Penanganan Covid
Gubernur Ridwan Kamil Prioritaskan Vaksin Covid-19 Untuk Nakes dan TNI/Polri
Kang Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil, mengatakan tenaga kesehatan, TNI dan Polri mendapat prioritas karena mereka lah pejuang garis depan
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menetapkan tenaga kesehatan, aparat TNI dan Polri sebagai prioritas tertinggi mendapatkan vaksin Covid-19 di Jawa Barat.
Sebanyak 1,2 juta dosin vaksin Covid-19 Sinovac telah tiba di Tanah Air, Senin (7/12) dari Tiongkok. Begitu tiba, vaksin itu langsung disimpan di Bio Farma, Bandung.
Kang Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil, mengatakan tenaga kesehatan, TNI dan Polri mendapat prioritas karena mereka lah pejuang garis depan melawan penyebaran Covid-19.
"Kita di Jawa Barat jika diminta prioritas vaksin, maka kita prioritaskan sebanyak 350.000 untuk tenaga kesehatan dan 150.000 untuk TNI Polri yang bertugas langsung dalam mengatasi pandemi di garis depan," kata Kang Emil ini di Markas Kodam III Siliwangi, Senin (7/12).
Namun, Kang Emil mengaku tidak tahu berapa dari 1,2 juta dosis vaksin itu yang dialokasikan untuk Jawa Barat.
Baca juga: Vaksin Sinovac Disimpan di Suhu Dua Derajat
"Belum ada arahan pemerintah. 500 Ribu, sejuta atau 1,2 juta, kami belum tahu. Tapi urutan kita, kalau pakai saf, saf yang pertama itu tenaga kesehatan, saf keduanya TNI-Polri, saf 3 adalah mereka di zona merah," katanya.
Soal zona merah di Jabar, Kang Emil, menyebutnya sebagai kawasan berisiko tertinggi penyebaran Covid-19. Di Jabar, Kang Emil menyebut, Bogor, Depok, Bekasi dan Bandung Raya yang sering jadi zona merah.
Dalam wawancara terpisah, Sekretaris Daerah Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, vaksin akan dibagikan secara bertahap.
"Kami di Jawa Barat mempriortaskan daerah dengan yang berisiko tinggi (zona merah) dulu, bila ada kuota vaksin yang disampaikan dari pemerintah pusat," ujar Setiawan Wangsaatmaja di Hotel Pullman, Kota Bandung, Senin (7/12).
Sama seperti Kang Emil, Setiawan juga mengaku belum tahu berapa jumlah dosis yang menjadi jatah Jabar.
Baca juga: Cerita Ilmuwan Indonesia Jelang Penggunaan Vaksin Covid-19 Pfizer di Inggris
"Tetapi kalau sesuai kriteria pertama, penerima vaksin itu berusia 18-59 tahun, tidak berisiko, dan sebagainya. Dengan kriteria yang disampaikan pertama, kami paham betul ini harus ada prioritas. Jadi prioritasnya zona merah, lalu dari zona merah tersebut kita kriteriakan lagi yang paling visible berapa, misal di Bodebek 2,6 juta orang yang kita prioritaskan, kemudian di Bandung Raya," katanya.
Kata Setiawan, idealnya vaksin diberikan pada 60 persen penduduk Jabar atau sekitar 25-26 juta jiwa. Ia juga mengatakan, pemprov sudah melakukan simulasi pemberian vaksin di dua kota dan satu kabupaten.
"Karena di puskesmas space-nya terbatas, dari hasil simulasi ketahuan bahwa setiap individu yang divaksin itu memerlukan waktu 30 menit ke atas. Artinya ketika dalam waktu tunggu tersebut hadir masyarakat yang ingin divaksin lagi, itu terjadi penumpukan. Seyogyanya Pak Gubernur bilang vaksinasi ini bisa dilakukan di ruangan besar, misal gelanggang olah raga atau gedung besar lainnya," ujar Setiawan.
Baca juga: Cerita Ilmuwan Indonesia Jelang Penggunaan Vaksin Covid-19 Pfizer di Inggris
Sebelumnya diberitakan, vaksin Covid-19 Sinovac tiba di Tanah Air dari Tiongkok pada Minggu (6/12).
Untuk menjaga kualitasnya, vaksin itu dikemas menggunakan Envirotainer. Begitu tiba di Indonesia, envirotainer itu diisi ulang dayanya sebelum dibawa ke Bandung untuk disimpan di Bio Farma.
Menurut Presiden Joko Widodo, vaksin itu sudah diuji coba secara klinis di Indonesia sejak Agustus 2020. Presiden menambahkan, pada awal Januari 2021, akan datang lagi 1,8 juta dosis vaksin.
Selain itu, pemerintah juga akan mendatangkan 15 juta dosis vaksin dalam bentuk bahan baku pada Desember 2020 dan 30 juta dosis pada Januari 2021. Bahan baku vaksin itu akan diproses di Bio Farma, BUMN produsen vaksin.
"Kita amat bersyukur alhamdulillah vaksin sudah tersedia. Artinya, kita bisa mencegah meluasnya wabah Covid-19. Tapi, untuk memulai vaksinasi masih memerlukan tahapan-tahapan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)," kata Presiden.
Sebelumnya, Ketua Tim Uji Klinis Vaksin Covid-19 dari Universitas Padjadjaran, Kusnandi Rusmil, mengatakan semua relawan uji klinis fase 3 vaksin Covid-19, yakni sebanyak 1.620 orang, sudah mendapat suntikan dosis vaksin Covid-19. Sementara ini, efek samping yang ditimbulkan vaksinasi terhadap para relawan terbilang sangat rendah.
Kusnandi mengatakan uji klinis tahap ketiga vaksin dari Sinovac tersebut masih berjalan sejak diuji coba Agustus lalu. Rangkaian uji coba pun tidak singkat, melainkan melalui sejumlah tahapan dari mulai pengetesan awal, penyuntikan vaksin sebanyak dua kali, sampai empat kali pemeriksaan darah.
Sebelum diberikan suntikan dosis pertama, tuturnya, relawan diambil darahnya untuk diteliti. Pengambilan darah kembali dilakukan dua minggu setelah penyuntikan kedua, diambil darah lagi setelah tiga bulan suntikan kedua, dan terakhir diambil darah lagi enam bulan setelah suntikan kedua.
"Jadi pengambilan darah ada empat kali. Kenapa begitu, untuk melihat kemajuannya. Sebelum disuntik gimana, dua minggu setelah suntik gimana, tiga bulan setelah suntik gimana, enam bulan setelah suntik gimana. Sehingga kita bisa mengukur kadar zat anti," kata Kusnandi awal November lalu.
Uji klinis fase 3 ini, ujarnya, dilakukan di Indonesia, Brazil, Uni Emirat Arab, dan Turki. Setelah selesai uji klinis, timnya akan membuat laporan yang kemudian akan diterima oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM kemudian akan melaporkannya kepada WHO untuk dibandingkan dengan hasil uji klinis dari negara lainnya.
"WHO akan membandingkan antara yang Indonesia dengan yang Uni Emirat Arab, sama yang di Brazil dan Turki. Dan itu harus sama hasilnya. Kalau enggak sama, itu dipertanyakan. Nah biasanya kalau yang sama hasilnya, itu biasanya vaksinnya bisa digunakan secara luas," tuturnya.
Semua proses pengambilan sampel darah relawan, katanya, akan selesai pada Maret 2020. Januari 2020 dirinya baru mengambil 540 sampel darah relawan untuk dibuatkan laporan sebagiannya.
Mengenai sejumlah negara yang sudah menyelelesaikan uji klinis fase 3 pada November 2020, Kusnandi mengatakan hal tersebut disebabkan negara-negara ini lebih dulu beberapa bulan melakukan uji klinis fase 3. Sedangkan di Indonesia sendiri baru dilakukan pada awal Agustus 2020 dan akan didapat hasilnya pada Maret 2021.
Selama ini, tuturnya, telah ada 17 relawan yang mengundurkan diri. Alasannya, beberapa di antaranya mengundurkan diri karena pindah kerja sehingga akan kesulitan mendatangi lokasi vaksinasi yang kesemuanya terletak di Kota Bandung.
Ada juga relawan yang sakit, tapi sakitnya tidak berhubungan dengan imunisasi. Contohnya ada yang sakit tifus dan flu berat, sehingga relawan ini tidak bisa mengikuti injeksi kedua sesuai jadwal.
"Kalau sudah lewat (jadwal), suntikan kedua tidak bisa, kan berarti drop out. Kita perlunya yang dua kali suntik. Tapi karena dia mundur (jadwal), tidak bisa ikut suntikan kedua, jadi dia drop out. Walaupun demikian, dia tetap dipantau kesehatannya sampai akhir dan dia dapat asuransi aampai akhir," tuturnya.
Kusnandi mengatakan jika dibandingkan dengan efek samping yang ditimbulkan saat uji klinis vaksin tetanus, difteri, dan pertusis, efek samping yang dialami relawan uji klinis vaksin Covid-19 asal Sinovac Biotech Tiongkok ini tergolong lebih rendah.
"Sampai sejauh ini, dari yang sudah suntikan kedua, keluhan karena suntikan itu bisa dibilang minimal. Paling panas-panas badan sedikit, nyeri di tempat suntikan, seperti kita imunisasi biasa. Dibandingkan dengan penelitian saya waktu penelitian tetanus dan pertusis, sama yang lainnya, ini kelihatannya lebih ringan deh reaksinya," kata Kusnandi.
Kusnandi mengatakan yang mendapat efek samping ringan tersebut pun, tidak sampai 20 persennya. Efek samping tersebut juga menghilang di hari kedua sampai hari ketiga setelah penyuntikan. Demam yang dialami tidak lebih dari 38 derajat Celcius.
"Jadi di tempat suntikan demam, pada umumnya pada hari kedua atau ketiga hilang. Dan itu tidak begitu terasa. Tapi itu tidak semuanya, hanya 20 persen. jadi jangan dikatakan semuanya akan pegal atau lemas, itu hanya 20 persen yang begitu," tuturnya.
Waktu dirinya melakukan uji klinis terhadap vaksin tetanus, pertusis, dan difteri, Kusnandi mengatakan efek samping yang dirasakan relawannya lebih tinggi dari yang dirasakan relawan vaksin Covid-19. Terutama dalam hal tinggi suhu demam pada tubuh relawan.
Untuk melihat efek samping dari sebuah vaksin, ujar Kusnandi, ada dua hal yang diperhatikan. Yakni reaksi lokal dan sistemik. Reaksi lokal seperti berupa kulit kemerahan dan bengkak di bekas suntikan. Sedangkan efek sistemik berupa panas badan, lemas, dan gatal-gatal. (tribun jabar)