Rabu, 12 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Politisi Muda Golkar Minta Publik Objektif dan Proporsional Respons Gelar Pahlawan untuk Soeharto

M. Fauzan Irvan menekankan dalam menilai tokoh bangsa, masyarakat perlu memisahkan antara kesalahan manusiawi dengan kontribusi kepada negara.

|
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Willem Jonata
Tribunnews/Jeprima
ANUGERAH PAHLAWAN NASIONAL - Presiden Prabowo Subianto menyerahkan anugerah gelar pahlawan nasional kepada anak Jenderal Besar TNI Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana dan Bambang Trihatmodjo di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan pahlawan nasional kepada 10 tokoh di antaranya K.H. Abdurrahman Wahid, Jenderal Besar TNI Soeharto, dan aktivis buruh Marsinah sebagai upaya pemerintah dalam menghormati jasa para pendahulu dan pemimpin bangsa yang dinilai telah memberikan kontribusi besar bagi negara. Tribunnews/Jeprima 

“Soeharto adalah prajurit terbaik yang pernah dimiliki TNI. Ia berperan penting dalam operasi Trikora yang membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda,” ujar Fauzan.

Selain itu, Soeharto juga dianggap berperan sentral dalam penumpasan pemberontakan G30S/PKI dan memulihkan stabilitas nasional pada masa yang penuh gejolak. Menurut Fauzan, tanpa langkah tegas yang diambil Soeharto saat itu, ideologi komunis mungkin masih mengancam dasar negara Pancasila hingga kini.

“Kalau tidak ada tindakan dari Soeharto dalam peristiwa G30S/PKI, mungkin hari ini kita tidak lagi mengenal Pancasila sebagai ideologi bangsa. Ini fakta sejarah,” tegasnya.

Fauzan juga menyoroti bahwa selama memimpin, Soeharto berhasil membangun fondasi ekonomi dan infrastruktur nasional yang kuat, sekaligus menumbuhkan semangat stabilitas pembangunan di berbagai sektor.

“Kita tidak menutup mata bahwa ada pelanggaran atau kesalahan, tapi kontribusi dan hasil nyata pembangunan di masa itu tidak bisa dihapuskan. Banyak generasi yang menikmati hasilnya hingga sekarang,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Fauzan menjelaskan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional bukanlah keputusan sepihak, melainkan melalui proses panjang dan berlapis. Proses tersebut melibatkan pemerintah daerah, akademisi, tokoh masyarakat, hingga kementerian terkait.

“Sebelum keputusan sampai ke presiden, ada tim peneliti, akademisi, dan tokoh masyarakat yang mengkaji secara mendalam. Jadi tidak mungkin seseorang langsung ditetapkan tanpa prosedur,” jelasnya.

Menurut Fauzan, jika semua prosedur telah dilalui dan rekomendasi diberikan secara resmi, maka penolakan terhadap hasil tersebut justru dapat dianggap menentang proses demokrasi yang sah.

“Kalau sudah melalui mekanisme formal dan riset yang melibatkan banyak pihak, maka keputusan itu seharusnya dihormati. Menolak hasil kajian akademik dan administratif berarti menolak proses demokratis yang sudah dijalankan,” katanya.

Ia mencontohkan proses serupa yang juga tengah diperjuangkan untuk Sultan Hamid II, perancang lambang negara Garuda Pancasila, yang hingga kini masih dalam kajian untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional.

Lebih lanjut, Fauzan mengajak masyarakat untuk lebih objektif dalam menilai jasa para tokoh bangsa. Menurutnya, setiap pemimpin memiliki sisi baik dan buruk, namun yang terpenting adalah warisan perjuangan dan kontribusi bagi kemajuan negara.

“Kita tidak sedang membicarakan dosa pribadi, tapi kontribusi terhadap negara. Soeharto adalah bagian dari sejarah panjang bangsa ini. Ia punya andil besar dalam menjaga keutuhan Indonesia,” pungkasnya.

Fauzan berharap, perdebatan mengenai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak dijadikan alat politik atau sentimen masa lalu, melainkan dijadikan refleksi untuk menilai secara adil jasa para tokoh dalam membangun bangsa.(Wahyu Aji)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved