Selasa, 9 September 2025

Fenomena Astronomis Desember 2021 Pekan Kedua: Puncak Hujan Meteor Monocerotid hingga Geminid

Berikut beberapa fenomena astronomis bulan Desember 2021 yang dirilis oleh LAPAN pada pekan kedua, ada Puncak Hujan Meteor Monocerotid hingga Geminid.

Editor: Arif Fajar Nasucha
Instagram LAPAN
Berikut beberapa fenomena astronomis bulan Desember 2021 yang dirilis oleh LAPAN pada pekan kedua, ada Puncak Hujan Meteor Monocerotid hingga Geminid. 

TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini beberapa fenomena astronomis bulan Desember 2021 yang dirilis oleh LAPAN pada pekan kedua.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah merilis kalender astronomi bulan Desember 2021.

Kalender ini menginformasikan fenomena astronomis yang akan terjadi pada bulan Desember 2021 pekan kedua, yakni tanggal 9-15 Desember 2021.

Baca juga: Kaleidoskop 2021 - Fenomena Astronomi: Gerhana Bulan Total, Hujan Meteor Orionid, Nadir Kabah

Baca juga: Fenomena Astronomis Bulan Desember 2021 Pekan Kedua: Terjadinya Fase Bulan Perbani Awal

LAPAN juga menginformasikan fenomena astronomis ini melalui akun Instagramnya, @lapan_ri.

Berikut ini Fenomena Astronomis Desember 2021 pekan kedua yang dikutip dari Edukasi Sains Antariksa LAPAN.

1. Puncak Hujan Meteor Monocerotid: 9-10 Desember 2021

Puncak Hujan Meteor Monocerotidd
Puncak Hujan Meteor Monocerotid (Edukasi Sains Antariksa LAPAN)

Monocerotid adalah hujan meteor minor yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat konstelasi Monoceros yang berbatasan dengan konstelasi Orion dan Gemini.

Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu asteroid 2004 TG10 yang mengorbit Matahari dengan periode 3,34 tahun dan juga menjadi sumber bagi hujan meteor Taurid Utara.

Hujan meteor ini dapat disaksikan sejak pukul 19.40 waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur hingga Barat.

Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia mencapai 1,9-2 meteor/jam (Sabang hingga P. Rote).

Hal ini karena titik radian berkulminasi pada ketinggian 71°-88° pada arah utara, sementara intensitas hujan meteor saat di zenit sebesar 2 meteor/jam.

Pastikan cuaca cerah dan bebas dari penghalang maupun polusi cahaya di sekitar medan pandang.

Hal ini dikarenakan intensitas hujan meteor ini berbanding lurus dengan 100% minus persentase tutupan awan dan berbanding terbalik dengan skala Bortle (skala yang menunjukkan tingkat polusi cahaya, semakin besar skalanya maka semakin besar polusi cahaya yang timbul).

2. Puncak Hujan Meteor Chi-Orionid: 10-11 Desember 2021

Puncak Hujan Meteor Chi-Orionidd
Puncak Hujan Meteor Chi-Orionid (Edukasi Sains Antariksa LAPAN)

Chi-Orionid adalah hujan meteor minor yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat bintang Chi-Orionis konstelasi Orion.

Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu asteroid 2004 TG10 yang mengorbit Matahari dengan periode 3,35 tahun.

Hujan meteor ini dapat disaksikan sejak awal senja astronomis (50 menit setelah terbenam Matahari) waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur hingga Barat.

Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia mencapai 2,5-2,9 meteor/jam (Sabang hingga P. Rote).

Hal ini karena titik radiannya berkulminasi pada ketinggian 59°-76° di arah utara, sementara intensitas hujan meteor saat di zenit sebesar 3 meteor/jam.

Pastikan cuaca cerah dan bebas dari penghalang maupun polusi cahaya di sekitar medan pandang.

Hal ini karena intensitas hujan meteor ini berbanding lurus dengan 100% minus persentase tutupan awan dan berbanding terbalik dengan skala Bortle (skala yang menunjukkan tingkat polusi cahaya, semakin besar skalanya maka semakin besar polusi cahaya yang timbul).

Intensitas hujan meteor ini juga akan sedikit berkurang dikarenakan Bulan yang berada di sekitar zenit saat titik radian sedang terbit.

3. Fase Bulan Perbani Awal: 11 Desember 2021

Fase Bulan Perbani Awall
Fase Bulan Perbani Awal (Edukasi Sains Antariksa LAPAN)

Fase perbani awal adalah salah satu fase Bulan ketika konfigurasi antara Matahari, Bumi dan Bulan membentuk sudut siku-siku (90°) dan terjadi sebelum fase Bulan purnama.

Puncak fase perbani awal terjadi pada pukul 08.35.33 WIB / 09.35.33 WITA / 10.35.33 WIT.

Sehingga, Bulan perbani awal ini sudah dapat disaksikan sejak terbit saat tengah hari dari arah Timur, berkulminasi di zenit (untuk lintang 6°-7°LS) setelah terbenam Matahari dan kemudian terbenam di arah Barat setelah tengah malam.

Bulan berjarak 386.568 km dari Bumi saat puncak fase perbani awal dan berada di sekitar konstelasi Akuarius.

4. Komet C/2021 A1 (Leonard) Melintas Dekat Bumi: 12 Desember 2021

Komet C/2021 A1
Orbit Komet C/2021 A1 (Leonard) saat Melintas Dekat Bumi (Edukasi Sains Antariksa LAPAN)

Komet C/2021 A1 Leonard adalah komet berperiode panjang yang ditemukan oleh G.J. Leonard di Observatorium Mount Lemmon pada 3 Januari 2021.

Periode orbit komet ini mencapai 80.000 tahun dengan kemiringan orbit 132,68° atau bergerak secara retrograd.

Komet ini akan melintas dekat Bumi pada 12 Desember dengan jarak terdekatnya dari Bumi sejauh 0,233 satuan astronomi (sa) atau 34.857.000 km.

Saat melintas dekat Bumi, magnitudo komet Leonard mencapai +1,2 yang menandakan bahwa komet ini dapat disaksikan tanpa menggunakan alat bantu optik.

Sayangnya, komet ini hanya dapat disaksikan oleh wilayah pada lintang 29°LU atau lebih tinggi dari arah timur dekat konstelasi Ofiukus.

Sehingga, komet ini tidak dapat disaksikan di lintang rendah dan belahan selatan, termasuk Indonesia.

Komet ini akan mencapai perihelion pada 3 Januari 2022 dengan jarak 0,615 sa atau 92 juta km dari Matahari dengan magnitudo +5,8 yang menandakan bahwa komet ini hanya dapat disaksikan tanpa menggunakan alat bantu optik jika cuaca benar-benar cerah.

5. Puncak Hujan Meteor Sigma-Hydrid: 12-13 Desember 2021

Puncak Hujan Meteor Sigma-Hydridd
Puncak Hujan Meteor Sigma-Hydrid (Edukasi Sains Antariksa LAPAN)

Sigma-Hydrid adalah hujan meteor minor yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat bintang Sigma Hydrae konstelasi Hydra yang berbatasan dengan konstelasi Monoceros.

Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu benda langit yang tidak diketahui dan pertama kali diamati oleh Richard E. McCrosky dan Annette Posen.

Hujan meteor ini dapat disaksikan sejak pukul 21.15 waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur hingga Barat.

Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia berkisar 2,9-3 meteor/jam (Sabang hingga P. Rote).

Hal ini karena titik radian berkulminasi pada ketinggian 77°-90° arah utara dan 86°-90° arah selatan, sedangkan intensitas hujan meteor saat di zenit sebesar 3 meteor/jam.

Pastikan cuaca cerah dan bebas dari penghalang maupun polusi cahaya di sekitar medan pandang.

Hal ini karena intensitas hujan meteor ini berbanding lurus dengan 100% minus persentase tutupan awan dan berbanding terbalik dengan skala Bortle (skala yang menunjukkan tingkat polusi cahaya, semakin besar skalanya maka semakin besar polusi cahaya yang timbul).

6. Puncak Hujan Meteor Geminid: 14-15 Desember 2021

Puncak Hujan Meteor Geminidd
Puncak Hujan Meteor Geminid (Edukasi Sains Antariksa LAPAN)

Geminid adalah hujan meteor utama yang titik radiannya (titik asal kemunculan meteor) berada di dekat bintang Alfa Geminorum (Castor) konstelasi Gemini.

Hujan meteor ini bersumber dari sisa debu asteroid 3200 Phaethon (1983 TB) yang mengorbit Matahari yang mengorbit Matahari dengan periode 523,6 hari.

Hujan meteor Geminid dapat disaksikan sejak pukul 20.30 waktu setempat hingga keesokan harinya saat akhir fajar bahari (25 menit sebelum terbenam Matahari) dari arah Timur Laut hingga Barat Laut.

Intensitas hujan meteor ini untuk Indonesia berkisar 86 meteor/jam (Sabang) hingga 107 meteor/jam (P. Rote).

Hal ini dikarenakan titik radian berkulminasi pada ketinggian 46°-63° arah utara, sedangkan intensitas hujan meteor saat di zenit sebesar 120 meteor/jam.

Pastikan cuaca cerah dan bebas dari penghalang maupun polusi cahaya di sekitar medan pandang.

Hal ini dikarenakan intensitas hujan meteor ini berbanding lurus dengan 100% minus persentase tutupan awan dan berbanding terbalik dengan skala Bortle (skala yang menunjukkan tingkat polusi cahaya, semakin besar skalanya maka semakin besar polusi cahaya yang timbul).

Intensitas hujan meteor ini juga akan sedikit berkurang karena Bulan berada di dekat zenit saat titik radian sedang terbit.

(Tribunnews.com/Kristina Wulandari)

Baca juga berita lainnya terkait Fenomena Astronomis

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan