Melalui 'Sahabat BUku', Mahasiswa Unej Coba Hidupkan Pasar
"Memang ini pasar mati. Kami memang sengaja memilih di pasar yang bisa disebut sudah mati. Tidak ada aktifitas jual beli disini. Kata orang Dinas Pasa
TRIBUNNEWS.COM,JEMBER- Tidak ada yang aneh dengan lapak buku berukuran 4x4 itu. Toko buku yang diberi nama 'Sahabat Buku' itu juga langsung terlihat dari jalan raya di depannya. Cat bagian dalam toko berwarna merah. Lima rak buku ditata, menampung lebih dari 300 buku yang dijajar rapi.
Melihat lapak buku itu, seperti melihat layaknya toko buku, namun berukuran kecil.
Yang tidak biasa adalah sekitarnya. Di sekeliling Sahabat Buku memang terlihat deretan kios. Tertutup. Itulah kondisinya.
Bagian depan deretan kios yang dicat biru itu terdapat emperan berlantai semen.
Emperan dereta kios cukup lapang karena berukuran hampir 1,5 meter. Di belakang deretan kios itu, terdapat sejumlah lapak. Kumuh dan ada yang nyaris roboh.
Itu memang pemandangan yang ada di sekitar Sahabat Buku. Bisa dibilang hanya 'Sahabt Buku' saja yang terlihat hidup di sekitar tempat itu.
Selain Sahabat BUku, ada sebuah sebuah gerobak makanan bercat ungu dan putih yang terlihat ceria dan mencolok.
"Memang ini pasar mati. Kami memang sengaja memilih di pasar yang bisa disebut sudah mati. Tidak ada aktifitas jual beli disini. Kata orang Dinas Pasar, sudah lama sekali. Bertahun-tahun pasar ini mati," tutur Andi Irawan, pengelola 'Sahabat Buku'.
Ya, Sahabat Buku memang terlihat mencolok di sekitarnya karena memang berada di tengah lapak dan kios pasar yang tidak berfungsi lagi, pasar Tegalboto di Kelurahan Sumbersari/Kecamatan SUmbersari.
Pasar itu telah mati sejak sekitar tujuh tahun silam.
Padahal awalnya, pasar letaknya dekat dengan sejumlah perumahan dan permukiman penduduk itu, merupakan pasar seperti pada umumnya. Setiap pagi, penjual sayur mayur membuka lapak di situ.
Kios dan lapak juga difungsikan sebagai tempat berjualan. Lambat laun, pasar itu kalah bersaing sehingga akhirnya ditinggalkan oleh pedagang dan mati suri hingga akhirnya mangkrak dan tidak difungsikan lagi.
Bahkan Andi pada awalnya tidak mengetahui kalau tempat itu adalah pasar. Tiga bulan lalu, ia melihat temannya, sesama mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu POlitik (FISIP) Universitas Jember membuka kedai makanan dan minuman di tempat itu.
Dari situlah, ia mengetahui kalau tempat itu pasar. AKhirnya ia berinisiatif meramaikan, bahkan bermimpi bisa menghidupkan pasar itu lagi. Andi akhirnya memilih berjualan buku.
"Mungkin tidak populer, namun saya memilih melalui buku saja," tegas mahasiswa Jurusan Administrasi Negara FISIP Unej itu.
Berbekal idealisme, mimpi, dan tekad, ia mengumpulkan modal. Ia menjual sepeda motornya untuk mendapatkan modal.
Modal itu ia tempatkan sebagai deposit kepada salah satu penerbit buku. Dengan begitu, ia memperoleh sejumlah buku.
Ia memilih buku bukan tanpa alasan. Ia melihat budaya membaca buku dan mengkaji isi buku, masih belum 'gahar' di Jember. Budaya membaca buku dan berdiskusi di kalangan mahasiswa dan pelajar di Jember belum setinggi di Jogjakarta atau Malang.
Karenanya, ia juga memilih menjual buku induk sejumlah mata pelajaran kuliah. BUku induk atau babon biasanya tidak dijual di toko buku mainstream. 'Sahabat Buku' juga menjual buku kajian tentang sosoal, budaya, gerakan, juga pemikiran tokoh agama. Mau mencari buku tentang pemikiran Abdurahman Wahid (Gus Dur), kiai kampung sampai gerakan kiri, ada di toko tersebut.
"BUku babon mata kuliah hukum, kedokteran, juga ekonomi ada di sini," ujar Andi berpromosi.
Tidak hanya berjualan buku, kios 'Sahabat Buku' juga menyediakan tempat untuk berdiskusi. Toko itu memang baru berjalan 1,5 bulan. Baru dua kali diskusi digelar. Andi ingin diskusi digelar secara rutin.
Tidak hanya diskusi, mahasiswa angkatan 2009 itu juga bermimpi, bisa menggerakan minat baca di kalangan ibu-ibu di perumahan yang letaknya bersisihan dengan pasar tersebut. Ia berangan-angan, ingin meminjam tabloid dari rumah-rumah di perumahan itu, kemudian ditukar dengan tabloid atau majalah baru dari tokonya.
"Sistemnya berputar, jadi saya pinjam majalah atau tabloid dari mereka untuk dipinjamkan, dan mereka dapat tabloid atau majalah baru, juga pinjam. Selain kami berharap bisa mendatangkan uang, akan ada minat baca di dalam rumah terutama oleh ibu-ibu," tegas Andi.
Dalam menjalankan tokoknya, Andi dibantu dua rekannya yang juga mahasiswa FISIP Unej. Dan meskipun berada di pasar yang sudah mati, bukan berarti Andi tidak membayar retribusi. Setiap bulan, ia membayar retribusi Rp 150.000 kepada Dinas Pasar Pemkab Jember.
Kehadiran 'Sahabat Buku' di pasar tersebut ternyata disambut baik oleh warga sekitar. Sejumlah dosen Unej yang tinggal di perumahan dekat toko itu mengapresiasi langkah Andi dan teman-temannya. Pengurus RT perumahan setempat juga berterimakasih.
"Karena akhirnya jadi ramai, karena sebelumnya sekitar pasar ini sepi. Kan berada di dekat jembatan, sungai, banyak pohon bambu. Sehingga warga sini melihatnya angket. Setelah kami berada di sini, jadi ramai," imbuhnya.
Meskipun pembeli tidak datang setiap hari, sejauh ini, Andi belum putus asa. 1,5 bulan berjalan, puluhan buku sudah berhasil dijual. Mahasiswa yang kesulitan mencari buku referensi bisa pesan ke 'Sahabat BUku' dan akan dicarikan.
"Saya memang bermimpi bagaimana pasar ini bisa hidup lagi, sebagai tempat jual beli agar semarak lagi. Toko ini juga terbuka sebagai tempat diskusi, tempat berbagi ilmu," tegas pemuda asal Kecamatan Bangsalsari, Jember itu.