TRIBUNNEWS.COM, KETAPANG - Mandau, senjata tradisional Dayak, Kalimantan Barat, terkenal sejak dulu. Masalahnya, pembuat mandau yang tersisa tinggal dua orang saja.
Yohanes Alem Mantara salah satunya. Yohanes mewarisi keterampilan membuat mandau pun secara kebetulan. Tidak terlihat ada upaya melestarikan salah satu warisan budaya bangsa ini.
"Tinggal dua orang perajin mandau yang masih tersisa di
Ketapang," ujar Alem kepada Tribun Pontianak (Tribunnews.com Network).
Pria 64 tahun itu ditemui Tribun ketika sedang mengukir sepucuk hulu mandau.
Di pelataran dapur
rumahnya, ditemani secangkir kopi, Senin (14/2) siang, warga Jl Gst Moh
Saunan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, ini dengan tekun menuntaskan
pekerjaannya.
Karena kepiawaiannya,
kakek lima cucu ini menjadi satu dari delapan calon penerima Anugerah
Kebudayaan Seni Tradisi 2011 yang dipilih Pemda Ketapang.
"Saya pun tidak tahu apa kriteria saya dipilih," katanya.
Mantan guru di sejumlah SDN ini menuturkan, sudah banyak penghargaan
yang dia terima. Di antaranya penghargaan dari Gubernur Kalbar tahun
1990-an.
"Selain saya menerima penghargaan, mandau-mandau buatan saya pun
sudah beredar luas mulai dari Ketapang, Pontianak, bahkan di Pulau
Jawa," katanya.
Perjalanan Alem menjadi pengrajin mandau bukanlah instan. Ia mulai
tertarik dengan pekerjaan ini senjak 1970-an, ketika bertugas di
Kecamatan Simpang Hulu. Saat pulang mengajar, ia sering melihat orangtua
jaman dulu membuat mandau.
"Sejak itu tiba-tiba saja saya merasa penerus mandau ini tidak akan
ada lagi. Ini membuat saya memutuskan menekuni pekerjaan ini," ujarnya.
Setiap kali pulang mengajar, Alem menyempatkan diri memperhatikan
orang tua membuat dan mengukir mandau yang indah. Dia teringat, menurut
legenda pada era 1930-an, setiap pria yang tidak bisa memengal satu
kepala menggunakan mandau, tidak diperbolehkan menikah.
Saat pindah rumah dari Simpang Hulu ke Kota Ketapang sekitar
1980-an, dia pun mulai fasih menciptakan mandau yang indah dengan aneka
ukiran. Diakuinya, setelah puluhan tahun mencoba, barulah mandau-mandau
itu benar-benar memuaskannya.
Dan sejak menetap di Kota Ketapang, satu persatu order mandau
berdatangan, meski masih skala kecil. Namun ia tetap menjalaninya karena
termotivasi melestarikan budaya Dayak.
"Setelah sekian puluh tahun menjadi perajin mandau, akhirnya bisa
membuat 60-100 bilah mandau dalam sebulan. Harga mulai Rp 50 ribu
hingga di atas Rp 500 ribu," katanya.
Dalam usaia yang sudah tidak muda lagi, dia menyimpan impian, agar tiga murid yang dipilihnya bisa meneruskan impian ini.