Rabu, 12 November 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Wonderful Indonesia: Paradoks Promosi Tanpa Pintu Digital

Kampanye pariwisata Indonesia menarik perhatian global, tapi gagal dikonversi karena minim ekosistem digital.

Editor: Glery Lazuardi
IST
WONDERFUL INDONESIA - Iklan Wonderful Indonesia di Berlin memukau, tapi wisatawan asing gagal menemukan pintu masuk digitalnya. 

Muhammad Rahmad

  • Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pariwisata Indonesia
  • Profesional dengan pengalaman sangat luas di bidang pariwisata, diplomasi, dan pendidikan.
  • Dosen Pariwisata Institut Pariwisata Trisakti, Jakarta

Muhammad Rahmad memiliki 14 tahun pengalaman sebagai CEO dan Direktur Utama di perusahaan korporasi bidang pariwisata inbound & outbound, hotel, haji & umrah, investasi, manajemen teknologi informasi, dan perdagangan internasional. 

Selain itu, ia juga memiliki 12 tahun pengalaman sebagai Pimpinan dan Anggota Aktif berbagai Asosiasi Pariwisata seperti WTO, IATA, KADIN, ASITA, KESTHURI, dan AMPHURI.

TRIBUNNEWS.COM - Bayangkan Anda seorang wisatawan Jerman yang baru saja melihat iklan Wonderful Indonesia di bus keliling Berlin. 

Visual Borobudur yang megah, Lake Toba yang memukau, dan Bali yang eksotis berhasil mencuri perhatian Anda. Tertarik, Anda mengambil ponsel untuk mencari informasi lebih lanjut. Dan di sinilah perjalanan impian itu berubah menjadi mimpi buruk digital.

Tidak ada satu aplikasi pun yang bisa memberitahu Anda: bagaimana cara ke Lake Toba dari Jakarta? Berapa biaya totalnya? Di mana membeli tiket pesawat domestik? Hotel mana yang recommended? Bagaimana mengurus visa? Anda harus membuka puluhan website berbeda, aplikasi yang tidak sinkron, dan akhirnya... Anda memilih Thailand yang menawarkan semua itu dalam satu platform terintegrasi.

Inilah tragedi Wonderful Indonesia: kampanye miliaran rupiah yang berakhir sebagai "window shopping" tanpa pintu masuk.

Investasi Besar, Hasil Mengecewakan

Data menunjukkan ironisitas yang menyakitkan. Pada Juli 2025, Indonesia meluncurkan kampanye Open Bus Tour dan Out-of-Home advertising yang "sangat sukses" di Berlin, menampilkan destinasi ikonik seperti Bali, Lake Toba, dan Candi Borobudur. Kampanye serupa juga digelar di Roma selama sebulan penuh (1-31 Juli 2025) dengan target minimal 144.000 pengunjung Italia dari total 2,7 juta wisatawan Eropa yang diharapkan untuk tahun 2025.

Namun realitasnya? Dengan total budget Kemenparekraf sekitar Rp 3,4-3,6 triliun per tahun dan estimasi budget marketing hanya Rp 350-500 miliar, Indonesia hanya mampu menarik 13,9 juta wisatawan mancanegara di 2024 - masih di bawah level pre-pandemi 16,1 juta di 2019. Dari jumlah tersebut, mayoritas masih terkonsentrasi di Bali. Wisatawan Eropa? Masih jauh dari target yang diharapkan.

Bandingkan dengan Thailand yang dengan budget marketing US$ 100-150 juta (hampir 5 kali lipat Indonesia) berhasil menarik 35,5 juta wisatawan di 2024. Atau Singapore yang dengan budget US$ 200+ juta mencatat 16,5 juta wisatawan dengan spending tertinggi di ASEAN.

Teori vs Realitas: Digital Marketing yang Pincang

Menurut teori pemasaran pariwisata modern yang dikembangkan Philip Kotler dan Christian Grönroos, sebuah kampanye harus mengikuti model AIDA yang diperluas: Attention → Interest → Desire → Action → Experience → Advocacy. Indonesia berhasil di tahap Attention dan Interest, namun gagal total di tahap Action karena tidak ada sistem yang memfasilitasi konversi dari ketertarikan menjadi pembelian aktual.

Profesor pemasaran digital dari Cornell University tersebut menekankan pentingnya "seamless digital journey" - dari discovery hingga booking harus dapat diselesaikan dalam satu ekosistem digital. Bahkan menurut teori Customer Journey Mapping yang dipopulerkan oleh McKinsey & Company dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh David Court et al. dalam "The Consumer Decision Journey" menyatakan bahwa setiap "friction point" dalam proses pembelian dapat mengurangi conversion rate hingga 70 persen.

