Selasa, 19 Agustus 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Hukum Adaptif sebagai Hukum yang Memerdekakan

Indonesia sudah 80 tahun merdeka. Namun persoalan hukum masih selalu menjadi pekerjaan rumah. 

Editor: Sri Juliati
/SURYA/PURWANTO
Warga memberikan hormat kepada bendera merah putih dengan panjang 80 meter di perempatan Jalan Rajasa, Kelurahan Bumiayu, Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (17/8/2025). Kemerdekaan mestinya tidak berhenti pada persoalan politik. Kemerdekaan harus mampu juga masuk ke dalam ranah hukum. Sebab hukum adalah penopang kebebasan dan kemerdekaan. Tanpa merdeka secara hukum maka kemerdekaan yang kita raih saat ini hanya akan menjadi slogan. 

Oleh: Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

TRIBUNNEWS.COM - Indonesia sudah 80 tahun merdeka. Namun persoalan hukum masih selalu menjadi pekerjaan rumah. 

Kita memang telah lepas dari penjajahan fisik tetapi belum sepenuhnya merdeka dalam hukum. Masih banyak orang lemah yang dipaksa kalah melawan teks. Masih banyak keadilan yang tertunda karena terjebak dalam kata-kata pasal.

Kemerdekaan mestinya tidak berhenti pada persoalan politik. Kemerdekaan harus mampu juga masuk ke dalam ranah hukum.

Sebab hukum adalah penopang kebebasan dan kemerdekaan. Tanpa merdeka secara hukum maka kemerdekaan yang kita raih saat ini hanya akan menjadi slogan.

Hukum Adat dan Identitas Bangsa

Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, secara turun temurun, punya cara sendiri dalam mengatur hidup. Hukum adat menjadi bukti. Ia tidak tertulis tetapi senantiasa ditaati. Masyarakat hidup rukun bukan karena takut sanksi tetapi karena kesadaran ingin menjaga harmoni.

Hukum adat Indonesia lahir dari rasa kolektif. Ia mengikat bukan karena adanya paksaan melainkan karena ia diterima bersama. Orang Jawa mengenal pepatah "rukun agawe santosa." Orang Minangkabau punya adagium "adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah." Semua itu menunjukkan bahwa hukum tidak berdiri di ruang kosong tetapi hadir bersama nilai, agama, dan tradisi.

Menteri Kehakiman pertama, Soepomo pernah mengatakan, hukum Indonesia itu sesungguhnya lebih tepat apabila disebut sebagai hukum integralistik. Artinya, hukum yang dibuat harus melihat manusia sebagai bagian dari masyarakat.

Dalam hukum kita ada ikatan batin, ada gotong royong, ada keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan bersama. Inilah, menurut Soepomo, jati diri hukum bangsa Indonesia.

Positivisme yang Membelenggu

Kehadiran kolonial kemudian mengubah hukum khas masyarakat Indonesia itu. Belanda lebih suka menanamkan hukum barat. Ada dua akibat yang muncul karena pilihan kolinial itu.

Akibat pertama adalah positivisme hukum menjadi lebih dominan hingga saat ini. Segalanya, baik dan buruk, benar dan salah, diukur dengan pasal. Kitab undang-undang lebih dihormati daripada nilai yang telah lama hidup masyarakat.

Baca juga: Menelaah Putusan yang Bernuansa Hukum Adaptif

Akibat yang kedua, positivisme hukum itu lahir di Eropa. Postivisme hukum tumbuh dari masyarakat yang cenderung individualistis. Positivisme hukum lebih mengutamakan kepastian, bukan keadilan substantif. Akibatnya di Indonesia sistem hukum model ini sering bertabrakan dengan kenyataan komunal.

Petani bisa ditangkap bahkan dihukum penjara karena menebang pohon di lahan yang sudah digarap olehnya dari jaman nenek moyang. Masyarakat adat bisa dituduh melanggar hukum hanya karena menjalankan ritual di tanah adatnya sendiri. Semua itu terjadi karena positivisme hukum lebih tunduk pada teks bukan pada realitas.

Kemerdekaan Bukan Kepastian

Positivisme hukum memang mampu memberi kepastian. Tetapi kepastian itu bukan bagian inti dari kemerdekaan. Dalam banyak kasus, kadangkala kepastian justru merupakan sumber belenggu. Hukum, yang tujuan mengejar kepastian an sich,  menjadi laiknya pagar besi. Ia menutup jalan bagi masyarakat yang ingin mencari keadilan.

Kita butuh keberanian untuk keluar dari jebakan kolonialisme itu. Jika kemerdekaan politik sudah kita raih delapan puluh tahun yang lalu maka kemerdekaan hukum harus menjadi agenda berikutnya.

Tawaran Hukum Adaptif

Hukum adaptif adalah jawaban atas semua masalah itu. Jawaban atas agenda kemerdekaan hukum yang coba kita raih.

Hukum adaptif bukan hukum yang liar. Ia tetap punya prinsip. Tetapi prinsip yang ia miliki bersifat lentur. Ia, di sisi lain, bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat. Di sisi yang lainnya lagi ia dapat berjalan bersama perubahan zaman.

Hukum adaptif tidak sekadar menulis pasal. Ia menghubungkan teks dengan konteks. Ia tidak sekadar mengejar pada kepastian tetapi juga mencari kemanfaatan dan menegakan keadilan. Bukan hanya melindungi kekuasaan tetapi melindungi manusia.

Landasan Filosofis

Kant pernah bicara soal otonomi akal budi. Hukum yang adil adalah hukum yang lahir dari kesadaran manusia itu sendiri. Artinya, hukum tidak boleh hanya datang dari luar. Hukum harus menjadi formulasi aturan yang sesuai dengan hati nurani.

Hegel menambahkan, hukum adalah roh objektif. Ia mencerminkan jiwa masyarakat. Jika masyarakat berubah maka hukum pun harus berubah. Hukum yang kaku adalah hukum yang mati.

Dalam Islam, Yaser Auda menegaskan pentingnya maqashid. Hukum harus mempertimbangkan tujuan. Ia harus terbuka, fleksibel, dan memberi kemaslahatan. Dengan cara itu, hukum nantinya tidak menjadi beban tetapi justru menjadi penuntun.

Ketiga tokoh tadi memberi kita pesan yang sama. Pesan tentang hukum yang tidak boleh statis. Hukum harus hidup. Hukum harus berakar pada masyarakat, tetapi juga siap menghadapi masa depan.

Jalan Kemerdekaan Hukum

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka harus menjadi momentum. Kita tidak boleh puas hanya dengan kemerdekaan politik. Kita harus memperjuangkan kemerdekaan hukum.

Hukum adaptif adalah jalan itu. Ia menghormati adat, menghidupkan gagasan integralistik Soepomo, dan membuka diri pada filsafat modern. Ia menjadikan hukum sebagai ruang yang merdeka, bukan ruang yang memaksa.

Indonesia butuh hukum yang tidak menindas rakyat kecil. Hukum yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah hukum yang dapat melindungi tradisi tapi juga memberi ruang bagi inovasi. Hukum yang menjaga harmoni sekaligus menghadirkan kepastian yang adil.

Penutup: Merdeka yang Sebenarnya

Kemerdekaan sejatinya bukan hanya lepas dari penjajahan. Kemerdekaan sejatinya adalah ketika rakyat bisa hidup dalam hukum yang adil. 

Hukum adaptif adalah hukum yang memerdekakan. Ia berdiri di atas sejarah. Ia bergerak bersama masyarakat. Ia menatap masa depan dengan berani.

Itulah tugas kita pada usia 80 tahun kemerdekaan. Membawa hukum Indonesia kembali pada ruhnya. Membuat hukum menjadi jembatan, bukan tembok. Menjadikan hukum sebagai tanda bahwa kita benar-benar merdeka. (*)

Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta (ISTIMEWA/TRIBUNNEWS.COM)
Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan