makassar, banyak terjadi di tempat lain. Itu semua kriminal, dibuat dengan cara merekayasa hukum, merekayasa apa, memalsukan dokumen, memalsukan orang," kata Jusuf Kalla di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Jusuf Kalla menegaskan, jika keberadaan mafia tanah dibiarkan, maka akan lebih banyak lagi masyarakat yang menjadi korban.

"Praktik itu terjadi di mana-mana dan kita harus lawan bersama-sama, kalau enggak, ini masyarakat jadi korban, termasuk saya korban, tapi kita punya (bukti) formal yang tidak bisa dibantah," ujarnya.

Lebih lanjut, Jusuf Kalla mengungkapkan, berdasarkan penuturan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, dirinya merupakan pihak yang sah atas kepemilikan tanah tersebut.

"Kan Menteri Nusron mengatakan itu yang sah milik saya, mafianya harus diberantas, dilawan. Kalau dibiarin, ya jadi begini," pungkasnya.

Jusuf Kalla Kesal

Awal November 2025 lalu, Jusuf Kalla meluapkan kekesalannya atas sengketa lahan antara Hadji Kalla dengan Gowa Makassar Tourism Development (GMTD). 

Ia menuding ada praktik mafia tanah dalam kasus tersebut.

Pria yang akrab disapa JK ini menilai, eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri (PN) Makassar yang dilakukan dua hari sebelumnya tidak sah secara hukum.

Pernyataan itu disampaikan langsung oleh JK saat meninjau lokasi sengketa di Jalan Metro Tanjung Bunga, Tamalate, Makassar, pada Rabu (5/11/2025) pagi.

Menurut JK, lahan tersebut, telah dimiliki Hadji Kalla sejak tahun 1993. Namun, pengadilan justru memenangkan pihak GMTD.

“Kalau begini, nanti seluruh kota (Makassar) dia akan mainkan seperti itu, merampok seperti itu. Kalau Hadji Kalla saja dia mau main-main, apalagi yang lain,” kata JK, dikutip dari Tribun Makassar

Jusuf Kalla menyebut, dirinya mempunyai bukti sertifikat kepemilikan yang menunjukkan pihaknya sudah memiliki lahan tersebut sejak 1993.

Lebih lanjut, ia mengatakan, tanah itu dibelinya langsung dari anak Raja Gowa.

"Padahal ini tanah saya sendiri yang beli dari Raja Gowa, kita beli dari anak Raja Gowa. Ini (lokasi) kan dulu masuk Gowa ini. Sekarang (masuk) Makassar," tegas JK.

JK menilai, putusan PN Makassar memenangkan gugatan sengketa lahan GMTD adalah wujud pelanggaran atas ketentuan dari Mahkamah Agung (MA).

Dia mengatakan, saat eksekusi putusan tersebut, seharusnya ada perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Namun, JK menyebut, justru yang hadir saat eksekusi hanyalah perwakilan GMTD.

"Dia bilang eksekusi. Di mana eksekusi? Kalau eksekusi mesti di sini (di lokasi). Syarat eksekusi itu ada namanya constatering, diukur oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang mana."

"Yang tunjuk justru GMTD. Panitera tidak tahu, tidak ada hadir siapa, tidak ada lurah, tidak ada BPN. Itu pasti tidak sah," paparnya.

Constatering merupakan istilah hukum berupa pencocokan batas-batas dan luas tanah dan atau bangunan yang hendak dieksekusi.

JK pun menyebut, GMTD telah melakukan kebohongan dan rekayasa hukum.

"Ini Mahkamah Agung (aturan) mengatakan harus diukur oleh BPN. Jadi pembohong semua mereka itu," katanya.

(Tribunnews.com/Rizki A./Chaerul Umam)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved