Jumat, 14 November 2025

MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Bagaimana Nasib Pejabat Polri di Kementerian atau KPK?

Sejumlah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) aktif diketahui menduduki posisi jabatan sipil di luar institusi kepolisian.

KOMPAS.com/NURWAHIDAH
ILUSTRASI POLISI - MK memutuskan anggota kepolisian yang masih aktif tidak dapat menduduki jabatan sipil, kecuali setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025) untuk perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menguji konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). 
Ringkasan Berita:
  • MK memutuskan anggota kepolisian yang masih aktif tidak dapat menduduki jabatan sipil
  • Kapolri tidak lagi bisa menugaskan polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil
  • Permohonan diajukan untuk jaga netralitas aparatur negara

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Kapolri tidak lagi bisa menugaskan polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil di luar institusi kepolisian, kecuali mereka sudah mengundurkan diri atau pensiun.

Putusan ini diambil dalam sidang perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menguji Pasal 28 Ayat (3) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Baca juga: Boni Hargens: MK Benar, Polri Adalah Alat Negara

Permohonan ini diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite.

Bagaimana nasib pejabat Polri di Kementerian atau KPK??

Sejumlah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) aktif diketahui menduduki posisi jabatan sipil di luar institusi kepolisian.

Baca juga: Polri Hormati Putusan MK Larang Anggota Aktif Duduki Jabatan Sipil, Tunggu Salinan Resmi

Karier mereka sebagai pejabat sipil kini terancam setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan perkara 114/PUU-XXIII/2025 terhadap gugatan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang UU Polri terkait kedudukan anggota polisi di jabatan sipil.

Permohonan yang dikabulkan oleh MK itu merupakan gugatan yang diajukan oleh Syamsudin dan Christian Adrianus Sihite.

Ketua MK Suhartoyo mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).

Sementara itu, menurut hakim konstitusi Ridwan Mansyur, frasa "mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian" merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki posisi jabatan sipil, seperti dikutip dari Kompas.com.

Ia berpandangan frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 yang membuat tidak jelasnya terhadap norma yang dimaksud.

Sementara itu, adanya frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" telah mengaburkan substansi frasa "setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian" dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002.

Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite melayangkan gugatan ini karena mereka menyoroti praktik penempatan polisi aktif di jabatan sipil seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Menurut mereka, praktik tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi, serta merugikan hak konstitusional warga sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.

Baca juga: Polri Hormati Putusan MK Larang Anggota Aktif Duduki Jabatan Sipil, Tunggu Salinan Resmi

Dua Hakim Sampaikan Pendapat Berbeda

MK memutuskan anggota kepolisian yang masih aktif tidak dapat menduduki jabatan sipil, kecuali setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025) untuk perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menguji konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).

Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa penugasan anggota polisi aktif di jabatan sipil tidak dapat dilakukan berdasarkan arahan atau perintah Kapolri semata.

Putusan ini mempertegas prinsip netralitas aparat penegak hukum dan pemisahan antara struktur militer, kepolisian dan sipil dalam pemerintahan.

Namun, dua hakim konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh dan M Guntur Hamzah menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Menurut mereka, frasa 'tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri'  dalam penjelasan pasal yang diuji seharusnya tidak menjadi persoalan konstitusionalitas, melainkan persoalan implementasi norma.

“Yang pada pokoknya menyatakan sepanjang pengujian frasa ‘tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ sebagaimana dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 bukan persoalan konstitusionalitas norma,” ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan pendapat berbeda tersebut.

“Akan tetapi lebih merupakan persoalan implementasi norma sehingga permohonan para pemohon seharusnya ditolak karena tidak beralasan menurut hukum,” imbuhnya.
 
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani juga menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion).

Ia menilai frasa yang dipersoalkan berpotensi menimbulkan tafsir yang terlalu luas terhadap jabatan di luar kepolisian, sehingga perlu ditegaskan pembatasannya.

“Sehingga permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk dikabulkan,” ujar Suhartoyo saat membacakan pandangan Arsul.

Baca juga: Polri Hormati Putusan MK Larang Anggota Aktif Duduki Jabatan Sipil, Tunggu Salinan Resmi

Permohonan Diajukan untuk Jaga Netralitas Aparatur Negara

Perkara ini diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite.

Dalam permohonannya, mereka mempersoalkan praktik di mana sejumlah anggota polisi aktif menduduki jabatan sipil di luar Polri, antara lain: Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN dan Kepala BNPT.

Para pemohon menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi, serta merugikan hak konstitusional warga sipil dalam memperoleh kesempatan setara mengisi jabatan publik.

“Hal demikian merugikan hak warga negara untuk mendapat perlakuan yang sama dalam pelayanan publik,” tulis para pemohon dalam gugatannya.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved