Gelar Pahlawan Nasional
Sosok Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyyah, Kibarkan Merah Putih Pertama di Sumatra Barat
Rahmah berperan besar dalam mengibarkan bendera Merah Putih untuk pertama kalinya di Sumatra Barat.
Ringkasan Berita:
- Fauziah Fauzan El Muhammady, cicit dari Rahmah El Yunusiyyah mengungkapkan sejumlah kisah heroik sang pahlawan
- Rahmah El Yunusiyyah adalah orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di Sumatra Barat
- Titik di mana bendera pertama itu berkibar, masih sama hingga kini
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gelar Pahlawan Nasional yang dianugerahkan kepada almarhumah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah bukan sekadar pengakuan formal.
Di baliknya, tersimpan rekam jejak perjuangan gigih seorang perempuan pejuang pendidikan Islam yang tak kenal kompromi dengan penjajah.
Baca juga: Gelar Pahlawan Nasional 2025, Cara Menghormati Sejarah Secara Utuh
Fauziah Fauzan El Muhammady, cicit dari Rahmah El Yunusiyyah, mengungkapkan sejumlah kisah heroik sang pahlawan yang mungkin belum banyak terekspos.
Salah satu momen bersejarah yang diceritakan Fauziah adalah peran Rahmah dalam mengibarkan bendera Merah Putih untuk pertama kalinya di Sumatra Barat, tepatnya di halaman Asrama Diniyyah Putri Padang Panjang.
Hal itu disampaikan Fauziah saat sesi wawancara khusus dengan Tribunnews, Senin (10/11/2025).
"Jadi, Bu Rahmah sendiri menjadikan Diniyyah Putri sebagai tempat berkumpulnya para tokoh-tokoh pejuang. Bahkan Bung Karno sendiri, setelah dibuang ke Bengkulu, sebelum kembali ke Jakarta, beliau singgah ke Padang Panjang dan berjumpa dengan Bu Rahmah di rumah beliau," kisah Fauziah.
Pertemuan itu membicarakan hal yang sangat fundamental bagi negara yang akan merdeka.
"Mereka membicarakan kepastian bahwa bendera negara kalau kita merdeka, yang namanya benderanya merah putih. Itu kesepakatan di rumah itu dibicarakan, bahwa tetap Indonesia merdeka bendera hanya satu, merah putih. Itu sudah jadi mindset beliau," jelas Fauziah.
Komitmen itu langsung diwujudkan begitu kabar kemerdekaan sampai ke telinga Rahmah.
Saat itu, berita bukan datang dari RRI, melainkan dari Tuan Guru Syeikh Djamil Djaho dari INS Kayutanam.
"Tuan Guru Syeikh Djamil Djaho menyampaikan kepada Bunda Rahmah, 'Cik Rahmah, ini Kak Rahmah, ini sudah merdeka kita sekarang, ini berita yang didapatkan'," ujar Fauziah menirukan.
Spontan, Rahmah mengambil tindakan. Ia mengambil selendang putih milik seorang santri dan kain tenun berwarna merah hasil karya santri lainnya.
"Karena pada saat itu di daerah Minang, bahan kain itu cukup langka, maka santri dilatih untuk bertenun sendiri. Jadi ada santri yang sedang menenun kain merah, itu diambil, dijahitkan dengan selendang putih, lalu dikibarkan bendera di depan asrama Diniyyah Putri Padang Panjang," paparnya.
Titik di mana bendera pertama itu berkibar, kata Fauziah, masih sama hingga kini.
"Jadi kalau ke Padang Panjang, ke Diniyyah Putri, di depan asrama itu ada tiang bendera, posisinya sampai sekarang masih sama, hanya ganti tiang aja. Di sana berkibar pertama kali merah putih di daerah Minang," tegas Fauziah.
Fauziah juga menceritakan perlawanan sengit Rahmah terhadap kebijakan Belanda yang ingin menghapus kurikulum Islam di Diniyyah Putri dan melarang pernikahan secara Islam.
"Bunda Rahmah melakukan perlawanan, dan sempat beliau dipanggil ke kantor Belanda," tuturnya.
Di hadapan petinggi Belanda, Rahmah mendapat bujukan halus.
Pihak Belanda menawarkan gedung sekolah yang bagus, yang mungkin setara dengan Gedung Sate di Bandung, dengan syarat Rahmah menghapus kurikulum Diniyyah Putri.
Namun, tawaran menggiurkan itu ditolak mentah-mentah dengan sikap yang sangat teguh.
"Inilah jawaban beliau: 'Sampai lapuk pun tulangku di liang kubur, aku tidak akan pernah menerima kerja sama dengan kalian, karena ini tidak akan menguntungkan bagi bangsaku'," ucap Fauziah menirukan ketegasan Rahmah.
Jawaban itu membuat Jenderal Belanda geram.
"Nyonya, di Hindia Belanda ini kami berkuasa dan tidak ada orang yang berani menentang kami," hardik sang Jenderal.
Dengan keberanian luar biasa, Rahmah pun balas menyahut, "Kalau begitu, saya yang menentang tuan-tuan."
Sikap berani dan tak gentar itulah yang akhirnya membawa Rahmah El Yunusiyyah harus mendekam di penjara.
Perlawanannya terhadap penjajah dan dedikasinya yang tak kenal lelah bagi pendidikan Islam telah mengukir namanya dalam sejarah sebagai salah satu Pahlawan Nasional dari ranah Minang.
Berikut petikan wawancara khusus dengan keluarga (cicit) dari Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyyah, Fauziah Fauzan El Muhammady bersama Tribunnews:
Tanya: Bu Rahmah ini menjadi salah satu yang mengibarkan bendera merah putih di Sumatra Barat pada saat awal-awal proklamasi kemerdekaan.
Jawab: Jadi Bu Rahmah sendiri menjadikan Diniyyah Putri sebagai tempat berkumpulnya para tokoh-tokoh perjuang.
Bahkan Bung Karno sendiri, pada saat selesai dibuang ke Bengkulu, sebelum kembali ke Jakarta, beliau ke Padang Panjang dan berjumpa dengan Bu Rahmah di rumah beliau dan membicarakan kepastian bahwa tetap tidak akan bergeser, bendera negara kalau kita merdeka, yang namanya benderanya merah putih.
Itu kesepakatan di rumah itu dibicarakan, bahwa tetap Indonesia merdeka bendera hanya satu, merah putih. Itu sudah jadi mindset beliau.
Makanya ketika beliau mendengarkan kabar melalui radio bukan dari RRI, tapi dari Tuan Guru Syeikh Djamil Djaho yang sekolahnya namanya INS Kayutanam Tuan Guru Syeikh Djamil Djaho menyampaikan kepada Bunda Rahmah, "Cik Rahmah, ini Kak Rahmah, ini sudah merdeka kita sekarang, ini berita yang didapatkan."
Maka beliau langsung mengambil selendang putih milik santri, lalu mengambil kain tenun warna merah.
Karena pada saat itu di daerah Minang, bahan kain itu cukup langka, maka santri dilatih untuk bertenun sendiri.
Jadi ada santri yang sedang menenun kain merah, itu diambil, dijahitkan dengan selendang putih, lalu dikibarkan bendera di depan asrama Diniyyah Putri Padang Panjang.
Jadi kalau ke Padang Panjang, ke Diniyyah Putri, di depan asrama itu ada tiang bendera, posisinya sampai sekarang masih sama, hanya ganti tiang aja. Di sana berkibar pertama kali merah putih di daerah Minang.
Tanya: Sempat ditahan oleh Belanda?
Jawab: Belanda melarang perempuan dan laki-laki muslim untuk menikah secara Islam, kemudian juga melarang kurikulumnya. Bunda Rahmah melakukan perlawanan, dan sempat beliau dipanggil ke kantor Belanda. Kemudian katanya kepada Bu Rahmah, "Nyonya, di Hindia Belanda ini kami yang berkuasa."
"Dan engkau mesti menerima kerjasama dengan kami. Kalau Nyonya bersedia menghapuskan kurikulum Diniyyah Putri ini, maka kami akan buatkan sekolah yang gedungnya bagus untuk Diniyyah Putri." Ya, mungkin kalau kita gambarkan zaman Belanda mungkin seperti Gedung Sate.
