Sisi Lain Budaya Sumba: Pria Berparang Ada Dimana-mana, Namun bukan Untuk Berperang
Parang yang dibawa berukuran panjang dan diselipkan di pinggang dengan dibalut kain. Hampir semua parang panjangnya sekitar 40 cm.
Penulis:
Yulis Sulistyawan
TRIBUNNEWS.COM, SUMBA - Apa reaksimu begitu melihat hampir semua pria tua-muda membawa parang ada di mana-mana? Pasti awalnya kamu kaget atau bisa jadi begidik ketakutan.
Itulah pemandangan unik dan awalnya sedikit mengkhawatirkan ketika berada di kawasan Sumba Barat Daya dan Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Begitu keluar dari Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya, di setiap jalanan akan terlihat pria membawa parang atau disebut Katopo dalam bahasa daerah di Sumba.
Baca: Saat Gadis-gadis Cantik Terjun ke Pedalaman untuk Mengajar: Rela Kepanasan Hingga Riasan Luntur
Parang yang dibawa berukuran panjang dan diselipkan di pinggang dengan dibalut kain. Hampir semua parang panjangnya sekitar 30- 40 cm.

Tak hanya orangtua, anak muda pun juga membawa katopo itu kemana pun pergi.
Tribunnews.com yang berada di Kota Tambolaka pekan lalu menyaksikan anak-anak muda juga membawa katopo, meski sambil mengendarai sepeda motor.
Bukan cuma satu atau dua. Hampir semua anak muda membawa katopo. Tak ada polisi yang menghentikan atau melarang pengendara membawa parang.

"Kalau di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, kemana-mana warga membawa Katopo. Itu sudah menjadi kebiasaan di sini," ujar Pettu, warga Sumba Timur yang kerap bepergian ke Sumba bagian barat.
Budaya
Tribunnews.com juga mendatangi kawasan desa di Sumba Barat Daya. Di wilayah Kodi misalnya.
Terlihat warga membawa Katopo kemanapun mereka berada. Saat berladang, bekerja di sekitar rumah maupun ketika berjalan, para pria tak pernah ketinggalan katopo.

Baca: Potret Siswa SD di Pedalaman: Kurang Gizi, Pertama Kali Makan Telur Lalu Muntah
Tribunnews.com juga mendatangi daerah pedalaman di Sumba Barat yakni Desa Lolomano. Desa tersebut jaraknya sekitar 40 km dari Ibukota Sumba Barat yakni Waikabubak.
Di desa yang berada di perbukitan kering nan tandus, terlihat pria membawa parang kemanapun.
Warga yang hadir menyaksikan kegiatan sosial yang dilakukan komunitas 1000 Guru dengan KFC Indonesia di SDN Mata Wee Tame, juga tak ketinggalan membawa parang ke sekitar sekolah.
Dengan bangga mereka memamerkan Katopo atau parang saat Tribunnews hendak mengabadikan gambar mereka.
Nono Nale (70) misalnya. Ia sempat berakting silat dengan Katopo nya yang mengilat.

Tribunnews juga sempat mencoba memegang katopo milik warga itu.
Gagangnya sekitar 10 cm dan besinya berukuran sekitar 40 cm.
Warna besi katopo itu mengilat dan sangat tajam.
Baca: Melihat Sekolah di Pedalaman Sumba: Gedung Reyot Mirip Kandang Ayam dan Siswa Kurang Gizi
Menurut Nono Nale, membawa katopo adalah bagia dari kebudayaan warga. Sehingga kemana pun mereka bepergian, selalu membawa alat ini.
"Semua laki-laki harus membawa katopo kemana saja pergi. Katopo ini untuk berladang,berburu, potong babi,potong kerbau,potong sapi,potong ayam. Semua pakai katopo. Kalau tak ada katopo, laki-laki tak bisa bekerja," ujar Nono Nale.
Hal senada disampaikan Yusup Kanata (35). Menurutnya, tanpa Katopo lebih baik tinggal di rumah saja.
Katopo hanya dilepas saat mandi atau tidur. Itupun letaknya tak jauh dari pemiliknya.

Nono Nale menambahkan, Katopo juga dibawa ke acara apapun. "Ketika ada pesta atau ada yang meninggal, kami selalu bawa Katopo," ujar Nono Nale.
Bukan Untuk Berkelahi
Para wanita di Sumba pun sangat mahfum dengan kebiasaan pria membawa Katopo.
Mereka tidak takut atau pun khawatir. "Katopo untuk menjaga kami para perempuan juga," ujar Kristina Tungga (32).
Nono Nale, Yusuf Kanata dan para pria lainnya mengatakan sama, bahwa katopo bukan untuk berkelahi atau menakut-nakuti orang lain.
Baca: Menengok Makam Besar nan Megah di Depan Rumah Warga Sumba, Isinya Bisa Belasan Jenazah
"Justru kami aman membawa katopo ini. Tidak pernah ada ceritanya kami berkelahi. Di sini kami saudara semua. Di larang keras berkelahi apalagi memakai katopo untuk berkelahi,"ujar Nono Nale.
Namun katopo tak berlaku di sekolahan.
Semua guru pria dan para siswa tak ada yang membawa katopo."Tak boleh membawa katopo ke sekolahan," ujar Simon Bebuma, kepala sekolah SDN Mata Wee Tame, Desa Lolomano.

Meski demikian, sepulang sekolah anak-anak pria diberi katopo untuk membantu orangtuanya berladang.
"Kalau berladang dan bekerja lainnya kita bawain katopo. Tapi untuk bermain-main tidak boleh," ujar Kristina.
Tribunnews juga berkesempatan mendatangi acara potong hewan sebagai penghormatan anggota keluarga yang baru saja meninggal.
Tepatnya di Desa Waimangga, Sumba Barat.
Saat itu terlihat puluhan pria memotong dua sapi dan dua kerbau. Mereka saling bahu menyembelih dan memotong daging dengan menggunakan katopo.

Belis
Tribunnews juga mendatangi desa adat, yakni Desa Tarung yang masih mempertahankan adat-istiadat Sumba.
Delapan pria saat itu sedang berkumpul di rumah wakil ketua adat yakni Rato Amalede.
Baca: Saat Gadis-gadis Cantik Terjun ke Pedalaman untuk Mengajar: Rela Kepanasan Hingga Riasan Luntur
Hadir juga ketua adat mereka yakni Rato Sugarbani Jala Amalale.
Rato Sugarbani yang berpenampilan tenang, terlihat membawa parang berukurang panjang.
"Kami semua di sini membawa katopo. Semua kegiatan dan kemanapun kami membawa katopo," ujar Rato Amalede.

Menurutnya, katopo ini adalah alat untuk bekerja. Tanpa katopo maka pria di kampungnya tak bisa bekerja.
Katopo juga menjadi salah satu barang bawaan wajib saat pria meminang perempuan Sumba.
Jumlah katopo yang diberikan, sama persis dengan jumlah hewan untuk meminang atau belis.
"Kalau belisnya (Kerbau atau sapi) 100 ekor, maka katoponya 100 juga," jelas rato Malede.
Jokowi Hadir
Kebiasaan membawa parang lantaran sudah menjadi budaya, maka saat acara besar pun warga tetap membawa parang.
Tak terkecuali ketika Presiden Joko Widodo hadir dalam acara parade 1.001 ekor kuda Sandalwood pertengahan Juli 2017 lalu.
Erick,Salah seorang jurnalis asal Kupang yang hadir pada acara tersebut menceriterakan bahwa kehadiran Jokowi membuat pengamanan diperketat.

Semua orang yang hendak masuk ke stadion Waikabubak, dilarang membawa senjata tajam.
Pantauannya ketika itu, warga enggan melepas katopo. Sehingga, warga yang tak mau melepas katopo hanya bisa menyaksikan Jokowi dari luar stadion.
Pada acara itu, Jokowi juga dihadiahi parang Sumba bergagang gading gajah, kain Sumba dan seekor kuda Sandalwood yang merupakan kuda ras asli Pulau Sumba.
Sumba Timur
Kebiasaan membawa Katopo di Sumba bagian barat hampir tak ditemui di Sumba Timur.
Saat berada di kawasan Waingapu dan beberapa lokasi sekitarnya, Tribunnews tak melihat warga membawa parang.
Katopo hanya terlihat dibawa warga saat berladang atau bekerja lainnya.
"Di timur, kami tidak membawa katopo kemana-mana. Katopo dibawa warga saat berladang atau memotong ternak saja," ujar warga bernama Jemi Boamonga yang besar di Waingapu. (tribunnews/yulis)