Wisata Sumsel
Pasar Burung Palembang, Kisah di Balik Kebakaran dan Munculnya Wak Maman
Pasar Burung di Jalan Masjid Lama, Keluruhaan 17 Ilir, Kecamatan Ilir Timur I, Palembang bisa menjadi pilihan tepat untuk Anda para pencinta burung.
Editor:
Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Sriwijaya Post/Yandi Triansyah
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Anda pencinta hewan peliharaan, seperti burung, kelinci atau ikan?
Nah, Pasar Burung di Jalan Masjid Lama, Keluruhaan 17 Ilir, Kecamatan Ilir Timur I, Palembang bisa menjadi pilihan tepat untuk Anda kunjungi.
Boleh dibilang ini adalah satu-satunya pasar yang menyediakan koleksi burung, ikan hias hingga kelinci di Kota Palembang.
Mengapa dinamakan pasar burung? Menurut para penjual burung yang sudah puluhan tahun ada di sana, ceritanya cukup panjang.

Anak kecil melihat ikan di Pasar Burung Palembang. (Sriwijaya Post/Igun Bagus Saputra)
Tragedi kebakaran tahun 1965 di Palembang membuat ratusan rumah dan bangunan lainnya di sekitar kawasan 16 dan 17 Ilir hagus terbakar.
Konon kejadian itu memang disengaja, karena di kawasan tersebut akan di bangun jalan.
Ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan terpaksa mendirikan tenda pengungsian di sekitar lokasi.
Tak lama dari peristiwa itu, salah seorang warga menjual burung di kawasan tak jauh dari lokasi kebakaran.
Warga tersebut biasa dipanggil Wak Manan.
Perlahan, warga sekitar mulai semangat menata hidup dengan mengikuti jejak Wak Manan, berjualan burung.

Berbagai jenis ikan hias dijual di Pasar Burung Palembang. (Sriwijaya Post/Igun Bagus Saputra)
”Begitulah awal ceritanya,” kata Mang Zul, seorang pedagang burung yang dianggap paling senior dan lama berjualan disana.
Saat ditemui di lokasi tempat ia berjualan burung, Selasa (9/5/2015), Mang Zul mengaku sudah 30 tahun berjualan di sana.
Ia pun masih ingat betul saat rumahnya hangus terbakar.
Saat itu, usiannya baru sekitar 10 tahun.
Menurut dia, dahulu burung masih dihargai satu ekornya Rp 60 atau Rp 150 untuk sepasang.
Jumlah uang tersebut terbilang banyak pada zaman itu, sehingga ia terepincut ikut berjualan burung.
Sebelum penjualan satwa di larang di tempat ini ia juga menjual koleksi burung dari Hongkong.
Namun seiring adanya larangan, tidak ada lagi burung impor.

Hewan kelinci ada di di Pasar Burung Palembang. (Sriwijaya Post/Igun Bagus Saputra)
Sekarang mayoritas burung lokal yang diperjualbelikan.
Seperti burung merpati, perkutut, jalak, boksai, kutilang, murai batu, murai kacer dan kecici.
Harga merpati satu ekornya dibanderol Rp 60 ribu atau sekitar Rp 120 ribu sepasang.
Burung lainnya bisa mencapai Rp 100 ribu bahkan ada di atas itu.
Selain burung, di pasar ini juga dijual hewan peliharaan lain seperti kelinci.
Ada beberapa jenis kelinci, termasuk yang didatangkan dari daerah Jawa Barat dengan harga jual sekitar 100 ribu per ekor.

Berbagai jenis ikan hias dijual di Pasar Burung Palembang. (Sriwijaya Post/Igun Bagus Saputra)
Tak hanya itu, di lokasi Pasar Burung juga banyak yang menjual ikan hias, bahkan ikan konsumsi seperti bibit lele, toman dan lainnya.
Pasar Burung sendiri pernah direlokasi ke Pasar Cinde pada dekade 80an akhir, karena tempat itu rencananya akan dibuat terminal.
Namun terminal yang dijanjikan tidak kunjung ada, sehingga pada tahun 1990-an para pedagang burung kembali lagi.
Seiring berjalannya waktu, pasar tersebut makin tidak terurus.
Di sekitar lokasi pasar sudah banyak dijadikan lahan parkir.
Belum lagi saat hujan menguyur, menyebabkan becek.

Berbagai jenis ikan hias dijual di Pasar Burung Palembang. (Sriwijaya Post/Igun Bagus Saputra)
Pemerintah Kota Palembang sendiri ada rencana akan membangun Pasar Hobi di kawasan Jakabaring.
Aktivitas jual beli hewan peliharaan, termasuk batu akik akan dipusatkan di Pasah Hobi itu.
Namun, rencana tersebut hingga saat ini belum ada kejelasan, apalagi realisasi.
Alhasil, bagi yang hobi memelihara burung, tetap bisa mengunjungi lokasi ini.