Liputan Khusus Aceh
Uang Aceh Habis Dibelanjakan di Luar Aceh
jumlah uang yang masuk ke Aceh sekira Rp 2,8 triliun. Rp 2,1 triliun kemudian tercatat digunakan untuk bertransaksi di luar Aceh.
TRIBUNNEWS.COM - ACEH merupakan salah satu provinsi yang mendapatkan banyak ‘santunan’ dari pemerintah pusat. Namun, puluhan triliun rupiah dana yang masuk setiap tahun itu hanya sekadar transit di Aceh.
Uang ini justru lebih banyak menggeliatkan ekonomi provinsi tetangga, Sumatera Utara. Apa saja yang dibelanjakan warga Aceh di Sumatera Utara dan apa pula yang seharusnya dilakukan pemerintah Aceh?
Berikut laporan eksklusif dari hasil liputan Serambi Indonesia, koran kelompok Tribun di Aceh:
Bank Indonesia (BI) mencatat pada triwulan II 2014, jumlah uang yang masuk ke Aceh sekira Rp 2,8 triliun. Namun, di antara jumlah uang sebesar itu, Rp 2,1 triliun kemudian tercatat digunakan untuk bertransaksi di luar Aceh, antara lain di Sumatera Utara. Hanya Rp 588 miliar yang ditransaksikan di Aceh atau sekira 21 persen.
Terkait banyaknya uang Aceh yang keluar lagi dari Aceh bukanlah cerita baru. Berbagai kalangan di Aceh membelanjakan uangnya di luar Aceh untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Memang data ini merupakan transaksi sekilas atau dalam jangka waktu tertentu yang tercatat di BI, namun tidak ada yang bisa membantah bahwa sebagian besar uang Aceh memang dihabiskan di luar Aceh selama ini.
Ketergantungan ekonomi Aceh terhadap Sumatera Utara itu sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. “Ini cerita klasik,” kata pengamat ekonomi dari Unsyiah, Rustam Effendi, pekan lalu. (Baca: Jangan Lupakan Pertanian).
Parahnya lagi, sekira 21 persen uang yang berdiam di Aceh itu pun belum tentu mengalir ke bawah. ‘Kue’ ekonomi yang sudah kecil ini belum terdistribusi secara adil.
Sebagian besar dinikmati oleh kalangan yang umumnya dekat dengan pemegang kekuasaan. Yang lebih ironis, hingga kini Pemerintah Aceh belum punya blueprint bagaimana secara bertahap mengurangi ketergantungan Aceh pada Sumatera Utara.
Itu sebab, di tengah taburan uang, kemiskinan di Aceh tetap saja masih berada di atas angka rata-rata nasional yang 11,25 persen.
Pemerintah di 23 kabupaten/kota pun demikian. Kepala Bank Indonesia Perwakilan Aceh, Zulfan Nukman menyebutkan, pemerintah kabupaten/kota selama ini malah terkesan sibuk mengurus soal tenaga kerja honorer yang akan diangkat menjadi PNS.
Bertahun-tahun, misalnya, pemerintah kabupaten/kota tersita waktu dan pikiran untuk meng-clear-kan kevalidan verifikasi tenaga honorer K-2.
Di beberapa kabupaten, pemerintah setempat juga sibuk menegerikan kampus swasta menjadi negeri, namun lupa menciptakan lapangan kerja buat mereka kelak.
Harusnya dengan sumber daya yang dimiliki, pemerintah di kabupaten/kota juga berpikir bagaimana cara menggeliatkan ekonomi masyarakat. “Kita sering lupa banyak potensi lain untuk menciptakan lapangan kerja, tak mesti PNS,” kata Zulfan.
Melihat kondisi riil di Aceh, lanjutnya, Bank Indonesia telah berinisiatif melatih puluhan wiraswastawan potensial yang diharapkan bisa menggeliatkan ekonomi Aceh ke depan.
“Mereka sanga potensial. Produk-produknya kreatif. Kita datangkan konsultan khusus untuk melatih mereka,” katanya.
BPS memang mencatat kontribusi sektor swasta untuk pertumbuhan ekonomi sangat rendah. Ekonomi menggeliat hanya melalui realisasi dana APBA, APBN, dan APBK setiap tahun.
Lebih pahit lagi, serapan anggaran di berbagai dinas/badan itu baru berdampak ke masyarakat di akhir tahun, ketika dana-dana proyek mulai cair dan serapan anggaran mencapai prosentase tertinggi.
Sedangkan sektor swasta belum memberikan andil bagi pertumbuhan ekonomi, padahal sektor industri dan konstruksi ini merupakan usaha padat modal dan padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.
“Program ketahanan pangan harus ditangani serius karena sebagai kebutuhan pokok inilah yang menjadi pemicu terjadinya inflasi. Untuk langkah awal bisa dibina beberapa kelompok petani sebagai pilot project, namun harus ditetapkan prioritas komoditi yang sesuai dengan permintaan pasar seperti telur dan sayur,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Hermanto yang ditemui Serambi di Banda Aceh, Jumat 15 Agustus 2014.
Ia menyoroti program pembangunan fisik yang tidak tepat guna, dan semestinya bisa dialihkan untuk modal usaha petani.
Saat ini tak ada usaha-usaha produktif yang signifikan menahan lajunya uang ke luar dari Aceh. Mulai dari sembako alias pangan, juga sandang, harus didatangkan dari Medan.
Bahkan papan pun harus ‘diimpor’ dari Medan. Kayu-kayu terbaik Aceh dikirim ke Medan, setelah diolah dan dibuat beragam furniture, baru dikirim kembali ke Aceh dan dijual dengan harga tertinggi.
Pengamat ekonomi dari Universitas Syiah Kuala, Rustam Effendi menambahkan, selain memang Aceh tak punya pabrik, penyebab mudahnya uang lari ke luar Aceh juga lantaran sifat konsumtif masyarakat Aceh.
“Bukan hanya sembako dari sana. Mobil, apartemen, pakaian, bahkan istri muda pun kebanyakan digaet di luar Aceh. Maka, dana yang ke luar dari Aceh tak terhitung jumlahnya,” kata Rustam sambil tersenyum.(sak/rul/sar)