Bayi 3 Tahun Langsung Menangis saat Ayahnya Diperiksa Polisi Terkait Pemukulan oleh Pekerja TPL
Roganda menjelaskan saat polisi penyidik Polres Simalungun, bertanya mengenai kejadian penganiayaan, Mario AMbarita tampak lamgsung menangis ketakutan
Editor:
Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, SIMALUNGUN - Marudut Ambarita, ayah dari bayi di bawah usia lima tahun (balita), Mario Ambarita, korban penganiayaan pihak pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL), telah resmi melaporkan kejadian ini ke Polres Raya Kabupaten Simalungun, Selasa (17/9/2019).
Ayah Mario Ambarita mengadukan perkara ini didampingi Roganda Simanjuntak Ketua Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN) Tano Batak, dan Ronald Syafriansyah dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu).
Baca: Usai Ditangkap, Pelaku Pembakaran Hutan Ungkap Bayaran Serta Nama Pengusaha yang Menyuruh
Roganda menyampaikan Mario Ambarita yang berusia 3 tahun itu mengalami traumatik setelah mendapatkan pemukulan dari Humas PT TPL Bahara Sibuea di lahan, yang disengketakan TPL dengan masyarakat adat – Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) di Buntu Pangaturan, Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Sumatera Utara, Senin (16/9/2019) siang.
Roganda menjelaskan saat polisi penyidik Polres Simalungun, bertanya mengenai kejadian penganiayaan, Mario Ambarita tampak lamgsung menangis ketakutan.
"Kita laporkan tindak kekerasan anak usia 3 tahun. Yang dilakukan Humas TPL Bahara. Dia trauma. Ketika ditanya anak langsung nangis. Karena trauma kejadian yang kemarin. Pihak rumah sakit mengatakan adabenturan. Makanya, habis ini kami langsung visum," ujar Roganda, Selasa (17/9/2019).
Roganda menjelaskan sedikit kronologis pemukulan yang dialami Mario.
Kata Roganda, Bahara Sibuea yang memegang kayu mencoba memukul ayahnya, tetapi mengenai Mario yang saat itu tengah digendong.
Roganda mengharapkan pihak kepolisian bisa netral dan profesionalisme dalam menangani kasus ini.
Apalagi, peristiwa ini terjadi antara Masyarakat Adat Lamtoras dengan perusahaan bubur kertas.
"Kita harap polisi bisa netral. Kita minta profesionalisme mereka. Karena ini diperhadapkan masyarakat dengan perusahaan. Netral saja sudah syukur. Agar kepercayaan masyarakat bisa ada untuk kepolisian," katanya.
Roganda juga menyinggung peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terus membiarkan konflik lahan ini terjadi.
Roganda menyampaikan sudah bertemu dengan pihak KLHK untuk menjelaskan tanah yang dikuasai PT TPL di Sihaporas Kecamatan Sidamanik merupakan milik Masyarakat Adat Lamtoras.
"Sebenarnya kelalaian pemerintah sampai sekarang. Enggak serius merespon permintaan masyaeakat adat. Sudah bertemu juga tapi belum melihat keseriusan KLHK. Kita melihat mereka (KLHK) membiarkan konflik ini terjadi,"ujarnya.
Kasat Reskrim Polres Simalungun AKP Muhammad Agustiawan belum mengetahui adanya laporan dari masyarakat adat Sihaporas.
Ia baru mengetahui adanya laporan dari PT TPL yang menuding masyarakat melakukan pengeroyokan.
AKP Muhammad Agustiawan saat dihubungi via seluler langsung merespon cepat laporan PT TPL.
Katanya segera menindaklanjuti perbuatan pengeroyokan yang diduga dilakukan masyarakat yang mengakibatkan karyawan PT TPL luka-luka.
Baca: Kabar Terbaru soal Bencana Kabut Asap, 6.025 Warga Terserang ISPA hingga Balita Diungsikan
Sementara, laporan masyarakat terkait pemukulan balita, AKP Muhammad Agustiawan menanyakan laporan itu ke mana.
"Soal balita itu sampai sekarang saya belum terima dari masyarakat. Lapor ke mana? Baru ya? Yaudah nanti kalau ada laporan kita tindak lanjuti. Pasti kita jadi atensi dan kita ungkap," katanya. (tribun-medan.com/tmy)
Kronologi penganiayaan

Penetua Lamtoras, Judin Ambarita menceritakan kejadian bermula saat Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), semampu daya merebut kembali lahan mereka yang selama ini dirampas PT TPL.
Mereka mendatangi lokasi dan bercocok tanam jagung di areal yang baru panen kayu eukalyptus itu.
Melihat hal itu, pihak Humas dan sekuriti perusahaan PT TPL mendatangi warga.
Kehadiran pihak PT TPL pada pukul 11.30 WIB dikomando Humas Sektor Aek Nauli, Bahara Sibuea.
Tiba di lokasi, Bahara langsung melarang warga yang menanam jagung.
Bahara Sibuea kemudian bertindak kasar, merampas alat kerja berupa cangkul.
Setelah perampasan alat kerja, berlanjut juga melakukan pemukulan terhadap warga, dan mengenai Mario Ambarita, ayahnya, dan beberapa masyarakat adat Lamtoras Sihaporas.
Pada Pukul 11.34 WIB kondisi semakin memanas.
Melihat Mario Ambarita yang masih usia tiga tahun terkulai lemas di pelukan bapaknya, kaum ibu masyarakat adat Lamtoras histeris.
Dalam suasana panik, masyarakat adat Lamtoras Sihaporas kemudian melakukan pembelaan diri dan perlawanan.
Seluruh warga-masyarakat adat Lamtoras pun pulang untuk mengutamakan pertolongan pertama, membawa berobat anak Mario Ambarita dan beberapa masyarakat adat Lamtoras yang terluka.
Judin Ambarita, membeberkan histori lokasi itu.
Tanah moyang mereka yang dicaplok penjajah Belanda pada tahun 1910-an.
Setelah penjajah pulang ke negerinya, tanah tersebut diambil alih pemerintah Republik Indonesia yang merdeka tahun 1945, kemudian diusahai PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Humas PT TPL, Norma Hutajulu ketika dikonfirmasi tidak mengelak soal adanya bentrokan tersebut.
Namun, Norma menuding warga yang melakukan tindakan penganiayan dan menyebabkan karuawn TPL terluka.
Katanya, keadian ini bermula sekitar pukul 10.00 WIB.
Personel keamanan yang berjaga di Compt B 068 dan B. 081 melaporkan bahwa warga Sihaporas melakukan penanaman jagung di Compt B 553.
Menurutnya, Humas TPL melakukan mediasi dan menyampaikan kepada warga agar kegiatan penanaman jagung diberhentikan dahulu dan diadakan musyawarah dan dibicarakan secara baik-baik.
Saat upaya dialog damai dilakukan Humas TPL untuk dapat duduk berbicara bersama di salah satu tepian lokasi, warga Sihaporas bersikeras melakukan penanaman
Dijelaskannya, areal penanaman tersebut merupakan areal konsesi PT TPL yang telah memiliki izin dan telah memasuki rotasi tanam ekaliptus yang keempat.
Mulia Nauli, Direktur PT TPL mengatakan, “Izin konsesi PT TPL berada di kawasan hutan negara, dengan izin pengelolaan yang terbatas dalam kurun waktu tertentu. Pada pelaksanaan operasionalnya, persero selalu menghormati hak-hak masyarakat dan komunitas adat yang berada dalam wilayah kerja persero dengan mengedepankan proses dialog yang terbuka yang dilandasi undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam penyelesaian masalahnya."
Sumber: Tribun Medan