Warga Multatuli Pertanyakan Kesaksian MUI Medan
Kericuhan mewarnai sidang kasus perkara perdata perobohan Masjid At-Tayyibah di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (30/8/2012).
Editor:
Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Medan, Irfan Azmi Silalahi
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Kericuhan mewarnai sidang kasus perkara perdata perobohan Masjid At-Tayyibah di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (30/8/2012). Masyarakat meneriaki dan ingin menyerang saksi ahli Drs Ahmad Zuhri yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI Medan, usai persidangan.
Salah satu keterangan Zuhri yang membuat warga berang adalah pernyataannya yang mengatakan, "Bahwa sebenarnya fatwa MUI itu tidak bisa menjadi pertimbangan yang mutlak, tapi dengan demikian akhirnya dibuat menjadi putusan mutlak. Fatwa Istiqdal MUI sebenarnya boleh diikuti atau tidak itu semacam sunah. Saya tidak mengetahui bahwa masjid itu akan dihancurkan. Dan saya juga merasakan beban moral sekarang".
Sontak ketika persidangan berjalan terdengar teriakan masyarakat yang menyatakan, "Kalau begitu kenapa tidak ada yang memberitahu kami pada saat dihancurkan tentang soal itu, apa tunggu hancur dulu baru diberitahu?," ujar warga.
Puncaknya ketika Ketua Majelis Hakim Wahidin mengakhiri dan akan melanjutkan sidang pada Selasa pekan depan. Para pengunjung sidang yang sebagian besar jamaah Masjid At-Tayyibah ingin menyerang Zuhri, karena merasa terganggu atas pernyataannya tersebut.
Beberapa ibu pengunjung sidang berteriak histeris setelah mendengar keterangan Zuhri usai sidang. Kemarahan juga sudah mulai terlihat ketika penasehat hukum dari PT Multatuli Indah Lestari, menanyakan pada persidangan, "Apakah masjid itu masih layak digunakan?". Spontan ibu-ibu menangis tesedu-sedu mendengarkan pertanyaan seperti itu.
Sementara pada saat keterangan saksi ahli lainnya, Teuku Zulkarnaen yang juga menjabat sebagai Sekjen MUI Pusat, sudah diwarnai dengan isak tangis para pengunjung sidang.
"Masjid yang berdiri tahun 1956 hingga 2007 itu selama ini tidak bermasalah, maka tetaplah hukumnya sebagai hukum masjid yang harus berdiri kokoh tanpa alasan," ujar saksi ahli dari MUI pusat yang mementahkan keterangan saksi dari MUI Medan.
Saat itu Zulkarnaen menyebutkan, apabila sebuah tanah wakaf menjadi masjid tanpa lafadz, maka itu sah menjadi tanah wakaf. Masjid itu tidak perlu surat atau bukti perjanjian wakaf.
"Kalau besurat wakaf, Masjid Nabawi pun bisa dijual. Tetapi katanya ini ada indikasi meminta dipindahkan demi kepentingan kepuasan golongan," kata Zulkarnaen.
Usmarlin, salah satu warga Jalan Multatuli ketika dimintai pendapatnya tentang Masjid At-Tayyibah, menyebutkan perkara ini membuatnya emosi. Pasalnya selama bertahun-tahun tidak ada pemberitahuan kepada masyarakat tentang perobohan masjid tersebut. "Siapa yang tidak histeris bahwa rumah ibadah mereka dihancurkan," ujarnya dengan kecewa.
"Saran saya kasus perdata ini diselesaikan secara musyawarah Islam. Saya khawatir fatwa MUI di sini itu sudah diplinti-plintir. Dan didalam surat tidak ada masjid harus dihancurkan," ungkap Sekjen MUI pusat, Zulkarnaen.
Kasus ini bermula, adanya perobohan Masjid At-Tayyibah yang berlokasi di Jalan Multatuli Medan, oleh PT. Multatuli Indah Lestari sebagai tergugat pertama. Warga yang kesal akhirnya pun menggugat MUI Medan atas dasar merestui perobohan tersebut di mana MUI Medan masuk sebagai tergugat kedua dan Kepolisian sebagai tergugat ketiga.
Awalnya, Masjid At-Tayyibah yang berada di Jalan Multatuli ini dirobohkan dan diganti rugi untuk kepentingan pembangunan Ruko oleh PT Multatuli Indah Lestari. Namun masyarakat menolak atas eksekusi tersebut, dikarenakan Masjid At-Tayyibah yang dibangun sejak tahun 1956 itu berada di tanah Wakaf. Dan eksekusi yang terjadi pada tahun 2006 tetap dilaksanakan oleh pihak PT. Multatuli Indah Lestari, dengan dalih sudah mendapat persetujuan dari MUI, Pemko, serta pihak Kepolisian dan bersedia mengganti rugi.
Amar Hanafi selaku Penasehat Hukum penggugat (warga) menjelaskan kehadiran mereka sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sumut No 401/PDT/2008/PT MDN tertanggal 30 Januari 2009, serta memerintahkan PN Medan untuk memeriksa pokok perkara kembali.
"Pertama kali gugatan ini kami layangkan pada 13 Agustus 2007 silam. Tetapi ketika menjalani persidangan, PN Medan mengeluarkan berkas tertanggal 3 Desember 2007 mengatakan bahwa tidak berwenang memeriksa dan menyatakan gugatan penggugat tidak diterima. Selain itu, Pengadilan Tinggi (PT) Sumut tertanggal 30 Januari 2009 pun menguatkan putusan PN tadi," ujarnya usai menjalani persidangan di ruang Kartika.
Dengan gagalnya gugatan yang mereka ajukan tadi, maka masyarakat dan penasehat hukum mengajukan kasus ke tingkat Mahkamah Agung. Di sana, MA akhirnya memenangkan penggugat (warga) dan memerintahkan agar PN Medan agar memeriksa pokok perkara terkait kasus ini.
Baca Juga: