Keseimbangan Konservasi dan Restorasi Hutan Penting untuk Menghadapi Krisis Deforestasi
Data Kementerian KLHK, jutaan hektare hutan hilang dalam beberapa dekade terakhir akibat alih fungsi lahan, kebakaran, dan pembalakan liar.
Penulis:
Eko Sutriyanto
Editor:
Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga kelestarian hutan tropis, salah satu aset lingkungan terbesar di dunia.
Hutan tropis Indonesia bukan hanya paru-paru dunia, tetapi juga rumah bagi ribuan spesies endemik dan penopang kehidupan jutaan masyarakat adat dan lokal.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, jutaan hektare hutan hilang dalam beberapa dekade terakhir akibat alih fungsi lahan, kebakaran, dan pembalakan liar.
Baca juga: Penyu-lamat 2025: Aksi Sukarelawan Karyawan Telkom Edukasi Sampah dan Konservasi Penyu di Yogyakarta
Kerusakan ini menimbulkan dampak berlapis: habitat satwa langka kian terancam, cadangan air menurun, dan emisi karbon meningkat yang memperparah krisis iklim.
Di tengah situasi ini, konservasi dan restorasi hutan dipandang sebagai strategi utama.
Konservasi berfungsi menjaga hutan primer yang tersisa agar tidak semakin tergerus, sementara restorasi berfokus memulihkan kawasan yang sudah terdegradasi.
Pakar lingkungan menekankan pentingnya menjalankan keduanya secara seimbang dan keberhasilan konservasi dan restorasi tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan masyarakat.
Model community-based forest management terbukti lebih berkelanjutan karena memberikan hak kelola kepada masyarakat lokal dan adat.
Sebagai imbalannya, mereka juga mendapat manfaat langsung, seperti hasil hutan bukan kayu (madu, rotan, gaharu), pengembangan ekowisata, hingga peluang dari skema perdagangan karbon.
Program semacam ini tidak hanya memperkuat kesejahteraan, tetapi juga menciptakan insentif agar masyarakat menjadi garda depan pelindung hutan.
Di tingkat kebijakan, pemerintah memperkuat tata ruang, menetapkan target penurunan emisi, serta mendorong program restorasi gambut dan mangrove. Dukungan teknologi modern ikut mempercepat upaya ini.
Pemantauan satelit, penggunaan drone, hingga kecerdasan buatan (AI) kini dimanfaatkan untuk mendeteksi perubahan tutupan lahan secara real-time, sehingga potensi pelanggaran dapat ditindak lebih cepat.
Dunia usaha juga mulai mengambil peran lebih nyata. APP Group, misalnya, meluncurkan platform Regenesis yang berfokus pada konservasi dan restorasi hutan tropis serta keanekaragaman hayati.
Dengan komitmen pendanaan 30 juta dolar AS per tahun selama 10 tahun, perusahaan menargetkan perlindungan dan pemulihan 1 juta hektare ekosistem kritis.
“Dengan peluncuran Regenesis, kami tidak sekadar menjaga hutan, tetapi juga aktif memulihkannya. Ini langkah menuju model regeneratif yang memastikan ketahanan ekosistem sekaligus memberi manfaat bagi komunitas,” ujar Elim Sritaba, Chief Sustainability Officer APP Group dalam keterangannya, Rabu (10/9/2025).
Sebagai tonggak utama, APP juga memperkenalkan Forest Positive Policy dengan tiga pilar: melestarikan dan memulihkan hutan, memberdayakan komunitas sekitar, serta menanamkan prinsip keberlanjutan di rantai pasok.
Untuk menjamin hasil nyata, APP menyiapkan unit restorasi khusus, panel penasihat independen, serta sistem pemantauan transparan.
Respons Positif dari Organisasi Lingkungan
Langkah APP mendapat perhatian dari sejumlah organisasi lingkungan. Aditya Bayunanda, CEO WWF Indonesia, menilai komitmen pendanaan tersebut memberi harapan baru.
“Komitmen pendanaan ini sangat penting. Kita tahu prosesnya tidak murah dan tidak mudah. Konservasi adalah isu jangka panjang dan kompleks, terutama di Sumatra dengan banyak komunitas. Langkah APP memberi saya optimisme karena mereka berani menaruh uang sesuai komitmen,” katanya.
Direktur Regional Asia Tenggara Tropical Forest Alliance (World Economic Forum), Rizal Algamar mengingatkan bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari luas area hutan.
“Yang terpenting adalah kesehatan ekosistem dan komunitas di sekitarnya. Karena itu, kita perlu terlibat sejak awal, bersama masyarakat, LSM, dan pemimpin lokal. Legitimasi sejati berakar pada inklusi dan kepemilikan bersama,” ujarnya.
Kombinasi kebijakan pemerintah, keterlibatan masyarakat, dukungan teknologi, serta kontribusi sektor swasta menjadi kunci agar Indonesia mampu menghadapi krisis deforestasi.
Kolaborasi lintas sektor ini diyakini dapat menjaga hutan tropis tetap lestari sekaligus memulihkan kawasan yang rusak, sehingga manfaat ekologis, sosial, dan ekonomi dapat dirasakan oleh generasi mendatang.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Bantah Deforestasi, Menteri Kehutanan Jelaskan Maksud Program 20 Juta Hektare Hutan Cadangan |
![]() |
---|
Indonesia Hadapi Tantangan Pelestarian Hutan |
![]() |
---|
Kepala Studi Sawit IPB: Banyak Kawasan Hutan yang Tidak Berhutan Bisa Ditanami Sawit |
![]() |
---|
Beri Dukungan Penuh, Pemerintah Norwegia Apresiasi Penurunan Deforestasi di Indonesia |
![]() |
---|
5 Tantangan dan Solusinya Perangi Deforestasi di Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.