Wisata Lampung
Jalan-jalan ke kawasan Pecinan Lampung, Ini Daerah dan Sejarahnya
Kota Bandar Lampung juga memiliki daerah yang ditahbiskan sebagai Chinatown, atau masyarakat setempat biasa menyebutnya Pecinan.
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Sudah jadi rahasia umum, bahwasanya etnis Tiong Hoa selalu membangun kelompok mereka sendiri di seluruh wilayah Indonesia.
Jika di Jakarta terdapat Glodok, Semarang memiliki Kampoeng Semawis.
Kota Bandar Lampung juga memiliki daerah yang ditahbiskan sebagai Chinatown, atau masyarakat setempat biasa menyebutnya Pecinan.

Pertokoan di kawasan Pecinan Lampung. (Tribun Lampung)
Daerah Pecinan berada di Kecamatan Telukbetung. Daerah ini dari dahulu hingga saat ini menjadi permukiman yang dihuni mayoritas masyarakat Tionghoa.
Cik Mat Zein, pemerhati sejarah dan tokoh masyarakat Telukbetung cukup memiliki pemahaman tentang sejarah Pecinan di Lampung.
Menurutnya asal mulanya etnis Tionghoa masuk ke Lampung diperkirakan sejak abad ke 17.
"Daerah pertama kali yang didiami oleh Etnis Tionghoa di Lampung adalah Telukbetung, kalau sekarang berada di Jalan Ikan Kakap, Kelurahan Pasawahan, dan menyebar lagi ke wilayah sekitarnya seperti Pasar Pagi, Kampung Palembang ke arah Selatan, Gudang Lelang lama, dan wilayah Gudang Garam," tutur Cik Mat Zein.
"Kalau kita lihat di Jalan Ikan Kakap terdapat Tepekong Thay Hin Bio, itulah vihara tertua yang ada di Provinsi Lampung, didirikan pada tahun 1850 setelah gunung Krakatau meletus ," ungkapnya dengan penuh semangat di usianya yang tak lagi muda.
Berdasarkan penelusuran Tribun, kawasan yang diungkapkan oleh Cik Mat Zein memang didominasi etnis Tiong Hoa.
Mereka mendiami sebagian besar perumahan toko (ruko) yang nampak klasik, mengingat bangunan tersebut merupakan bangunan lawas yang mempertahankan arsitektur asli.
Seperti di Jalan Ikan Kakap, di wilayah ini kanan kiri jalan merupakan kediaman etnis tiong hoa yang kemudian membuka usaha perniagaan.
Sebut saja toko mentereng seperti Manisan Yen Yen hingga Kopi Bola Dunia yang ternama di produksi di wilayah ini.
Sementara vihara Thay Hin Bio yang berada di Kanan jalan, merupakan vihara yang cukup megah dan mencolok di wilayah ini.
Dominasi warna merah membuatnya nampak mencolok diantara bangunan sekitar. Pada tahun baru imlek, vihara ini akan jadi sentral perayaan umat merayakan pergantian tahun.
Jalanan akan disulap menjadi ajang karnaval yang berhias dengan lampion dan nuansa merah.
Menurut penuturan Cik Mat etnis Tionghoa yang masuk ke Lampung, terdiri dari tiga marga yaitu, Hokkian, Ken Chin Sha, dan Kong Siew Tong.
"Dari tiap marga tersebut mayoritas pekerjaannya seragam, seperti Hokkian mereka rata-rata menjadi saudagar, Ken Chin Sha pekerjaannya pedagang, dan Kong Siew Tong pekerjaannya sebagai buruh tukang," ungkapnya.
Cik Mat Zein juga menuturkan, pada waktu itu kampung Cina dikepalai oleh Tiga orang Bek (Bek berasal dari bahasa Belanda yang berarti Lurah) yaitu bek Tan In, Bek Bumpong, dan Bek Choa Cham.
Mereka bertiga dipilih oleh Belanda sebagai pemimpin atau pengorganisir di kampung Cina. Pada tahun 1945, Bek-bek tersebut diganti namanya menjadi Lurah, dan nama Kampung Cina diganti menjadi Kelurahan Pasawahan, Kecamatan Telukbetung sampai sekarang.
Pada waktu itu, salah satu penampilan khas pada etnis Tionghoa di Lampung adalah gadis-gadisnya berkaki kecil atau kaki lipat. "Semua gadis-gadis Tionghoa dulu kakinya kecil bulat, seperti tidak memiliki kaki saja.
Kalau berjalan tidak bisa cepat. Namun perempuan berkaki kecil terakhir terlihat pada tahun 1955, selanjutnya tidak ada lagi tradisi mengikat kaki pada etnis Tionghoa," tutur Cik mat.