ASSI: Satelit Orbit Rendah Akan Mendisrupsi Bisnis Telekomunikasi Seluler dan ISP di Indonesia
Satelit LEO adalah satelit yang mengorbit bumi pada ketinggian rendah, biasanya antara 500 hingga 2.000 km di atas permukaan bumi.
Penulis:
Choirul Arifin
Editor:
Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Satelit LEO (Low Earth Orbit) adalah satelit yang mengorbit bumi pada ketinggian rendah, dikhawatirkan akan mengganggu bisnis layanan telekomunikasi seluler di Indonesi.
Jika Pemerintah Indonesia meloloskan pengelola satelit orbit rendah berbisnis di Indonesia, hal itu juga akan mendisrupsi bisnis para penyedia layanan internet service provider (ISP) di Indonesia.
Pandangan tersebut mengemuka dalam acara diskusi pagi Tribunnews bersama 4 media dengan pengurus pusat Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) di Jakarta, Sabtu, 31 Mei 2025.
"Satelit LEO akan menjadi ancaman disrupsi teknologi seluler di Indonesia jika teknologi ini masuk ke Indonesia. Satelit LEO juga menjadi ancaman bagi teknologi ISP di Indonesia," kata Arifiandy Permata Veithzal, Kepala Bidang Kajian dan Pusat Data ASSI.
Baca juga: Industri Menara Telekomunikasi Hadapi Tantangan Operasional Skala Besar
Satelit LEO adalah satelit yang mengorbit bumi pada ketinggian rendah, biasanya antara 500 hingga 2.000 km di atas permukaan bumi.
Satelit LEO memiliki sejumlah kelebihan seperti adalah latensi yang lebih rendah dan kecepatan transfer data yang lebih tinggi, menjadikannya ideal untuk aplikasi seperti komunikasi, penginderaan jauh, dan pemetaan.
Namun biasanya satelit LEO memiliki masa pakai lebih singkat hanya sekitar 5 tahun, dibandingkan satelit yang ditempatkan di orbit yang lebih tinggi.
Beberapa contoh aplikasi satelit LEO untuk mendukung kebutuhan penyediaan internet satelit broadband, pemantauan cuaca dan lingkungan, serta penginderaan jauh untuk pemetaan dan pengawasan.
Sigit Jatiputro, Sekretaris Jenderal Asosiasi Satelit Indonesia mengatakan, tekologi satelit saat ini berkembang sangat cepat. "Itu kita terima sebagai sebuah kenyataan dan ke depan solusi yang dihadirkan akan semakin beragam," ujar Sigit Jatiputro.
"Dari sisi space ekonomi seperti di luar negeri, ini bisa jadi pendorong. Di dalam negeri kita harapkan hal ini juga bisa terjadi melalui kolaborasi," imbuh Sigit.
Menurut dia, banyak faktor yang pendorong perkembangan teknologi satelit yang begitu cepat. "Driven factor-nya banyak seperti dari China, juga inisiatif satelit LEO," ungkapnya.
Dia menilai positif adanya inisiatif pemerintah daerah yang berambisi meluncurkan satelit untuk mendukung pembangan pembangunan ekonomi digital di wilayahnya, seperti disampaikan Pemerintah Provinsi Lampung yang berinisiatif meluncurkan satelit Lampungsat 1.
Menurut Sigit, keinginan seperti itu wajar karena seperti di luar negeri peluncuran satelit juga bisa dilakukan oleh Pemerintah daerah. "Di China, peluncuran satelit dilakukan oleh pemerintah daerah seperti dilakukan di Shanghai," kata dia.
Mengutip Tribun Lampung, Jumat, 30 Mei 2025, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal baru saja menghadiri undangan Pemerintah Provinsi Shandong, di China dengan membawa proyek andalan yakni peluncuran Satelit Lampung-1.
Proyek tersebut diklaim tidak menggunakan APBD Lampung sepeser pun.
Gubernur Mirza hadir di Shandong bersama sejumlah delegasi dari unsur pemerintah dan pelaku usaha dari 24 negara.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Lampung, Ary Meizary Alfian, mengatakan kunjungan Pemprov Lampung ke China atas undangan resmi dari Pemerintah Provinsi Shandong.
Satelit Majukan Sektor Pertanian dan Pertahanan
Sigit menambahkan, satelit sangat membantu perekonomian seperti memajukan sektor pertanian.
"IoT makin banyak,dan banyak area yang tak tercover oleh layanan GSM, hal itu bisa dilayani oleh space (satelit)," ungkapnya.
"Untuk kebutuhan pertahanan, satelit space juga dibutuhkan. Bisa saling mengintegrasikan, misalnya untuk kebutuhan radar."
"Indosat sekarang sudah mengantongi izin telekomunikasi khusus bidang pertahanan. Hal ini mengejutkan dan menunjukkan kebutuhan satelit untuk pertahanan dan bisnis itu semakin melengkapi," beber Sigit,
Menurut dia, Indonesia harus mampu mengejar ketertinggalan dalam pemanfaatan teknologi dengan segala cara baik dengan memaksimalkan talent maupun pengetahuan.
Asosiasi Satelit Indonesia Minggu depan akan menyelenggarakan konferensi tahunan ke-21 Asia Pacific Satellite Conference (APSAT) selama dua hari pada 2 dan 3 Juni 2025 di Jakarta.
Saiful Hidayat Kepala Biro Conference dan Event Asosiasi Satelit Indonesia yang juga Ketua Panitia APSAT 2025 mengatakan, APSAT 2025 merupakan kegiatan tahunan dan sudah yang ke-21 kalinya diselenggarakan Asosiasi Satelit Indonesia.
"Event ini menjadi wadah bagi para pelaku industri satelit yang berbisbis di Indonesia. Ada business player regional dan dunia yang hadir. Di akhir sesi, ada forum diskusi dengan asosiasi terkait seperti MSTEL, APJII dan lain lain.
"Di event tahun ini kita coba hadirkan inovasi di ekosistem satelit, untuk melihat seberapa jauh teknologi bisa memberikan impact (dampak) pada ekosistem satelit di Indonesia.
"Di akhir sesi kegiatan, kita juga akan integrasikan event ini dengan hackathlon, semacam ajang pencarian talent yang diikuti sektor industri satelit dan mahasiswa," sebut Saiful.
Babak finalnya di hari kedua penyelenggaraan APSAT 2025. "Akan ada presentasi dan hasil teknologi yang meteka sudah buat," imbuhnya.
Menurut Sigit, event APSAT 2025 bisa menjadi platform untuk mendiskusikan berbagai peluang pengembangan bisnis satelit dan pemanfaatan teknologi satelit di Indonesia karena akan dihadiri banyak stake holder.
"Di Indonesia, bisnis satelit yang ada belum sepenuhnya bisa diserap oleh sektor pemerintahan. Salah satu penyebabnya karena budgeting masih kecil. Belanja teknologi satelit masih didominasi oleh sektor swasta meski belanjanya juga masih terbatas," bebernya.
Salah satu sektor swasta yang menjadi pelanggan tradisional layanan satelit di Indonesia adalah industri perbankan.
Menurut Sigit, kondisi sebaliknya terjadi di luar negeri di mana satelit yang ditawarkan swasta banyak diserap oleh sektor pemerintahan.
"Tahun 2024 kemarin Telkomsat baru saja meluncurkan Satelit Merah Putih. Tahun ini akan ada peluncuran lagi Satelit Nusantara V dan rencananya meluncur di pertengahan tahun ini dengan kapasitas yang akan menjadi salah satu yang terbesar di Asia," beber Sigit.
Sigit juga menyoroti regulasi soal space di Indonesia yang menurutnya saat ini sudah banyak.
"Kita selalu optimis dalam 2-3 tahun ke depan kita akan berbeda. Di Bappenas sekarang baru saja dibentuk deputi baru yang membidangi infrastruktur satelit. Hal-hal seperti itu yang kita dorong terus," kata Sigit.
Dia menambahkan, 90 persen project space di dunia saat ini dikelola swasta. Sementara di Indonesia, teknologi space yang bisa dikomersialkan bisa dikelola swasta dengan menggunakan skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha).
"Tapi karena investasi satelit ini sangat mahal, kontrak KPBU-nya harus long term (jangka panjang), bisa 10 atau 20 tahun. Kalau term-nya pendek misalnya hanya 5 tahun, investor tidak akan berani masuk karena dana yang diinvestasikan sangat tinggi," tegasnya.
Seperti diketahui, skema KPBU adalah bentuk kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta dalam penyediaan infrastruktur atau layanan publik, di mana pembiayaan dan pengelolaan proyek dilakukan oleh Badan Usaha Pelaksana (BUP) yang umumnya berasal dari utang dan ekuitas.
Skema ini merupakan alternatif pendanaan bagi pemerintah untuk meningkatkan belanja modal dan mendorong inovasi dalam penyediaan infrastruktur.
Kembangkan Pusat Inovasi Regional, Awamio Gandeng Perusahaan Teknologi Malaysia |
![]() |
---|
Pendapatan Emiten Remala Rp86,39 Miliar di Kuartal I 2025, EBITDA Juga Naik |
![]() |
---|
Telkom Terima Audiensi Pemda dan Berbagai Komunitas Papua Selatan Bahas Transparansi Pemulihan SKKL |
![]() |
---|
Perkuat Infrastruktur Digital Nasional, Emiten Remala Abadi Teken MoU dengan 7 Perusahaan |
![]() |
---|
7 Pakar Yakin Israel Kembangkan Program Nuklir, Foto Satelit Mengungkapnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.