Selasa, 19 Agustus 2025

Korupsi KTP Elektronik

Golkar Pasang Badan untuk Setnov usai Bebas Bersyarat: Bukan Soal Pantas atau Tidak

Setya Novanto bebas bersyarat. Sah secara hukum, tapi publik bertanya: keadilan atau sekadar prosedur?

Penulis: Fersianus Waku
Tribun Jabar/GANI KURNIAWAN
Terpidana kasus korupsi proyek KTP elektronik, Setya Novanto menuju pintu masuk lapas saat tiba di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Sukamiskin, Jalan AH Nasution, Kota Bandung, Jumat (4/5/2018). Mantan ketua DPR RI ini dipindahkan dari rumah tahanan KPK di Jakarta ke Lapas Kelas 1 Sukamiskin khusus terpidana kasus-kasus korupsi setelah memutuskan tidak mengajukan banding atas putusan hakim yang menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Bebas bersyaratnya mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov), kembali memantik sorotan publik. Di tengah kritik dari pegiat antikorupsi dan akademisi, Partai Golkar justru memilih untuk membela eks Ketua Umum mereka yang pernah divonis dalam kasus korupsi e-KTP.

"Jadi bukan soal pantas atau tidak pantas. Tapi, memang itu hak yang memang dimiliki yang dia lakukan. Dia menjalankan haknya saja," ujar Wakil Ketua Umum Golkar, Ahmad Doli Kurnia, saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (18/8/2025).

Ia menegaskan bahwa Golkar tidak mengintervensi proses hukum. “Kami hanya menghormati keputusan hukum yang berlaku. Kalau sudah diputuskan oleh lembaga resmi, ya kami terima,” katanya.

Setya Novanto atau Setnov merupakan terpidana kasus korupsi proyek e-KTP Kemendagri tahun anggaran 2011–2013, yang merugikan negara Rp2,3 triliun dari total anggaran Rp5,9 triliun. Ia menerima gratifikasi berupa 7,3 juta dolar AS dan sebuah jam tangan mewah Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS.

Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Juli 2017, sempat menang praperadilan, namun kembali ditetapkan pada November dan ditahan setelah sempat menghilang dan mengalami kecelakaan mobil. Pada April 2018, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti. Hak politiknya dicabut selama lima tahun.

Tanpa mengajukan banding atau kasasi, Setnov kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) yang dikabulkan Mahkamah Agung pada Juni 2025. Hukuman dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan. Ia juga menerima remisi total 28 bulan 15 hari, sehingga dinyatakan memenuhi syarat administratif dan substantif untuk bebas bersyarat.

Namun, pembebasan ini menuai kritik dari berbagai pihak.

Baca juga: KPK Periksa, Cegah dan Geledah Rumah Eks Menag, Yaqut Cholil Qoumas Selangkah Lagi Tersangka?

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyebutnya sebagai “kado buruk bagi pemberantasan korupsi.” Ia menilai keputusan ini bertolak belakang dengan pidato Presiden Prabowo yang menjanjikan komitmen besar melawan korupsi.

“Janji Presiden terasa hambar ketika dunia penegakan hukum kita justru bermain dengan hukuman bagi pelaku yang sudah divonis,” ujarnya.

Lucius menyebut ironi ini sebagai “suguhan tak lucu” di tengah perayaan HUT ke-80 RI. “Kita pun jadi makin sadar, bahwa omongan paling berani soal pemberantasan korupsi bisa jadi tinggal omon-omon saja,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa jika pemerintah serius, maka tak boleh ada revisi, amnesti, atau pembebasan bersyarat bagi koruptor. “Dengan pembebasan bersyarat Novanto ini, jalan menuju pembebasan bangsa dari korupsi nampaknya semakin jauh,” pungkasnya.

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyebut pembebasan Setnov sebagai “tamparan bagi gerakan antikorupsi.” Ia menilai bahwa meskipun secara hukum sah, secara moral keputusan tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat.

Mantan penyidik KPK, Praswad Nugraha, mengingatkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.

“Pesan yang tersampaikan justru berbahaya: bahwa korupsi bisa dinegosiasikan,” tegasnya.

Senada, Yudi Purnomo Harahap menyoroti dampak pencabutan PP No. 99/2012 yang membuka celah bagi koruptor non-justice collaborator untuk tetap mendapat remisi. Ia menekankan pentingnya kesadaran moral hakim.

“Korupsi adalah pengkhianatan terhadap bangsa,” pungkasnya.

Meski sah secara hukum, publik bertanya: apakah keadilan cukup ditegakkan lewat prosedur semata? Korupsi tetap menjadi luka terbuka dalam demokrasi kita—dan setiap kompromi hanya memperdalamnya.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan