Gelar Pahlawan Soeharto
Gelar Pahlawan Nasional Disebut Pemutihan 'Dosa-dosa Besar' Soeharto
Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, menilai gelar Pahlawan Nasional menjadi pemutihan terhadap dosa besar Soeharto.
Ringkasan Berita:
- Presiden RI ke-2 Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada Senin (10/11/2025).
- Penganugerahan gelar pahlawan kepada nama Soeharto telah diselimuti pro-kontra, mengingat adanya sederet rekam jejak kelam di masa Orde Baru.
- Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional menjadi pemutihan terhadap 'dosa-dosa besar' Presiden ke-2 RI Soeharto.
TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia (SDI), Arif Nurul Imam, menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional menjadi pemutihan terhadap 'dosa-dosa besar' Presiden ke-2 RI Soeharto.
Pemutihan sendiri berasal dari kata 'putih', dan secara harfiah, berarti proses membuat sesuatu menjadi putih.
Namun, secara kiasan, 'pemutihan' bisa dimaknai sebagai upaya penghapusan atau pengampunan terhadap pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan individu tertentu.
Diketahui, penganugerahan gelar pahlawan kepada nama Soeharto telah diselimuti pro-kontra sejak pertama kali diusulkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 2010 lalu, di era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Lalu, ketika diusulkan kembali untuk menjadi pahlawan nasional pada 2015, saat pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi), usulan tersebut juga ditolak.
Di satu sisi, Soeharto dianggap berjasa dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Republik Indonesia (seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 serta swasembada pangan).
Di sisi lain, Soeharto disebut memiliki rekam jejak yang kelam selama Orde Baru (1966-1998) yang dipimpinnya.
Misalnya, dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat seperti pembantaian 1965-1966, penembakan misterius (Petrus), Tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, hingga penghilangan paksa aktivis 1997-1998, serta kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Sejumlah kritikus menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto melanggar semangat Reformasi 1998 dan bertentangan dengan dua ketetapan MPR RI, yakni:
- Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang secara eksplisit menyebut mantan Presiden Soeharto. Meski akhirnya, nama Soeharto dicabut dari Tap MPR ini pada September 2024.
- Tap MPR Nomor V/MPR/2000 yang mengidentifikasi penyebab krisis bangsa seperti ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan KKN.
Adapun pihak-pihak yang menyuarakan penolakan terhadap gelar pahlawan nasional untuk Soeharto meliputi sejumlah lembaga, tokoh publik, aktivis, maupun massa yang berdemonstrasi.
Baca juga: Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Pro dan Kontra Menggema di Dunia Maya
Di antaranya Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty International Indonesia, Wakil Ketua DPR RI sekaligus kader PDIP Andreas Hugo Pareira, sejarawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam, jaringan GUSDURian, hingga Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis.
Gelar Pahlawan Upaya Pemutihan Politik untuk 'Dosa' Soeharto
Soeharto memang disebut 'Bapak Pembangunan', tetapi Arif Nurul Imam menilai, gelar pahlawan nasional itu menjadi upaya untuk memutihkan sisi gelap otoritarianisme, KKN, dan pelanggaran HAM-nya.
Hal ini disampaikan Arif saat menjadi narasumber dalam tayangan On Focus yang diunggah di kanal YouTube Tribunnews, Selasa (11/11/2025).
"Saya kira ini sebagai bentuk pemutihan politik dari kebijakan-kebijakan Pak Harto yang dianggap menjadi dosa-dosa ketika menjadi presiden," kata Arif Nurul Imam.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.