Sabtu, 6 September 2025

Pilkada Serentak 2020

Rawan Kecurangan dan Membahayakan, ICW: Pilkada Serentak 2020 Mesti Ditunda

Di tengah jumlah kasus positif Covid-19 yang semakin marak, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan keputusan itu patut dipertanyakan.

Editor: Johnson Simanjuntak
Vincentius Jyestha/Tribunnews.com
Tiga pembicara Indonesia Corruption Watch (ICW), (kiri-kanan) Kurnia Ramadhana, Almas Sjafrina, dan Egi Primayogha, di kantor ICW, Jl Kalibata Timur IV D, Jakarta Selatan, Jumat (11/8/2017). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden RI Joko Widodo menyatakan akan tetap menggelar Pilkada Serentak 2020.

Keputusan itu lalu dikukuhkan lewat kesepakatan dengan DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat, Senin, 21 September 2020.

Di tengah jumlah kasus positif Covid-19 yang semakin marak, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan keputusan itu patut dipertanyakan.

"Pelaksanaan Pilkada 2020 mesti ditunda demi keselamatan warga dan menekan potensi kecurangan yang akan terjadi," kata Peneliti ICW Egi Primayogha dalam keterangannya, Jumat (2/10/2020).

Egi mengatakan, hingga 1 Oktober 2020, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 291 ribu.

Tercatat 10.856 orang telah meninggal dunia akibat Covid-19. Pada 25 September lalu, angka kasus positif harian bahkan mencapai 4.823, tertinggi sejak wabah ini merebak.

"Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi yang semakin memburuk akan menyebabkan berbagai dampak negatif," katanya.

Pertama, menurut Egi, dapat dipastikan pelaksanaan pilkada akan mengancam kesehatan dan nyawa warga. Sejumlah aktivitas dalam proses pilkada akan menimbulkan kerumunan orang.

Proses kampanye misalnya, kata Egi, jelas akan melibatkan banyak orang.

Baca: Senangnya Gibran Sandiaga Jadi Jurkam di Pilkada Solo: Bisa Membuat Kampanye di Solo Semakin Marak

Lebih lagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengizinkan digelarnya konser untuk kampanye pilkada.

"Begitu juga dengan perhitungan suara yang akan melibatkan cukup banyak pihak dalam prosesnya. Dengan begitu, maka risiko penularan akan semakin tinggi," katanya.

Kedua, dikatakannya, praktik kecurangan semakin rawan terjadi. Praktik-praktik politik uang ditengarai akan semakin marak di tengah kondisi pandemi.

Kata Egi, di tengah pandemi, banyak warga yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Permasalahan itu dialami oleh berbagai lapisan warga. Bantuan sosial yang diberikan pemerintah juga tak selalu lancar.

"Kondisi itu dapat dimanfaatkan oleh para kandidat untuk melakukan praktik vote buying. Kandidat memberikan hal mendesak yang dibutuhkan warga guna mendapatkan suara. Politisasi bantuan sosial untuk kepentingan Pilkada juga akan marak, terutama dilakukan oleh petahana," kata dia.

Pada sisi lain, pandemi akan membatasi ruang gerak warga, sehingga pengawasan akan semakin melemah.

"Jikapun dipaksakan risiko penularan akan semakin tinggi. Oleh sebab itu praktik kecurangan akan semakin marak," ujar Egi.

Ketiga, lanjut Egi, partisipasi warga dalam memilih akan menurun. Warga kemungkinan besar akan enggan untuk berpartisipasi karena besarnya risiko penularan.

"Ikut hadir di bilik suara dengan protokol kesehatan sekalipun, tetap tidak mengurangi resiko dan ancaman kesehatan dan nyawa mereka. Rendahnya partisipasi warga akan menurunkan kualitas dari pilkada itu sendiri, sekaligus mencerminkan terdapat permasalahan di balik prosesnya," ujar dia.

Padahal, Egi menekankan, jalan untuk menunda pilkada sangat terbuka lebar.

Dalam penjelasan Pasal 201A ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2020 ikut menegaskan bahwa Pilkada dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila pandemi Covid-19 belum berakhir.

Ia mengatakan bahwa keputusan untuk tetap melaksanakan Pilkada juga menjadi janggal apabila melihat pemilihan kepala desa (pilkades) yang diputuskan untuk ditunda dengan alasan keselamatan warga, sementara pilkada tetap dijalankan.

"Kuat diduga terdapat kepentingan lain di balik keputusan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada merupakan ajang transaksi kepentingan bagi para cukong. Bahkan Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Mahfud MD mensinyalir bahwa 92 persen calon kepala daerah disokong oleh para cukong. Para cukong ini akan mendapatkan keuntungan ekonomi-politik berlipat-lipat saat calonnya menang dalam kontestasi Pilkada nanti," kata Egi.

Oleh karena itu, menurut Egi, jika Presiden Jokowi terus bersikukuh untuk tak menunda Pilkada 2020 dengan dalih yang tidak cukup masuk akal, maka Presiden dapat dianggap tidak memprioritaskan keselamatan warga.

"Sebaliknya, Presiden dapat dianggap lebih mendahulukan kepentingan politik dan kepentingan para bandar yang mungkin telah ‘membeli’ Pilkada di depan," cetusnya.
 

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan