Rabu, 12 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Soeharto dan Marsinah Jadi Pahlawan Nasional, Pengamat: Ini Kontradiksi

Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, mengomentari pemberikan gelar pahlawan terhadap Soeharto dan Marsinah.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
GELAR PAHLAWAN SOEHARTO - Massa dari Aliansi Nasional Pemuda Mahasiswa melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Kebudayaan, Jakarta, Senin (10/11/2025). Dalam aksinya mereka memprotes pemberian gelar pahlawan kepada Presiden ke-2 RI Soeharto karena dinilai mengkhianati aksi gerakan protes tahun 1998 serta pengukuhan gelar pahlawan ini dinilai menormalisasi seluruh kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di era Soeharto. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Pada tanggal 4 Mei 1993, Marsinah memimpin aksi mogok kerja. Setelah perundingan tidak memuaskan dan penangkapan beberapa rekan buruhnya, Marsinah menghilang pada malam 5 Mei 1993.

Jasadnya ditemukan empat hari kemudian, pada 8 Mei 1993, di sebuah gubuk di Nganjuk.

Pandangan Anggota DPR

Sementara itu, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Bonnie Triyana, menilai gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai bentuk pengingkaran negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu.

Ia menilai bahwa tanggal 10 November 2025 bukanlah Hari Pahlawan.

“Jadi kemarin itu bukan hari pahlawan, tapi juga deklarasi nasional tentang pengingkaran negara,” ujar Bonnie dalam diskusi KBR Ruang Publik bertajuk Usai Soeharto Bergelar Pahlawan Nasional, secara daring, Selasa.

Menurutnya, pemberian gelar tersebut mengabaikan fakta sejarah, terutama terkait berbagai pelanggaran HAM yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto.

“Saya melihat adanya upaya untuk mengingkari berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu di era Soeharto. Yang saya khawatirkan, bagaimana kita mau mengajarkan sejarah pada anak-anak muda,” kata Bonnie.

Ia juga menyoroti kondisi kebebasan pers di masa Orde Baru yang diberedel oleh rezim Soeharto

Bonnie mempertanyakan bagaimana tindakan tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari kepahlawanan.

“Bagaimana kita mau mengatakan pers diberedel di era Soeharto itu sebagai tindakan kepahlawanan atau pembukaan terhadap kebebasan berekspresi?” ujarnya.

Ia menambahkan, pemberian gelar tersebut menciptakan kebingungan dalam memahami perjuangan Reformasi 1998.

"Kami dulu ketika beramai-ramai ke gedung DPR-MPR, untuk apa itu semua? Ini membuat semuanya menjadi absurd, semuanya menjadi blur, serbarelatif,” katanya.

Bonnie menyebut keputusan pemerintah itu sebagai preseden buruk yang mengabaikan suara kelompok korban dan pihak yang selama ini terpinggirkan.

“Pemberian gelar kepada Soeharto ini tentu saja mengabaikan suara-suara minoritas, suara-suara yang selama ini mendambakan keadilan. Semua itu dipinggirkan, dienyahkan, dan diabaikan begitu saja,” ucapnya.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved