UU Hak Cipta
Armand Maulana dan BCL Akui Masih Bingung Soal Royalti dan Performing Rights
Deretan musisi ternama Indonesia masih terus menyuarakan keresahan mereka terhadap ketidakjelasan hukum dalam industri musik tanah air.
Penulis:
Bayu Indra Permana
Editor:
Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Bayu Indra Permana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deretan musisi ternama Indonesia masih terus menyuarakan keresahan mereka terhadap ketidakjelasan hukum dalam industri musik tanah air.
Mereka turut hadir dalam seminar 'Aspek Hukum dan Bisnis Performing Rights dalam Industri Kreatif' yang digelar di Universitas Pelita Harapan (UPH), Karawaci, Tangerang.
Setelah adanya sidang di Mahkamah Konstitusi, para musisi dari Vibrasi Suara Indonesia (VISI) masih terus mengungkapkan perlunya kepastian hukum soal royalti performing rights.
Armand Maulana selaku ketua VISI menyebut bahwa para penyanyi kerap berada dalam situasi hukum yang tak pasti ketika tampil di panggung.
Baca juga: Kemenkum Pastikan Revisi UU Hak Cipta Bakal Atur Soal Royalti Musik Hingga Penggunaan AI
“Selama ini kami sebagai performer sering kali berada di posisi yang tidak pasti secara hukum, terutama terkait siapa yang berkewajiban membayar royalti performing rights. Ini bukan hanya tentang uang, tetapi tentang kepastian dan keadilan bagi profesi kami,” ujar Armand Maulana di Universitas Pelita Harapan (UPH), Karawaci, Tangerang, belum lama ini.
Senada dengan Armand, Judika menekankan pentingnya membangun ekosistem industri yang sehat dan taat hukum.
“Kalau semua pihak paham kewajibannya, konflik seperti yang sering terjadi soal royalti bisa diminimalisir,” tegas Judika.
Ariel NOAH juga merasa bahwa masih banyak perbedaan tafsir terhadap Undang-Undang Hak Cipta yang menimbulkan kebingungan dan ketakutan di kalangan musisi.
Ia berharap uji materi ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan VISI bisa menjadi titik balik.
“Kami ingin ada kejelasan. Jangan sampai musisi bingung dan takut saat tampil karena masalah hukum yang tidak jelas,” beber Ariel.
“Pastinya kami ingin industri musik Indonesia sehat dan maju. Itu bisa tercapai jika seluruh pelaku ekosistem dilindungi dan diatur secara adil,” lanjut BCL.
Mahasiswa magister hukum Batch 55 UPH pun berharap dapat mendorong terwujudnya tata kelola industri musik yang lebih transparan, akuntabel, dan selaras dengan nilai-nilai perlindungan hukum.
Dan memberikan keadilan sosial, serta dapat menciptakan masyarakat sosial yang aware terhadap permasalahan hukum secara umum dan performing rights secara khusus.
Sebelumnya, penyanyi Sammy Simorangkir menilai sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) multitafsir.
Satu di antaranya yang menyebut pencipta lagu bisa menagih royalti kepada penyanyi secara langsung.
Menurut Sammy, itu sebagai bentuk nyata hilangnya jaminan rasa aman bagi para pelaku pertunjukan.
"Ini adalah bentuk nyata dari hilangnya jaminan rasa aman untuk melaksanakan profesi secara sah dan merupakan bentuk kerugian konstitusional yang nyata sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," kata Sammy sebagai saksi sidang uji materiil UU Hak Cipta dalam perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (17/7/2025).
Ia melanjutkan, hak atas kepastian hukum yang adil serta hak untuk merasa aman dalam menjalani kehidupan sebagai warga negara dan profesional.
Adapun sejumlah pasal yang diuji adalah: Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2).
Terkait sistem pengelolaan royalti di Indonesia sejatinya telah ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 89 ayat (1) hingga (3) UU Hak Cipta.
Pasal tersebut menyatakan bahwa royalti atas lagu dan/atau musik wajib dikelola melalui manajemen kolektif nasional, yakni lembaga yang mewakili para pencipta dan pemilik hak terkait.
Namun pasal itu masih bisa ditafsir lain pada frasa "setiap orang". Sehingga terbuka celah bagi pemegang hak cipta lagu tersebut untuk menagih langsung royalti kepada pelaku pertunjukkan.
Sammy menegaskan, hampir semua lagu membutuhkan kerja kolektif dan kerja dari berbagai pihak musisi, penata musik, produser, backing vokal, penata suara, hingga kru untuk bisa selesai diproduksi dan dikenal publik.
"Jika hak eksklusif atas lagu ditafsirkan sebagai kekuasaan mutlak yang dapat membatalkan kontribusi nyata para pelaku pertunjukan, maka bukan perlindungan hukum yang terjadi melainkan ketimpangan," tegasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.