Lalu, inilah jawaban beliau: "Sampai lapuk pun tulangku di liang kubur, aku tidak akan pernah menerima kerjasama dengan kalian, karena ini tidak akan menguntungkan bagi bangsaku."
Lalu kata Jenderal Belanda bilang, "Nyonya, di Hindia Belanda ini kami berkuasa dan tidak ada orang yang berani menentang kami." Apa jawaban beliau? "Kalau begitu, saya yang menentang tuan-tuan." Makanya dipenjara.
Tanya: Berapa lama, Bu, itu di penjaranya?
Jawab: Hampir dua tahun. Akhirnya dari pihak keluarga membayar berapa gulden tebusan, baru bisa keluar. Saya ingatnya nenek cerita begitu.
Tanya: Saat penjajahan Jepang membebaskan rakyat Sumatra Barat yang dibawa untuk jadi pekerja seks.
Jawab: Bunda Rahmah waktu itu berangkat ke Medan, sebab banyak perempuan Minang diculik untuk menjadi pekerja seks. Sampailah di sana, beliau berhasil membawa pulang kembali perempuan-perempuan dari kampungnya itu.
Tanya: Beliau datang dengan beberapa orang?
Jawab: Ya, beberapa orang. Padahal pendamping beliau itu memang juga ahli-ahli yang dalam wiladah (kebidanan). Dibawa ke sana dan akhirnya negosiasinya berhasil. Saya nggak ngerti kok sampai bisa bertemu dengan istri jenderal Jepang. Terus tukeran.
Kata jenderal Jepang ini, "Nyonya Rahmah, istri saya nggak bersalah, tolong serahkan." Lalu kata beliau, "Orang kampung saya juga nggak bersalah, tolong juga ambil kembali." Akhirnya, tukeran dan dibawa pulang kembali ke kampung halaman. Ini luar biasa perjuangan beliau.
Tanya: Bu Rahmah menikah di usia 16 tahun?
Jawab: Jadi, menikah kan sebetulnya perlu mendapatkan kesempatan. Awal setiap kita akan menikah, nah, Gender Masdiri (mungkin maksudnya: konsep diri perempuan) itu mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa perempuan itu boleh menjadi siapapun dengan syarat tiga hal.
Satu, apapun yang dilakukan dalam perjuangan karirnya, tidak bertentangan dengan akidah dan sunah. Yang kedua, kalau bersuami, harus dapatkan izin dari suami.
Dan yang ketiga, itu harus punya kemampuan yang sesuai. Sebab Rasulullah mengajarkan, kalau menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, timbullah kehancuran. Nah, ini yang beliau ajarkan.
Jadi, pada prinsipnya, dalam perjuangan beliau ini beliau mendapatkan dukungan dari suaminya.
Tanya: Oke. Jadi, yang bisa dipetik adalah, jika kita ingin terus bertumbuh setelah menikah, pilihlah suami yang mendukung kita juga ya, Bu. Dan itu dibicarakan sebelum pernikahan.
Jawab: Kesepakatan itu dari awal dibicarakan di situ. Betul-betul.
Tanya: Berarti, kalau misalnya di zaman sekarang, bisa perjanjian pranikah, ya Bu?
Jawab: Nah, itu dia.
Tanya: Dan itu sudah dilaksanakan pada zaman Ibu Rahmah ya, Bu?
Jawab: Ya, detail itu.
Tanya: Wah, penting ya. Apa-apa yang kita sebut inovasi saat ini atau yang baru dilakukan saat ini, ternyata sudah ada pada zaman dahulu.
Jawab: Itulah pentingnya belajar sejarah.
Tanya: Nah, Ibu, kemudian, Ibu Rahmah ini memiliki kemampuan sebagai bidan. Berarti beliau belajarnya itu berapa lama, Bu?
Jawab: Saya kurang tahu persis durasinya, tapi mungkin sekitar 1-2 tahun beliau belajar. Dan itu setelah belajar agama.
Tanya: Jadi, belajar agama dulu? Basisnya sudah kuat, baru ambil kebidanan?
Jawab: Jadi, saya pikir mirip juga dengan Ibnu Sina. Jadi, paham dulu akidah, baru ambil kedokteran. Karena itu adalah basisnya. (Tribun Network/Yuda)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.