Wartawan Alami Kekerasan saat Bertugas
Kekerasan Terhadap 8 Jurnalis di Serang Jadi Alarm Serius bagi Keselamatan Pers Nasional
Kekerasan tersebut tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga mencerminkan lemahnya perlindungan struktural terhadap jurnalis
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Insiden pengeroyokan terhadap delapan jurnalis di Kabupaten Serang, Banten, pada 21 Agustus 2025, kembali menyoroti rentannya keselamatan jurnalis di Indonesia.
Peristiwa ini terjadi saat para jurnalis tengah meliput inspeksi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terkait dugaan pelanggaran pengelolaan limbah B3 di PT Genesis Regeneration Smelting.
Kekerasan tersebut tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga mencerminkan lemahnya perlindungan struktural terhadap jurnalis yang menjalankan tugas profesionalnya.
Lebih dari sekadar serangan terhadap individu, kasus ini dinilai sebagai ancaman terhadap hak publik untuk memperoleh informasi yang dijamin oleh konstitusi.
Konsorsium Jurnalisme Aman mencatat bahwa kekerasan, intimidasi, dan pembatasan terhadap kerja jurnalis terus berulang setiap tahun.
Jurnalis yang meliput isu-isu sensitif seperti lingkungan, korupsi, dan hak asasi manusia berada dalam posisi paling rentan karena bersinggungan langsung dengan kepentingan ekonomi dan politik.
“Kekerasan di Serang adalah bukti nyata bahwa perlindungan terhadap jurnalis masih jauh dari memadai. Negara harus hadir, bukan hanya merespons kasus per kasus, tetapi membangun sistem perlindungan yang menjamin jurnalis bisa bekerja tanpa rasa takut. Tanpa itu, demokrasi kita akan terus tercederai,” ujar Oslan Purba, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, dalam keterangan tertulis, Minggu (24/8/2025).
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Fransisca Susanti, menyoroti lemahnya mekanisme perlindungan di tingkat lokal.
Baca juga: Empat Orang Pengeroyokan Wartawan di Serang Sudah Diringkus, Polda Banten Kejar Pelaku Lain
“Jurnalis seharusnya bisa meliput dengan aman, tetapi yang terjadi justru mereka menjadi target kekerasan. Negara perlu menerapkan kebijakan yang tegas dan konsisten untuk menjamin keselamatan jurnalis,” katanya.
Human Rights Working Group (HRWG) juga menekankan pentingnya peran Komnas HAM dalam menangani kasus ini.
Direktur Eksekutif HRWG, Daniel Awigra, menyatakan bahwa Komnas HAM memiliki mandat untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan memastikan akuntabilitas dari semua pihak yang terlibat, termasuk jika ada keterlibatan aparat negara.
Dewan Pers sebagai lembaga independen yang melindungi kemerdekaan pers juga didorong untuk bertindak lebih aktif.
Selain mengecam kekerasan, Dewan Pers diharapkan berkolaborasi dengan Komnas HAM dan aparat penegak hukum agar proses hukum berjalan adil dan transparan.
Seruan Program Jurnalisme Aman
Sebagai inisiatif kolektif untuk memperkuat kebebasan pers di Indonesia, Program Jurnalisme Aman menyerukan tiga langkah utama:
- Penegakan hukum yang transparan — Kepolisian Republik Indonesia dan Polda Banten WAJIB menangani kasus ini secara transparan dan menindak semua pihak yang terlibat tanpa diskriminasi.
- Penguatan sistem perlindungan jurnalis — Pemerintah segera memperkuat mekanisme perlindungan jurnalis, termasuk dalam isu-isu sensitif seperti lingkungan, korupsi, dan hak asasi manusia.
- Kolaborasi lintas sektor — Lembaga negara, media, dan masyarakat sipil perlu berkolaborasi membangun sistem perlindungan berkelanjutan, bukan sekadar reaktif setelah ada serangan.
Konsorsium Jurnalisme Aman mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam menciptakan ekosistem yang aman bagi jurnalis.
Mereka menegaskan bahwa setiap serangan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap demokrasi.
Perlindungan terhadap jurnalis adalah tanggung jawab negara, dan impunitas tidak boleh lagi menjadi pola.
Konsorsium ini terdiri dari tiga organisasi: Yayasan Tifa, PPMN, dan HRWG.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.