Indonesia memiliki setidaknya 7 friction points:

1. Informasi destinasi tersebar di berbagai website

2. Booking harus melalui OTA pihak ketiga (Traveloka, Tiket.com, Agoda)

3. Visa melalui platform VFS Global yang terpisah

4. Tidak ada trip planner terintegrasi

5. Informasi transportasi lokal tidak real-time

6. Tidak ada unified payment system

7. Customer service terfragmentasi

Setiap friction point ini, menurut riset McKinsey, dapat mengurangi kemungkinan konversi hingga 20%. Dengan 7 friction points, praktis hanya 21?ri calon wisatawan yang tertarik akan benar-benar melakukan perjalanan.

Best Practice yang Diabaikan

Mari kita lihat bagaimana negara-negara sukses menerapkan teori ini:

Singapore dengan "Visit Singapore" app-nya menawarkan semua dalam satu platform: informasi destinasi, booking hotel, tiket atraksi, Singapore Tourist Pass untuk transportasi, bahkan chatbot AI "Merli" yang siap membantu 24/7. Hasilnya? Revenue per tourist mencapai $1,700, tertinggi di ASEAN.

Dubai melangkah lebih jauh dengan Dubai Pass system yang mengintegrasikan semua layanan wisata, dari visa hingga tour virtual, dalam satu aplikasi. Dilengkapi dengan personalization engine yang memberikan rekomendasi berdasarkan preferensi pengguna.

Thailand dengan kampanye "Amazing Thailand" menyediakan platform terintegrasi yang memungkinkan wisatawan merencanakan seluruh perjalanan, dari visa hingga booking aktivitas lokal, dalam satu sistem. Mereka bahkan memiliki Thailand Pass yang menjadi single point of entry untuk semua kebutuhan wisatawan.

All Indonesia App: Terlalu Sedikit, Terlambat

Memang, pada 2025 Indonesia meluncurkan aplikasi "All Indonesia" yang mengintegrasikan layanan dari empat instansi pemerintah - Imigrasi, Bea Cukai, Kesehatan, dan Karantina. Namun aplikasi ini hanya fokus pada proses kedatangan wisatawan internasional, bukan sistem menyeluruh untuk seluruh perjalanan wisata.

Ada pula TIC Digital Nusantara yang diluncurkan Oktober 2024, namun platform ini belum mencakup transaksi end-to-end dan masih bergantung pada OTA pihak ketiga untuk booking aktual. Fragmentasi ini menciptakan pengalaman yang membingungkan bagi wisatawan internasional, terutama dari Eropa yang terbiasa dengan sistem terintegrasi.

Ironisnya, Indonesia sudah memiliki pengalaman sukses dengan Indonesia National Single Window (INSW) untuk ekspor-impor sejak 2010. Sistem ini berhasil mengintegrasikan berbagai layanan publik secara nasional dengan dukungan SDM berkualitas, stakeholder, proses bisnis, dan sistem yang baik. Mengapa konsep serupa tidak diterapkan untuk pariwisata?

Kesenjangan Digital yang Memperparah

Data menunjukkan Indonesia memiliki tantangan infrastruktur digital yang serius. Kecepatan broadband tetap Indonesia berada di peringkat kedelapan dari 11 negara Asia Tenggara. Regulasi yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah semakin menghambat investasi di sektor digital.

Lebih memprihatinkan lagi, pekerja sektor teknologi hanya mewakili 0,8?ri angkatan kerja Indonesia. Ini berarti kapasitas untuk mengembangkan dan memelihara sistem digital terintegrasi sangat terbatas. Bagaimana mungkin membangun ekosistem digital pariwisata yang sophisticated dengan SDM yang minim?

Koordinasi antar instansi yang lemah dan kapasitas implementasi yang rendah, ditambah dengan ketergantungan berlebihan pada OTA pihak ketiga, membuat Indonesia kehilangan kontrol atas customer journey wisatawan. Data perilaku wisatawan yang seharusnya menjadi aset berharga untuk pengembangan strategi malah dimiliki oleh platform asing.

Bali: Berkah yang Menjadi Kutukan

Pariwisata Indonesia sangat bergantung pada daya tarik Bali. Akibatnya, sebagian besar wisatawan asing tertarik dan terkonsentrasi hanya di Bali, yang sudah memiliki budaya dan infrastruktur pariwisata yang cukup berkembang. Dari 13,9 juta wisatawan di 2024, sekitar 5,2 juta masih mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali.

Ketergantungan pada Bali ini menciptakan paradoks: di satu sisi, Bali menjadi magnet yang kuat untuk menarik wisatawan. Di sisi lain, destinasi lain yang dipromosikan dalam kampanye Wonderful Indonesia - seperti Lake Toba, Raja Ampat, atau Labuan Bajo - tetap sulit diakses karena tidak ada sistem terintegrasi yang memudahkan wisatawan untuk mengeksplorasi beyond Bali.

