Ramadan 2017
Alkisah Kampung Mahmud Dibangun dengan Tebaran Tanah Mekkah di Empat Penjuru
Penyebaran agama Islam konon salah satunya bermula dari Kampung Mahmud, Desa Mekar Rahayu, Kabupaten Bandung, lima abad lalu.
Editor:
Y Gustaman
Oleh karena itu, beliau memberikan beberapa pantangan untuk keluarga maupun pengikutnya.
Mulai dari larangan berternak kambing dan angsa (soang), menggelar wayang, menabuh go'ong, menampilkan jaipongan, membuat sumur, hingga membuat rumah megah yang terbuat dari bata dan memasang kaca.
Larangan tersebut dijalankan dengan baik oleh warga Kampung Mahmud yang kebanyakan merupakan keturunan dari Eyang Dalem Abdul Manaf.
Rumah-rumah di kampung tersebut sebagian besar berbentuk panggung dengan dinding dari bilik bambu dan tidak menggunakan genteng barong dan tembok.
Tak gubahnya rumah penduduk, Masjid raya dan madrasah yang berada di dalam kampung pun menunjukkan rancang bangun yang serupa dengan menerapkan filosofis Sunda.
Kendati demikian, kata H. Syafie, larangan untuk membangun rumah tersebut dilanggar oleh segelintir penduduk kampung.
"Saat orang tua berupaya menjaga tradisi, tapi anak cucunya ada saja yang membangun rumah gedong, padahal itu diajarkan oleh Eyang untuk menjaga kerendahan hati, karena hidup itu sementara dan kita akan berpulang ke akhirat nanti yang kekal," ujar pria berjanggut tebal itu.
Pernah suatu ketika satu keluarga berupaya membuat sumur di dalam kampung, tapi sumur tersebut tidak pernah rampung dikarenakan tanah galian yang terus amblas ditambah dengan munculnya berbagai hewan melata dari dalam lubang galian.
Kendati demikian, Eyang Dalem Abdul Manaf, hanya memberlakukan larangan tersebut hanya di dalam kampung saja.
"Eyang pernah memerintahkan untuk menggunakan Sungai Citarum yang dulu bersih untuk segala keperluan, boleh saja membangun sumur, asalkan di luar kampung," kata dia.
Beliau membuat penanda batas Kampung Mahmud berupa tugu batu dengan ukiran berbentuk kepala di atasnya di sebelah utara kampung. Pasalnya, Kampung Mahmud dibatasi oleh Sungai Citarum di bagian lainnya.
Sekarang, tugu tersebut disimpan rapat dengan kelambu di dalam ruangan berpagar besi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Termasuk pencurian dan pengrusakan tugu.
"Padahal itu hanya sebagai penanda saja, bukan untuk yang lain," kata dia.
H. Syafie dan sebagian besar masyarakat di sana percaya jika roh dari seorang waliyulah akan tetap ada, bahkan dapat berinteraksi dengan keturunannya. Banyak peziarah yang datang untuk ikut berdoa.
"Kalau malam Jumat dan Minggu ramai yang datang ke sini, kalau saat Ramadhan seperti ini agak jarang," ujar H. Syafie.