Gelar Pahlawan Nasional
Getir Hidup Anak Korban Tanjung Priok 1984: Beasiswa Hangus, PNS Ditolak karena Nama ‘Biki'
Stigma nama Biki merenggut beasiswa, karier, dan ketenangan. Lia Biki masih dihantui luka peristiwa Tanjung Priok 1984.
Versi keluarga korban menilai tindakan itu berlebihan dan tidak sesuai prosedur hukum.
Bentrokan pun pecah, menewaskan puluhan orang dan meninggalkan luka panjang bagi masyarakat Tanjung Priok.
Keadilan yang Tersandera
Pasca lengsernya Soeharto pada 1998, berbagai kelompok HAM dan keluarga korban mendesak DPR serta Komnas HAM melakukan penyelidikan ulang. Komnas HAM membentuk KP3T (Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Peristiwa Tanjung Priok) pada 1999. Laporan awal yang menyatakan tidak ada pembantaian sistematis memicu penolakan publik, serangan Front Pembela Islam (FPI), serta kritik dari tokoh politik dan agama.
Pada Oktober 2000, Komnas HAM merilis laporan lanjutan yang menyebut 23 orang, termasuk Try Sutrisno dan L.B. Moerdani, harus diselidiki. Presiden Abdurrahman Wahid mendukung pembentukan pengadilan ad hoc, sementara sejumlah pejabat militer melakukan islah (rekonsiliasi) dengan keluarga korban. Kompensasi Rp1,5–2 juta diberikan tanpa pengakuan bersalah; keluarga Amir Biki baru menerima pada tahap kedua, Maret 2001.
Di bawah tekanan internasional, DPR akhirnya menyetujui penggunaan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM) 2000 untuk membawa kasus ini ke pengadilan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Persidangan dimulai pada 2003 dengan menghadirkan perwira menengah seperti Kolonel Sutrisno Mascung dan 13 bawahannya, sementara tokoh militer senior lolos dari tuntutan.
Beberapa terdakwa divonis bersalah, namun Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi pada 2004 membatalkan putusan banding, menutup jalur hukum dengan hasil yang mengecewakan bagi banyak korban.
Mimpi Pendidikan yang Terkoyak
Pasca tragedi, Lia mengaku kesulitan mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Meski memiliki nilai bagus, ia gagal meraih Beasiswa Supersemar karena stigma nama “Biki”.
“Dengan nilai akademik yang bagus, saya berkesempatan dapat Beasiswa Supersemar. Tapi, ketika nama Biki tersemat di nama saya, beasiswa itu hangus,” ungkapnya.
Kegagalan itu tidak menghentikan langkahnya. Lia tetap melanjutkan pendidikan hingga lulus S1 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia menegaskan bahwa pendidikan adalah jalan untuk bertahan, meski tanpa dukungan pemerintah. Berbeda dengan dirinya, dua saudaranya, Lilah Khodijah dan Muhammad Ali Sofyan, tidak mengalami hambatan serupa karena nama “Biki” tidak tercantum pada identitas mereka.
Gerbang Karier yang Digembok
Kesulitan Lia berlanjut ketika ia mencoba melamar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Hukum dan HAM pada awal 2000-an. Berkas lamaran yang semula digabung dengan kandidat lain tiba-tiba dipisahkan di depan matanya, hingga akhirnya digagalkan.
“Sebenernya sih itu menjadi jawaban atas dulu kan ceritanya (dicap). Nggak bakalan lu dapat kerjaan PNS, nggak bakalan lu dapat kerjaan di pemerintah, nah itu menjadi jawaban semuanya, saya rasain sendiri,” ucap Lia dengan nada geram.
Penolakan itu semakin menegaskan stigma yang diwariskan dari peristiwa Tanjung Priok.
Bertahan di Tengah Keterasingan
Tidak bisa bekerja di pemerintahan tidak membuat Lia kehilangan arah. Ia memilih jalur freelance untuk menopang ekonomi keluarga. Lia pernah bekerja di sebuah agency yang membuat iklan layanan masyarakat, termasuk program Public Service Announcement (PSA).
“Itu kan juaranya PSA, tuh. Public Service Announcement, ya. Jadi kalau iklan layanan masyarakat, pasti buatannya beliau,” tuturnya.
Selain itu, Lia aktif mengajar anak-anak belajar Al-Quran, serta menjadi pendamping halal di Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Ia membantu UMKM mengurus sertifikat halal produk mereka.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.