Rabu, 12 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Rumah Amir Biki Korban Tanjung Priok 1984 Kini Jadi TPQ: Luka Era Soeharto Belum Sembuh

TPQ ini dulunya rumah korban Tanjung Priok 1984. Anak-anak mengaji di tengah jejak darah, mimpi kematian, dan luka sejarah yang belum sembuh.

Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti
TRAGEDI TANJUNG PRIOK - Sejumlah anak belajar mengaji bersama Lia Biki di rumah tokoh masyarakat, Amir Biki, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (11/11/2025). Amir Biki meninggal dalam tragedi Tanjung Priok 12 September 1984, dan kini rumah almarhum menjadi tempat Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) bagi anak-anak dan ibu-ibu. 

Ringkasan Berita:
  • Lia Biki bermimpi ayahnya tewas sebelum kabar resmi datang tengah malam.
  • Rumah korban tragedi berdarah kini jadi tempat anak-anak mengaji setiap sore.
  • Soeharto dianugerahi gelar pahlawan, keluarga korban masih menanti keadilan.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Setiap sore selepas salat ashar, anak-anak kecil berdatangan ke sebuah rumah di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka membawa Al-Qur’an, duduk bersila di atas karpet, dan mulai belajar mengaji.

Rumah itu bukan sembarang tempat.

Di balik tembok hijau dan papan bertuliskan “TPQ Tunas Irfan dan Perpustakaan Dahlia”, tersimpan jejak sejarah kelam: rumah ini adalah kediaman Amir Biki, tokoh masyarakat yang tewas dalam peristiwa kerusuhan Tanjung Priok pada 12 September 1984, di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Kini, rumah itu diurus oleh dua anak Amir Biki, Lilah Khodijah dan Nur Dahlia Biki, atau Lia Diki. Bersama warga sekitar, mereka mengubah ruang duka menjadi ruang belajar.

“TPQ-nya setiap hari bada ashar. Anak-anak sama ibu-ibu belajar Quran. Kalau malam Jumat khusus majelis ta'lim kaum ibu. Ini permintaan dari almarhumah mamah,” kata Lia saat ditemui Tribunnews.com di lokasi, Selasa (11/11/2025).

Di dalam rumah, tak ada ruang tamu seperti biasanya. Sofa letter L menempel di dinding, rak buku anak-anak berdiri di sudut, dan karpet besar terbentang untuk tempat mengaji. Di tembok, terpajang foto hitam-putih Amir Biki dan istrinya, Hj. Dewi Wardah.

“Itu yang kami sayangkan. Kami nggak punya foto almarhum ayah. Jadi kebanyakan fotonya dilukis,” ujar Lia.

Lekar cokelat untuk meja Al-Qur’an telah disiapkan. Lia, yang menguasai ilmu agama, turun langsung mengajar anak-anak.

Dulu, rumah ini juga menjadi tempat praktik sang ibu yang dikenal sebagai bidan di kawasan Priok.

“Di sini juga jadi tempat merawat almarhumah mamah waktu sakit. Di dalam itu udah kayak rumah sakit, peralatan medis banyak,” kenang Lia.

Baca juga: Mengintip Rumah Cendana: Tempat Soeharto Dulu Berkumpul, Kini Ditinggal Anak-anaknya

Luka yang Belum Sembuh

Kerusuhan Tanjung Priok 1984 menjadi salah satu babak kelam dalam sejarah politik Indonesia, khususnya di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Menurut catatan Komnas HAM yang dimuat dalam Kontras.org, sedikitnya 79 orang menjadi korban. Sebanyak 55 orang terluka dan 23 lainnya tewas dalam bentrokan antara warga sipil dan aparat keamanan dari unsur militer. Namun, hingga kini angka pasti korban masih simpang siur.

Ketegangan bermula pada 7 September 1984, ketika Sersan Hermanu mendatangi Musala Assa’addah di Koja, Tanjung Priok, dan meminta warga mencopot brosur serta spanduk berisi kritik terhadap pemerintah Orde Baru.

Dikutip dari Kompas.id, Hermanu kembali ke musala pada 8 September dan masih menemukan pamflet-pamflet tersebut. Ia pun marah, mengacungkan pistol ke arah warga, dan masuk ke podium musala tanpa melepas sepatu larsnya. Tindakan itu memicu kemarahan masyarakat yang menuntut permintaan maaf.

Pada 10 September, pengurus musala Syarifuddin Rambe dan Ahmad Sahi berusaha menyelesaikan konflik secara damai.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved