Kasus Ratna Sarumpaet
Ekspresi Atiqah Hasiholan Saat Temani Ratna Sarumpaet Sidang Putusan
Atiqah Hasiholan yang terus menemani sang ibu menunjukkan wajah tegang dan memilih irit bicara kepada media.
Editor:
Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ratna Sarumpaet tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ditemani sang putri Atiqah Hasiholan pada Kamis (11/7/2019) pukul 09.00.
Hari ini, Ratna dijadwalkan akan hadapi putusan hakim atas kasus yang didakwakan kepadanya yakni soal penyebar informasi bohong atau hoaks.
Atiqah Hasiholan yang terus menemani sang ibu menunjukkan wajah tegang dan memilih irit bicara kepada media.
Sambil sesekali nenolak wawancara wartawan dengan senyumnya, ia terus berjalan, di depan ibunya, menuju ruang tunggu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sementara itu, kepada media, Ratna berharap hakim memberikan vonis bebas kepada dirinya lantaran ia menilai tidak ada fakta hukum yang menunjukkan bahwa ia bersalah.
Baca: Diperiksa sebagai Tersangka, Rey Utami dan Pablo Benua Siapkan Alibi
Baca: Kata Farhat Abbas Soal Status Tersangka Rey Utami dan Pablo Benua, Belum Ditahan dan Masih Diperiksa
"Saya berharap keadilan muncul di vonis ini, karena kalo dalam fakta-fakta persidangan yang saya lalui saya rasa kalian (wartawan) juga mengikuti tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa saya bersalah secara hukum. Jadi, harapan saya bebas dong," ujar Ratna saat menberikan
"Jadi kalo itu betul-betul diikuti oleh majelis hakim, berarti kita punya kemajuan, punya harapan membuat Indonesia sebagai negara hukum yang benar," imbuh Ratna.
Baca: Tanpa Kata, Atiqah Hasiholan Hanya Terdiam Saat Dampingi Ratna Sarumpaet di Sidang Putusan
Sidang yang sebelumnya dijadwalkan dimulai pukul 08.30, hingga berita ini ditulis pukul 09.25 belum dimulai.
Sebelumnya, Ratna Sarumpaet dituntut 6 tahun penjara sesuai yang diatur dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

Jaksa menyakini Ratna telah membuat keonaran lewat berita bohong penganiayaan.
Ratna disebut sengaja membuat kegaduhan lewat cerita dan foto-foto wajah yang lebam dan bengkak yang ia akui karena penganiayaan.
Padahal, wajah lebam dan bengkak adalah hasil operasi medik yang ia jalani di sebuah klinik di Jakarta Pusat.
Rangkaian kebohongan dilakukan Ratna lewat pesan WhatsApp, termasuk dengan menyebarkan foto-foto wajah yang lebam yang diambil saat ia menjalani rawat inap.
Saat menjalani sidang dengan agenda pembacaan pembelaan atau pledoi, Selasa (18/6), Ratna menangis.
Di saat membacakan pembelaannya, Ratna sempat mencurahkan isi hatinya.
Dia mengutarakan betapa berat hari yang dilaluinya setelah mengakui kebohongan yang dia buat.
Menurut Ratna, ia menjalani sanksi sosial yang begitu berat.
"Akibat kebohongan itu saya menerima sanksi sosial yang begitu berat dari masyarakat. Saya disebut Ratu Bohong," kata Ratna sambil terus terisak.
Kuasa Hukum Protes Ratna Sarumpaet Dituntut Hukuman Lebih Berat dari Koruptor
TIM penasihat hukum terdakwa Ratna Sarumpaet keberatan terhadap tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung, kepada kliennya.
Ratna Sarumpaet dituntut enam tahun penjara, karena dianggap memenuhi unsur menyebarkan hoaks yang mengakibatkan keonaran.
Hal itu seperti diatur pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana.
MN Insank Nasruddin, anggota tim penasihat hukum Ratna Sarumpaet, menilai tuntutan yang dilayangkan JPU itu lebih berat daripada hukuman kepada koruptor.
Apalagi, kata dia, mengingat usia Ratna Sarumpaet yang akan mencapai 70 tahun pada 16 Juli mendatang.
"Di usia ke-70 tahun ini terdakwa masih diharuskan menghadapi tuntutan hukum yang sangat berat, bahkan lebih berat dari tuntutan seorang pelaku korupsi," kata Insank.
Hal itu ia katakan saat memberikan jawaban atau duplik, untuk menanggapi replik yang dibacakan JPU di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (25/6/2019).
"Hanya karena cerita penganiayaan dan pengiriman foto dengan wajah lebam yang disampaikan ke beberapa orang ternyata adalah tidak benar," sambung Insank.
Dia menjelaskan, di persidangan itu terungkap fakta, terdakwa menceritakan peristiwa penganiayaan dirinya bukan kepada publik, melainkan hanya kepada keluarga dan tema-temannya.
Dengan maksud, untuk menutupi rasa malu dan bukan bertujuan supaya terjadi kerusuhan atau keonaran di kalangan rakyat.
Menurut dia, telah menjadi fakta persidangan juga tidak ada keonaran akibat dari cerita penganiayaan terhadap terdakwa.
Sehingga, menurutnya pada persidangan tidak terbukti terdakwa melanggar pasal XIV ayat (1) Undang – undang Nomor 1 tahun 1946.
"Karena tidak ada satu pun dari perbuatan terdakwa yang memenuhi unsur-unsur delik dari pasal tersebut."
"Yakni dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat," tuturnya.
Dia menegaskan, tiada kesinambungan secara hukum atau irasional, antara tuntutan enam tahun penjara dengan perbuatan terdakwa yang sebetulnya bukan sebuah perbuatan pidana.
Sehingga, kata dia, patut diduga kasus ini cenderung dipaksakan sebagai upaya untuk membungkam seorang Ratna Sarumpaet, yang selalu kritis kepada pemerintah sebagai seorang aktivis demokrasi.
"Hal ini dibuktikan dengan pasal yang digunakan adalah pasal yang seharusnya dipakai dalam keadaan genting atau tidak normal."
"Yang tercatat dalam sejarah tidak pernah diterapkan sejak Indonesia merdeka, sehingga dapat dikategorikan sebagai pasal basi yang dalam hukum pidana disebut desuetudo atau nonusus," paparnya.

Dituntut Enam Tahun
Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong alias hoaks Ratna Sarumpaet, dengan hukuman enam tahun pidana penjara.
Tuntutan tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2019).
Dalam pertimbangan yang memberatkan, JPU menyatakan Ratna Sarumpaet dianggap sebagai intelektual dan punya kemampuan berbicara yang baik.
Namun, dia telah melakukan hal yang tidak baik.
"Terdakwa dinilai sebagai orang yang berintelektual, berusia lanjut, dan punya kemampuan public speaking, tetapi tidak berbuat baik," kata JPU Daroe Tri Sadono saat membacakan surat tuntutan terhadap Ratna Sarumpaet.
Dengan posisi Ratna Sarumpaet yang dianggap sebagai intelektual dan tokoh, kebohongan Ratna Sarumpaet dinilai jaksa dapat mempengaruhi masyarakat.
Pertimbangan yang meringankan, Ratna Sarumpaet mau mengakui perbuatannya dan meminta maaf.
Ratna Sarumpaet dinilai bersalah oleh jaksa penuntut karena menyebarkan berita bohong terkait dirinya menjadi korban penganiaan.
"Terdakwa Ratna Sarumpaet terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan ke masyarakat,” papar Daore.
Jaksa menganggap Ratna Sarumpaet telah melanggar pasal pidana yang diatur dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana soal penyebaran berita bohong.
Majelis hakim dalam persidangan kasus itu memberikan kesempatan kepada kuasa hukum mengajukan pleidoi pada Selasa mendatang.
Sebelumnya, Ratna Sarumpaet, terdakwa kasus dugaan penyiaran berita bohong yang menerbitkan keonaran, meminta maaf kepada majelis hakim yang memeriksa perkaranya, karena kurang konsisten ketika memberikan keterangan di pengadilan.
Hal itu disampaikan Ratna Sarumpaet di pengujung persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (14/5/2019).
"Saya minta maaf Yang Mulia, bikin banyak tersendat, karena saya kurang konsisten, di awal agak gagap," kata Ratna Sarumpaet.
Ia ingin agar dirinya yang merupakan tokoh publik dan aktivis, tidak disamakan dengan pejabat publik yang tidak boleh bohong.
Ia pun ingin agar pendapatnya tersebut dicatat.
"Tapi saya ingin dicatat, bahwa saya ini jangan disamakan pejabat publik dengan public figure. Saya aktivis yang dikenal karena pekerjaannya," ujar Ratna Sarumpaet.
Ketua majelis hakim Joni kemudian bertanya kepada Ratna Sarumpaet perihal siapa yang menyamakan Ratna Sarumpaet dengan pejabat publik.
"Tidak. Dicatat saja. Karena ini hubungannya dengan kesalahan. Pejabat publik tidak boleh salah, tidak boleh bohong," jawab Ratna Sarumpaet.
"Public figure boleh bohong?" Tanya Joni.
"Boleh," jawab Ratna Sarumpaet.
"Norma apa yang dipakai itu?" Tanya Joni.
"Norma yang dibilang sama ahli, itu orang boleh bohong. Tapi kalau dalam konteks pejabat kedudukannya melakukan kebohongan," jelas Ratna Sarumpaet.
"Anak boleh bohong?" Tanya Joni lagi.
"Boleh, kita jewer nanti dia," jawab Ratna Sarumpaet.
"Kan dijewer ada sanksinya itu?" Tanya Joni kembali.
"Dijewer dengan sayang," jawab Ratna Sarumpaet.
"Tahu dia dijewer dengan sayang? Sini mamah jewer dengan sayang, begitu?" tanya Joni.
"Kan habis dijewer dicium. Terima kasih Yang Mulia," jawab Ratna Sarumpaet yang kemudian disambut tawa sejumlah hadirin persidangan.
Joni pun menjawab bahwa pendapat itu adalah hak Ratna Sarumpaet.
"Itu hak Saudara," ucap Joni. (*)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Wajah Atiqah Hasiholan Tegang Jelang Sidang Putusan Ratna Sarumpaet, https://wartakota.tribunnews.com/2019/07/11/wajah-atiqah-hasiholan-tegang-jelang-sidang-putusan-ratna-sarumpaet?page=all.