Solusi: Dari Fragmentasi Menuju Integrasi

Indonesia membutuhkan transformasi radikal dalam pendekatan digital pariwisata. Bukan sekadar aplikasi tambahan, tetapi ekosistem digital komprehensif yang mencakup:

1. Single Digital Platform "Indonesia Travel Hub" Platform terpadu yang mengintegrasikan semua layanan dari discovery hingga post-trip review. Bukan sekadar informasi, tetapi transaksi aktual yang bisa diselesaikan dalam satu sistem.

2. Personalization Engine berbasis AI Menggunakan machine learning untuk memberikan rekomendasi personal berdasarkan preferensi, budget, dan perilaku wisatawan. Singapore sudah membuktikan ini meningkatkan conversion rate hingga 40%.

3. Real-time Integration Koneksi langsung dengan maskapai domestik, hotel, operator tour lokal, dan transportasi darat. Tidak lagi bergantung pada OTA pihak ketiga yang mengambil komisi 15-25%.

4. Unified Payment System Satu payment gateway yang menerima berbagai mata uang dan metode pembayaran, termasuk digital wallet yang populer di Eropa seperti PayPal dan Klarna.

5. 24/7 Multilingual Support Chatbot AI yang didukung human agent untuk bahasa-bahasa utama: Inggris, Mandarin, Jepang, Korea, Jerman, Prancis, dan Spanyol.

Budget Reality Check

Implementasi sistem ini membutuhkan investasi signifikan. Estimasi konservatif: US$ 50-100 juta untuk pengembangan platform, US$ 20-30 juta per tahun untuk maintenance dan improvement. Ini setara dengan 20-40?ri total budget marketing tahunan Indonesia saat ini.

Namun, ROI-nya jelas: Thailand dengan sistem terintegrasi mampu menarik 215 wisatawan per US$ 1 juta budget, sementara Indonesia hanya 60 wisatawan. Jika Indonesia bisa mencapai efisiensi Thailand, dengan budget yang sama bisa menarik 3,5 kali lipat wisatawan.

Lebih penting lagi, sistem terintegrasi akan meningkatkan revenue per tourist. Saat ini Indonesia mendapat US$ 1,000 per wisatawan, sementara Singapore dengan sistem terintegrasi mencapai US$ 1,700. Peningkatan 70% revenue per tourist akan menghasilkan tambahan pendapatan US$ 9,8 miliar per tahun dengan jumlah wisatawan yang sama.

Dari Window Display ke One-Stop Shop

Wonderful Indonesia telah berhasil menciptakan "window display" yang menarik di panggung global. Visual yang memukau, storytelling yang engaging, dan brand recognition yang meningkat. Namun tanpa "pintu masuk digital" yang mudah diakses, kampanye miliaran rupiah ini hanya akan menjadi pajangan indah yang dikagumi tapi tidak dikunjungi.

Era digital menuntut lebih dari sekadar promosi yang menarik. Wisatawan modern, terutama dari Eropa yang terbiasa dengan kemudahan digital, mengharapkan seamless experience dari inspirasi hingga realisasi. Mereka tidak mau repot membuka 10 website berbeda, mengunduh 5 aplikasi terpisah, dan berkoordinasi dengan berbagai vendor untuk satu perjalanan.

Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi destinasi wisata utama dunia: 17.000 pulau, keragaman budaya yang luar biasa, keindahan alam yang memukau, dan keramahan yang legendaris. Namun potensi ini akan tetap terkubur jika tidak didukung infrastruktur digital yang memadai.

Pilihan ada di tangan pembuat kebijakan: tetap bertahan dengan pendekatan fragmentasi yang terbukti tidak efektif, atau berani berinvestasi dalam transformasi digital yang komprehensif. Negara-negara kompetitor sudah jauh melangkah. Thailand, Singapore, Malaysia, bahkan Vietnam sudah memiliki platform terintegrasi yang memudahkan wisatawan.

Pertanyaannya bukan lagi "apakah Indonesia perlu sistem terintegrasi?" tetapi "berapa lama lagi Indonesia mau tertinggal?" Setiap hari tanpa sistem terintegrasi adalah peluang yang hilang, wisatawan yang beralih ke kompetitor, dan devisa yang melayang.

Wonderful Indonesia memang wonderful dalam konsep dan visual. Namun tanpa wonderful implementation dalam bentuk layanan digital satu atap, kampanye ini hanya akan menjadi catatan kaki mahal dalam sejarah pariwisata Indonesia. Sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana iklan yang megah tanpa infrastruktur yang memadai hanya akan menghasilkan klik yang minim dan konversi yang menyedihkan.

Sudah saatnya Indonesia bergerak dari "Wonderful Indonesia" menjadi "Accessible Indonesia" - di mana keindahan yang dipromosikan dapat diakses dengan mudah melalui satu pintu digital yang truly wonderful.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved