Tahun Baru Islam 1447 H
Mengulik Ritual Berebut Kotoran Sapi Kyai Slamet di Malam 1 Suro, Dipercaya Membawa Berkah
Konon, kotoran yang dikeluarkan oleh kerbau keramat ini menjadi rebutan masyarakat yang hadir, karena dipercaya membawa berkah dan keselamatan.
Penulis:
Bobby W
Editor:
Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Jatuhnya Tahun Baru Islam yang kali ini tiba pada hari Jumat (27/6/2025) kerap menghadirkan berbagai macam tradisi unik khususnya bagi masyarakat Jawa.
Di wilayah Solo, Jawa Tengah, tiap tahunnya pihak Keraton Surakarta menggelar berbagai ritual tradisional di malam pergantian Tahun Baru Islam yang kerap juga dikenal dengan Kirab Malam Satu Suro.
Salah satu rangkaian paling dinantikan dalam tradisi Malam 1 Suro ini adalah prosesi penyambutan kirab Kebo Bule atau kerbau putih bernama Kyai Slamet.
Konon, kotoran yang dikeluarkan oleh kerbau keramat ini menjadi rebutan masyarakat yang hadir, karena dipercaya membawa berkah dan keselamatan.
Kenapa masyarakat Jawa khususnya bagi warga Surakarta memercayai hal berikut?
Berikut penjelasan selengkapnya:
Asal-usul Kirab Kebo Bule Kyai Slamet
Dikutip dari berbagai sumber, Kebo Bule merupakan simbol kesucian dan penjaga pusaka Keraton Surakarta.
Menurut cerita turun-temurun, kerbau ini dianggap sebagai salah satu komponen yang penting dalam kirab benda-benda sakral milik keraton.
Hal ini dibenarkan oleh Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta, Kanjeng Winarno Kusumo.
Menurut Winarno, Kebo Bule Kyai Slamet memiliki sejarah yang panjang.
Baca juga: Jadwal dan Rute Mubeng Beteng Malam 1 Suro 2025 Keraton Yogyakarta, Diawali dari Bangsal Ponconiti
Nama Kyai Slamet awalnya merujuk pada sebuah pusaka berupa tombak yang dimiliki keraton.
Pada masa Pakubuwono X (1893–1939), terdapat tradisi membawa pusaka tersebut keliling tembok Baluwarti setiap Selasa dan Jumat Kliwon, di mana kebo bule selalu mengikutinya.
Tradisi ini terus dilanjutkan oleh kerabat keraton, hingga akhirnya kerbau tersebut diberi nama Kebo Kyai Slamet.
Winarno menjelaskan bahwa keberadaan kebo bule ini juga terkait sejarah pemberian dari Bupati Ponorogo sebagai persembahan setelah Pakubuwono II berhasil merebut kembali Keraton Kartasura dari pemberontak Pecinan pada 1745.
Setelah PB II memilih hijrah ke desa Sala, Bupati Ponorogo mengirim kerbau bule untuk dipotong, dan keturunannya berkembang hingga kini.
Dalam tradisi Jawa, kerbau juga melambangkan rakyat kecil, terutama petani, serta simbol ketahanan agraris Indonesia.
Binatang ini juga dianggap mampu menolak bencana dan mengusir roh jahat.
Meski begitu, terdapat ungkapan "bodho plonga-plongo koyo kebo" (bodoh tengak-tengok seperti kerbau), mengingatkan manusia untuk tidak mudah tergoda dan tetap bijaksana.
Pada perayaan Satu Suro sendiri, kehadiran Kebo Kyai Slamet sangat dinantikan masyarakat.
Selain warga Solo, banyak pula dari daerah lain yang ikut kirab, termasuk mereka yang rela berebut air bekas memandikan kebo atau kotorannya untuk dijadikan benda bertuah.
Ritual kirab ini tidak hanya bertujuan untuk melestarikan budaya, tetapi juga sebagai bentuk syukur atas limpahan rezeki serta perlindungan dari bencana .
Sebelum kirab dimulai, terdapat upacara adat di mana dua ember diletakkan di hadapan Kebo Bule: satu berisi air putih dan satu lagi berisi kopi.
Konon, jika kerbau memilih meminum air putih, hal ini diartikan sebagai pertanda baik bagi kelancaran acara dan kesejahteraan masyarakat.
Rebutan Kotoran sebagai Simbol Keberkahan

Saat kirab berlangsung, ribuan warga berdesakan mengikuti perjalanan Kebo Bule.
Saat kerbau mengeluarkan kotoran, massa langsung berebut untuk mengambilnya.
Kotoran tersebut biasanya dibawa pulang dan disimpan sebagai "jimat" yang dipercaya bisa mendatangkan rezeki, kesehatan, atau bahkan perlindungan dari marabahaya.
Mitos ini telah berkembang selama bertahun-tahun.
Banyak yang meyakini bahwa kotoran Kebo Bule mengandung energi spiritual dari leluhur keraton.
Meski terdengar unik, tradisi ini tetap dihormati sebagai bagian dari identitas budaya Jawa yang kental dengan nuansa mistis dan kepercayaan lokal.
Kontroversi Tradisi Kotoran Kyai Slamet

Meski populer, tradisi rebutan kotoran ini sempat menuai kritik, terutama terkait keamanan dan kenyamanan peserta kirab.
Selain itu dari segi agama, banyak yang menilai tradisi tersebut mengandung unsur kemusyrikan bila ditilik dari pandangan kaum muslim.
Namun, pihak keraton bersikeras bahwa ritual ini harus dilestarikan sebagai warisan sejarah yang sarat makna filosofis.
Menurut mereka, setiap elemen dalam kirab ;termasuk kotoran Kebo Bule; melambangkan keterhubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Hingga kini, Kirab Malam Satu Suro tetap menjadi daya tarik wisata budaya di Solo.
Selain masyarakat lokal, wisatawan dari berbagai daerah juga datang untuk menyaksikan momen langka ini, sekaligus merasakan sendiri nuansa magis yang menyelimuti tradisi rebutan kotoran Kebo Bule Kyai Slamet.
(Tribunnews.com/Bobby)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.