TKDN 81,37 Persen, BPPT Dorong Hilirisasi Alat Radiografi Digital Berbasis AI
DDR Madeena juga diharapkan menjadi salah satu produk inovasi yang mendorong kemandirian Indonesia dalam menangani Covid-19.
Penulis:
Fitri Wulandari
Editor:
Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat Indonesia masih menunjukkan ketergantungan pada alat kesehatan (alkes) impor, Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk Penanganan Covid-19 (TFRIC-19) kini mencoba untuk mendorong hilirisasi alat radiografi digital yang disebut 'Direct Digital Radiography (DDR) Madeena'.
Inovasi berbasis kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI) ini diharapkan bisa menjadi salah satu produk alkes yang mendukung substitusi impor.
Tidak hanya itu, DDR Madeena juga diharapkan menjadi salah satu produk inovasi yang mendorong kemandirian Indonesia dalam menangani Covid-19.
Baca juga: BPPT Ajak Industri Kembangkan Generator Oksigen dan Oksigen Konsentrator
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan bahwa untuk menuju hilirisasi, ada tantangan yang harus dihadapi dalam mendorong produk inovasi ini agar bisa sampai pada tahap komersialisasi.
"Upaya mengantarkan produk teknologi DDR ke pasar bukan tanpa tantangan, justru salah satu tantangan utama dalam sebuah proses inovasi adalah pada tahapan difusi dan komersialisasi," ujar Hammam, dalam webinar bertajuk 'Kemandirian Alat Kesehatan Melalui Produk Inovasi Direct Digital Radiography (DDR)', Kamis (29/7/2021).
Hammam kemudian menekankan bahwa DDR memiliki potensi untuk menjadi produk inovasi yang 'mendobrak batas' bahwa karya anak bangsa juga bisa merambah ke pasar internasional.
"Kita ingin menjadikan DDR ini sebagai success story dari karya ide seorang inovator dalam negeri yang mampu menghentakkan bukan hanya pasar domestik, tapi juga pasar global, ini jadi momentum kita mengangkat inovasi Indonesia," kata Hammam.
Baca juga: BPPT Salurkan Produk Inovasinya untuk Penanganan Covid-19, Ventilator hingga Tes Reagen PCR
Pada kesempatan yang sama, Founder sekaligus Inovator PT Madeena Karya Indonesia, Gede Bayu Suparta menyampaikan bahwa inovasi ini sengaja dihadirkan untuk menjadi pilihan bahwa teknologi untuk alkes 'tidak harus mahal'.
"Indonesia belum memiliki alat radiografi digital yang cukup banyak untuk melihat paru-paru, yang ada saat ini adalah PCR (Polymerase Chain Reaction) test yang harganya jauh lebih mahal dibanding alat radiografi digital itu sendiri," kata Bayu.
Sementara itu, Perekayasa Madya Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi BPPT Ermawan DS mengatakan bahwa terkait Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) inovasi alat radiografi digital ini diperkirakan mencapai 81,37 persen.
"Prediksi TKDN sangat tinggi, 81,37 persen," kata Ermawan.
Baca juga: VIRAL Diduga Meteor Jatuh di Puncak Gunung Merapi, CCTV BPPTKG Juga Tangkap Kilatan Cahaya
Sebelumnya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) saat ini tengah mengembangkan alat radiografi sinar-x yang disebut 'Direct Digital Radiography (DDR) Madeena', sebagai inovasi alat kesehatan (alkes) yang bisa mendukung substitusi impor.
Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan bahwa inovasi yang tengah masuk dalam tahap pengembangan ini memiliki kegunaan sebagai alat penentu status pasien terpapar virus corona (Covid-19) untuk tingkatan ringan (mild), sedang (moderate) atau berat (severe).
"Dalam gelombang Covid yang kedua ini, BPPT juga sedang mengembangkan Direct Digital Radiography Madeena, sebuah alat radiografi sinar-x (x-ray) yang memungkinkan menentukan status pasien terpapar Covid-19," kata Hammam, dalam keterangan resminya, Sabtu (10/7/2021).
Perlu diketahui, berdasar pada data yang dimiliki Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), terdapat 8.000 alat rontgen (x-ray) yang tersebar di berbagai fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) di Indonesia.
6.000 diantaranya merupakan alat rontgen konvensional yang berpotensi digantikan DDR.
Namun terdapat sejumlah pertimbangan yang membuat DDR tidak dipilih banyak fasyankes di Indonesia, satu diantaranya karena alat rontgen ini memiliki harga yang cukup mahal.
Mirisnya, mayoritas rumah sakit yang memiliki DDR ini memasok alat kesehatan (alkes) tersebut justru melalui impor.
Sehingga penting untung mengembangkan inovasi alkes karya anak bangsa ini sebagai substitusi impor.
"Harga DDR yang mahal menjadi salah satu alasan banyak fasyankes yang belum beralih ke alat rontgen modern ini. Sementara selama ini sebagian besar kebutuhan DDR rumah sakit di Indonesia dipasok oleh produk impor berbagai merek," tegas Hammam.
Ia menjelaskan bahwa melalui citra radiografi format digital yang dihasilkan DDR Madeena, memungkinkan diterapkannya kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI) untuk mempercepat dokter radiologis dalam memperoleh alternatif keputusan diagnostik.
"Formasi DDR Madeena akan dikembangkan menjadi platform pengembangan layanan radiografi digital regional maupun nasional yang menghubungkan suatu jaringan antar rumah sakit, sehingga pelayanan pasien dapat dilakukan secara cepat, efisien, efektif dan produktif," jelas Hammam.
Nantinya, pasien dapat diarahkan menuju fasilitas DDR terdekat untuk mendapatkan layanan radiografi.
Kemudian citra pasien yang dihasilkan, akan dikirimkan ke cloud server untuk selanjutnya diakses oleh dokter radiologis melalui jaringan pusat layanan kesehatan.
Melalui sistem kerja ini, mobilitas pasien dan dokter pun dapat direduksi.
Hammam pun menekankan bahwa hilirisasi inovasi teknologi alkes seharusnya kembali dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggi terhadap bidang kesehatan di masa pandemi ini.
Tentunya ini juga menjadi momentum bagi industri kesehatan lokal dalam mengutamakan penggunaan alkes yang memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi.
"Sudah sepatutnya ekosistem inovasi, khususnya dalam penanganan Covid-19 dapat kembali hadir dengan produk inovasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu memicu tumbuhnya industri kesehatan lokal dengan nilai tingkat kandungan dalam negeri yang tinggi," pungkas Hammam.