Gelar Pahlawan Nasional
Cicit Ungkap Perjuangan Pahlawan Nasional asal Minang Hj Rahmah El Yunussiyah: Pejuang Multi Talenta
Keluarga ungkap perjuangan Pahlawan Nasional asal Minang Hj Rahmah El Yunussiyah yang sangat multi talenta.
Ringkasan Berita:
- Rahmah El Yunusiyyah adalah sosok pahlawan nasional yang multi-talenta.
- Perjuangannya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan, tetapi juga merambah ke bidang perjuangan fisik melawan penjajah.
- Keluarga besar bersyukur Rahmah El Yunusiyyah akhirnya mendapat gelar pahlawan di era Presiden Prabowo.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengukuhan Hajjah Rahmah El Yunusiyyah sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025), disambut syukur mendalam oleh keluarga besar.
Fauziah Fauzan El Muhammady, cicit dari Rahmah El Yunusiyyah, menyatakan bahwa gelar ini merupakan pengakuan resmi Republik Indonesia atas besarnya perjuangan sang ‘Bunda’ baik di masa revolusi kemerdekaan maupun dalam membangun pendidikan bagi kaum perempuan.
Hal itu disampaikan Fauziah saat sesi wawancara khusus dengan Tribunnews, Senin (10/11/2025).
"Alhamdulillah, kami dari keluarga besar bersyukur. Allah memberikan karunia melalui Presiden Prabowo Subianto, menetapkan Bunda Rahmah sebagai pahlawan nasional," ujar Fauziah.
"Artinya, ada satu pengakuan dari pemerintah Republik Indonesia tentang besarnya perjuangan seorang Rahmah El Yunusiyyah, baik di masa-masa perjuangan kemerdekaan maupun saat beliau menyiapkan pendidikan untuk kaumnya," sambungnya.
Baca juga: Abdul Muthalib Sangadji Tak Jadi Pahlawan Nasional, Pemerintah Diminta Jelaskan Kriteria Penilaian
Rahmah El Yunusiyyah adalah sosok yang multi-talenta. Perjuangannya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan, tetapi juga merambah ke bidang perjuangan fisik melawan penjajah.
Rahmah El Yunusiyyah mendirikan Diniyyah Putri Padang Panjang pada 1 November 1923. Langkah tersebut didasari oleh keyakinannya yang kuat akan pentingnya pendidikan bagi perempuan.
"Bunda Rahmah mengatakan, 'Di tangan perempuan yang terdidik, akan lahir generasi yang berkualitas'. Artinya, ketika beliau melihat kondisi bangsa pada saat itu dalam penjajahan, beliau berpikir, untuk bisa bangsa ini bangkit merdeka, itu akan memerlukan generasi yang betul-betul kuat dan punya kemampuan yang luar biasa. Dan itu hanya akan bisa lahir dari seorang ibu yang terdidik dengan baik," papar Fauziah.
Dengan tekad bulat, Rahmah pun memutuskan untuk bergerak.
"Maka beliau mengatakan, 'Aku harus mulai sekarang, kalau tidak kaumku akan terus terbelakang,' walaupun banyak sekali risiko yang akan dihadapi."
Yang menarik dari latar belakang Rahmah, tutur Fauziah, adalah pendidikannya yang sangat maju pada zamannya. Ia menimba ilmu langsung dari sejumlah syekh terkemuka Minangkabau, termasuk ayahanda Buya Hamka, Syekh Muhammad Djamil Djambek.
"Tapi di samping beliau menguasai pemahaman tentang agama Islam, syariah, dan seterusnya, beliau juga seorang bidan. Beliau mendapatkan sertifikat bidan dari lima dokter Belanda dan berprofesi sebagai bidan," jelas Fauziah.
"Jadi luar biasa, di satu sisi seorang perempuan muda mendirikan sekolah, sambil mengajar, dan juga menerima pasien,” sambungnya.
Baca juga: Anies Peringati Satu Abad Diniyyah Putri, Tekadkan Perjuangan Rahmah El Yunusiyyah
Perjuangan Rahmah tidak berhenti di ruang kelas. Pada tahun 1933, Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan Ordonantie Sekolah Liar dan Ordonantie Catatan Sipil di Minangkabau.
"Ordonantie Sekolah Liar itu artinya sekolah liar tidak boleh ada; tidak boleh ada satupun sekolah yang menjalankan kurikulum kecuali kurikulum Belanda. Maka, sekolah seperti Diniyyah Putri, oleh Belanda disapu bersih. Tidak boleh mengajarkan Quran, tidak boleh mengajarkan hadis," terang Fauziah.
Sementara Ordonantie Catatan Sipil melarang pernikahan secara Islam dan mewajibkan pencatatan sipil Belanda.
"Jadi kalau ada yang menikah di masjid, itu dibubarkan oleh Belanda,” ungkapnya.
Rahmah pun mengambil sikap perlawanan. Akibatnya, ia ditahan di penjara oleh Belanda selama lebih dari satu tahun.
"Itu menunjukkan bagaimana komitmen beliau," tegas Fauziah.
Kisah lain yang menunjukkan kemanusiaan Rahmah terjadi pada awal tahun 1940-an. Saat itu, terjadi kecelakaan kereta api hebat di Lembah Anai, dekat Padang Panjang, yang menimbulkan banyak korban.
"Untuk dibawa ke Bukittinggi, akan perlu waktu yang jauh. Maka beliau, karena beliau memang seorang bidan, dan salah satu kompetensi santri di Diniyyah Putri saat itu adalah di bidang kesehatan, maka beliau menyulap ruang-ruang kelas menjadi rumah sakit darurat, kemudian santri merawat para korban-korban itu," cerita Fauziah.
Yang mengharukan, kebaikan ini teringat dalam ingatan seorang warga Belanda.
"Nah, pada waktu saya masih kelas 5 SD, nenek saya, almarhumah, di depan asrama itu mengatakan kepada saya, 'Zizi, itu ada orang Belanda yang datang. Dan dia mengatakan, 'Oh, ternyata ini ya sekolah yang telah menyelamatkan nyawa kakek saya'.'"
"Jadi Bunda Rahmah mengajarkan yang namanya toleransi. Belanda yang menjajah bangsanya, Belanda yang menyiksa dia di penjara, adalah Belanda yang berbeda dengan korban kecelakaan. Itu yang beliau ajarkan," ucap Fauziah.
Di masa pendudukan Jepang, Rahmah kembali menunjukkan keberaniannya. Saat banyak perempuan Minang yang diculik untuk dijadikan comfort women (perempuan penghibur) tentara Jepang, bahkan hingga dibawa ke Medan, Sumatera Utara, Rahmah tidak tinggal diam.
"Lalu Bunda Rahmah bergerak sampai ke sana untuk membebaskan kaumnya dan membawa mereka pulang lagi. Itu perjuangan yang luar biasa," tutur Fauziah.
Sambil terus berjuang, Rahmah konsisten mengembangkan dunia pendidikan. Diniyyah Putri yang berdiri pada 1923 dirancang untuk mencetak guru. Murid pertamanya adalah Rasuna Said, yang kelak juga menjadi Pahlawan Nasional.
"Dan itu alumni pertama Diniyyah Putri, Rasuna Said. Satu angkatan juga dengan Ibu Siti M. Nur, ibunya Pak Taufik Ismail," sebut Fauziah.
Pada 1937, Rahmah mendirikan Kuliyatul Mualimat al-Islamiyyah (setingkat SMA) karena merasa pendidikan guru perlu ditingkatkan. Kemudian, pada 1967, ia melangkah lebih jauh dengan mendirikan Universitas Diniyyah Puteri.
"Tahun 1967, beliau rasa nggak cukup guru hanya tamat SMA, kalau S1, maka beliau dirikanlah yang namanya Universitas Diniyyah Puteri, walaupun sekarang masih satu fakultas," tandasnya.
Berikut petikan wawancara khusus dengan Keluarga (cicit) dari Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyyah, Fauziah Fauzan El Muhammady bersama Tribunnews;
Tanya: Bagaimana perasaan keluarga setelah akhirnya Bu Rahmah ditetapkan sebagai pahlawan nasional?
Jawab: Alhamdulillah, kita dari keluarga besar bersyukur. Allah memberikan karunia melalui Presiden Prabowo Subianto, menetapkan Bunda Rahmah sebagai pahlawan nasional. Artinya, ada satu pengakuan dari pemerintah Republik Indonesia tentang besarnya perjuangan seorang Rahmah El Yunusiyyah, baik di masa-masa perjuangan kemerdekaan maupun saat beliau menyiapkan pendidikan untuk kaumnya.
Tanya: Bisa diceritakan, jasa-jasanya apa saja yang telah dilakukan oleh Bu Rahmah pada saat itu?
Jawab: Beliau seorang sosok yang multi-talent, Perjuangan beliau tidak hanya di pendidikan, tetapi juga di bidang perjuangan kemerdekaan. Pendidikannya tidak hanya untuk wilayah Nusantara, tapi memberikan inspirasi sampai ke seluruh dunia.
Bunda Rahmah mendirikan Diniyyah Putri Padang Panjang pada tanggal 1 November tahun 1923. Kenapa beliau mendirikannya? Karena ingin menyiapkan pendidikan yang baik untuk kaumnya.
Jadi beliau mengatakan begini, "Di tangan perempuan yang terdidik, akan lahir generasi yang berkualitas." Artinya, ketika beliau melihat kondisi bangsa pada saat itu dalam penjajahan, beliau berpikir, untuk bisa bangsa ini bangkit merdeka, itu akan memerlukan generasi yang betul-betul kuat dan punya kemampuan yang luar biasa. Dan itu hanya akan bisa lahir dari seorang ibu yang terdidik dengan baik.
Maka beliau mengatakan, "Aku harus mulai sekarang, kalau tidak kaumku akan terus terbelakang," walaupun banyak sekali risiko yang akan dihadapi. Artinya, beliau sudah paham betul apa yang akan dihadapi.
Nah, ketika mendirikan Diniyyah Putri Padang Panjang ini, beliau juga seorang bidan. Jadi yang menarik itu, background beliau. Beliau belajar langsung dari sejumlah syekh Minangkabau saat itu, termasuk ayahnya Buya Hamka, Syekh Muhammad Jamil Jambek, kemudian beberapa syekh besar lainnya. Tapi di samping beliau menguasai pemahaman tentang agama Islam, syariah, dan seterusnya, beliau juga seorang bidan. Beliau mendapatkan sertifikat bidan dari lima dokter Belanda dan berprofesi sebagai bidan.
Jadi luar biasa, di satu sisi seorang perempuan muda mendirikan sekolah, sambil mengajar, dan juga menerima pasien. Nah, apakah itu saja? Enggak. Beliau juga turut berjuang melawan Belanda.
Hal yang menarik itu, di tahun 1933, Belanda menetapkan yang namanya di Minangkabau, Ordonantie Catatan Sipil dan Ordonantie Sekolah Liar. Artinya, sekolah liar itu tidak boleh ada; tidak boleh ada satupun sekolah yang menjalankan kurikulum kecuali kurikulum Belanda. Maka, sekolah seperti Diniyyah Putri, oleh Belanda disapu bersih. Tidak boleh mengajarkan Quran, tidak boleh mengajarkan hadis, dan lain-lain. Harus ikut kurikulum Belanda.
Yang kedua, Ordonantie Catatan Sipil. Jadi menikah itu tidak boleh secara Islam, tapi harus secara catatan sipil Belanda. Jadi kalau ada yang menikah di masjid, itu dibubarkan oleh Belanda. Nah, Bunda Rahmah itu melawan, melakukan perlawanan, sampai akhirnya beliau ditahan di penjara selama lebih dari satu tahun. Itu menunjukkan bagaimana komitmen beliau.
Tapi juga ada yang menariknya, ketika di tahun 40-an awal, terjadi kecelakaan kereta api di Lembah Anai, kemudian banyak korban berjatuhan. Lembah Anai itu kan dekat dengan Padang Panjang, di perbukitan yang rumit. Untuk dibawa ke Bukittinggi, akan perlu waktu yang jauh. Maka beliau, karena beliau memang seorang bidan, dan salah satu kompetensi santri di Diniyyah Putri saat itu adalah di bidang kesehatan, maka beliau menyulap ruang-ruang kelas menjadi rumah sakit darurat, kemudian santri merawat para korban-korban itu.
Nah, pada waktu saya masih kelas 5 SD, nenek saya, almarhumah, di depan asrama itu mengatakan kepada saya, "Zizi, itu ada orang Belanda yang datang. Dan dia mengatakan, 'Oh, ternyata ini ya sekolah yang telah menyelamatkan nyawa kakek saya'." Jadi Bunda Rahmah mengajarkan yang namanya toleransi. Belanda yang menjajah bangsanya, Belanda yang menyiksa dia di penjara, adalah Belanda yang berbeda dengan korban kecelakaan. Itu yang beliau ajarkan.
Nah, juga di zamannya pemerintahan Jepang, Jepang masuk, banyak perempuan Minang yang diculik untuk menjadi comfort women (pekerja seks) tentara Jepang, bahkan sampai ke Medan, Sumatera Utara. Lalu Bunda Rahmah bergerak sampai ke sana untuk membebaskan kaumnya dan membawa mereka pulang lagi. Itu perjuangan yang luar biasa.
Sambil terus mengelola pendidikan—jadi kalau tadi tahun 1923 berdiri Diniyyah Putri, kenapa namanya perguruan? Karena mencetak para guru. Nah, nggak kebayang, kurikulum waktu itu, 4 tahun tamat SD, umur 13 sampai 16, 17 tahun, sudah siap jadi guru. Jadi, 4 tahun siap jadi guru. Itulah murid pertamanya, namanya Rasuna Said. Dan itu alumni pertama Diniyyah Putri, Rasuna Said. Satu angkatan juga dengan Ibu Siti M. Nur, ibunya Pak Taufik Ismail.
Nah, tahun 1937, Bunda Rahmah merasa tidak cukup guru hanya tamat tingkat SMP. Maka beliau dirikanlah Kuliyatul Mualimat al-Islamiyyah, tingkat SMA-nya. Dan tahun 1967, beliau rasa nggak cukup guru hanya tamat SMA, kalau S1, maka beliau dirikanlah yang namanya Universitas Diniyyah Puteri, walaupun sekarang masih satu fakultas.
Nah, bagaimana konsep dosa dan guru itu luar biasa? Saya bahkan sampai memecahkan banyak puzzle tentang Bunda Rahmah. Terus terang, saya pulang ke Padang Panjang tahun 2003, membaca lembar demi lembar sejarah 15 tahun Diniyyah Puteri, 25 tahun Diniyyah Puteri, 50 tahun Diniyyah Puteri, untuk menggali pikiran Bunda Rahmah.
Ada satu yang menarik, dari Bunda Rahmah itu mengatakan bahwa seorang guru itu, di samping ilmu yang diajarkannya, dia mesti menguasai ilmu, paham Al-Quran dan hadis juga. Mereka harus menguasai sains. Itu semua guru begitu. Jadi kalau guru tafsir, harus ngerti sains. Guru sains, mesti ngerti tafsir, mesti ngerti Al-Quran. Tapi di antara itu, syarat guru yang ditetapkan saat itu adalah semua guru itu mesti menguasai ilmu yang namanya psikologi. Itu betul, ya, ilmu jiwa, ilmu mendidik. Kemudian, satu yang nyangkut di saya itu, Mbak, adalah kriminologi.
Nah, ketika saya buka itu tahun 2003, saya mikir, ini maksudnya apa ya? Ternyata, saya baru dapat jawaban ketika saya belajar grafologi di 2017. Itu berarti 14 tahun lamanya searching saya. Ternyata, seseorang yang punya jiwa kriminal di usia dewasa, seperti seorang ibu yang mungkin mencekik anak atau semacamnya, itu bisa terdeteksi lewat tulisan tangannya ketika mereka di usia remaja awal. Sehingga, kalau ini terdeteksi, guru punya waktu untuk membimbing anak ini agar tidak menjadi seorang kriminal. Itu saya ketemu jawabannya setelah 14 tahun. Nah, ini konsep di bidang pendidikan.
Nah, di bidang pergerakan, perjuangan kemerdekaan, kita lanjut lagi ya. Bahwa Bunda Rahmah sendiri di tahun 40-an, di awal setelah Jepang masuk dan menjelang kemerdekaan, beliau aktif menghimpun dan melatih beberapa laskar, mungkin seperti batalion. Nah, itu akhirnya menjadi cikal bakal tentara rakyat. Jadi, itu bentuk pasukan juga ya? Itu beliau yang membiayai.
Nah, pada saat itu, ketika akan berubah menjadi tentara rakyat, kemudian diminta para tokoh-tokoh, para bapak-bapak, para mamak, para datuk, dan lain-lain untuk memimpin, mereka nggak ada yang sanggup. Akhirnya Bunda Rahmah mengatakan, "Tegaklah di belakang punggung saya. Saya akan memimpin perjuangan ini dan kita akan bebaskan negara bangsa kita dari penjajah Belanda. Dan biarkan Diniyyah Putri sebagai dapur umum dan pusat logistiknya."
Nah, kebayang di saat itu bagaimana beliau mengkoordinasi para santri remaja—saat itu santri putri, loh—masuk hutan, mengantarkan senjata, mengantarkan logistik untuk para pejuang kemerdekaan. Lah, kalau anak zaman now, masuk pondok atau masuk sekolah, ke kamar mandinya nggak berani sendiri, kan? Jadi ke hutan itu, itu perjuangan beliau. Tapi, beliau memimpin.
Namun ketika kemudian ada seorang tokoh yang namanya Anas Karim memimpin, maka beliau langsung meletakkan dan beliau hanya mengambil posisi sebagai komandan logistik saja. Jadi beliau betul-betul menempatkan dirinya itu luar biasa, menurut saya. Jadi dia melihat yang penting adalah sistem ini berjalan dan perjuangan berjalan.
Nah, inilah orang yang saya lihat bagaimana beliau merupakan sosok yang multi tadi. Di samping itu, di samping beliau juga seorang bidan, menguasai masalah medis, kesehatan, juga ulama wanita, juga pejuang, angkat senjata, juga seorang seniman. Beliau punya keahlian di antaranya juga art, menyulam. Sekarang saya sedang mengenakan selendang buatan beliau.
Tanya: Oh, berarti ini sudah berumur berapa tahun, Bu?
Jawab: Ini sudah 60 tahun, lebih, saya pikir. Dan ini ada namanya ditulis di sini, R.Y. (Rahmah El Yunusiyyah). Dan saya melihat sampai sekarang orang yang bisa menyulam seperti ini kayaknya masih jarang. Jarang kita temukan. Dia juga seorang yang jago mengurus rumah tangga dan juga menguasai seni musik. Dan juga seorang penulis skenario drama.
Tanya: Wow, banyak banget.
Jawab: Bahkan pada saat itu, di Padang Panjang, zaman dulu belum ada bioskop, enggak ada TV. Orang-orang pasar itu sekali tiga bulan akan nunggu Diniyyah Putri menjual tiket. Oh, lalu Bunda Rahmah akan membuat pementasan teater, ada musik dan seluruhnya, ada tari. Maka orang-orang pasar itu akan beli tiket untuk nonton ke Diniyyah Putri, tapi khusus perempuan saja. Itu beliau. Banyak banget ini ya. Fokusnya itu enggak cuma di agama, pendidikan, kesehatan, tapi juga art, memberikan hiburan juga untuk masyarakat.
Tanya: Bu Rahmah ini sendiri sejak kapan diusulkan menjadi pahlawan nasional?
Jawab: Sebenarnya pengusulan sudah lama. Di eranya Gubernur Harun Zain, waktu itu tahun 1974. Tapi yang menjadi pahlawan nasional justru waktu itu murid beliau. Terus juga lanjut lagi di tahun 90-an, zamannya Gubernur Pak Azwar Anas. Kita juga usulkan, tapi belum. Nah, baru diresmikan pemerintah itu di eranya Pak Habibie, tahun 1999, itu Bunda Rahmah mendapatkan—bukan pahlawan nasional—tapi Bintang Mahaputera Pratama. Di zamannya Pak SBY kita usulkan lagi pahlawan nasional, lalu dapatnya Bintang Mahaputera Adipradana (yang tertinggi) tahun 2013. Terus kita usulkan lagi. Nah, baru hari ini. Kita usulkan lagi terakhir tahun 2022, masih eranya Pak Jokowi.
Alhamdulillah direspon hari ini, 10 November 2024, Bunda Rahmah menjadi pahlawan nasional. Kita bersyukur ini bisa menjadi inspirasi.
Mungkin tadi kita bicara pendidikan lagi. Bunda Rahmah tidak hanya menginspirasi untuk tingkat Nusantara tapi juga sampai ke seluruh dunia. Nah, pada tahun 1955, ketika Muhammad Natsir membawa Syekh Al-Azhar ke Sumatera Barat, ke Minangkabau, mampir ke Diniyyah Puteri. Dan itu beliau, Syekh Al-Azhar waktu itu, Syaikh Abdurrahman Taj, surprise! Al-Azhar sudah berusia hampir 1000 tahun hanya terima laki-laki saja untuk sekolah, sementara ini ada sekolah khusus perempuan, sungguh-sungguh perempuan.
Lalu akhirnya beliau mengundang Bunda Rahmah tahun 1957 untuk berangkat ke Al-Azhar. Dan di sana Bunda Rahmah mendapatkan gelar Syekhah, atau doktor honoris causa. Dan sampai hari ini belum ada perempuan Indonesia lain yang mendapatkan gelar itu.
Kemudian di sana beliau bicara ke Syekh Al-Azhar, kiranya bolehlah perempuan kuliah ke Al-Azhar. Maka yang pertama berangkat ke sana adalah santri Diniyyah Puteri tahun 1958. Lalu Kuliyatul Banat di Al-Azhar dan di Pusat Kairo itu baru dibuka tahun 1962. Jadi, waktu itu dengan Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy) yang menulis Ketika Cinta Bertasbih, sempat beliau buat launching-nya di Diniyyah Puteri Padang Panjang. Jadi para pemain filmnya sama kru pada ke Padang Panjang.
Terus saya tanya, "Kang, kenapa di Diniyyah Puteri?" Kata Kang Abik, "Bu Zizi, tokoh Ana al-Thullab (di film) yang diperankan oleh Oki Setiana Dewi, tidak akan bisa kuliah ke Al-Azhar tanpa perjuangan Rahmah El Yunusiyyah." Jadi benar-benar ini membukakan pintu pendidikan untuk kaumnya, nggak cuma untuk di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Fakultas perempuan pertama di Al-Azhar adalah inisiasi dari bu Rahmah. (Tribun Network/ Yuda).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.