Selasa, 12 Agustus 2025

Gadis Suku Sasak Pun Gandrung SM*SH

IMPUL (15) dan Yuli Sartika (14) terlihat menunjuk sebuah poster sebuah grup boyband di bilik rumah adat suku Sasak

Editor: Prawira
zoom-inlihat foto Gadis Suku Sasak Pun Gandrung SM*SH
TRIBUNNEWS.COM/DANY PERMANA
Personil Boy Band Smash saat menghadiri launching album pertama Smash, di Planet holywood, Jakarta, Kamis (7/7/2011). Hari ini Smash meluncurkan album perdana berjudul sama dengan nama band mereka, Smash. Album tersebut berisi 10 lagu dengan lagu unggulan Snyum Semangat, I Heart You, dan Ada Cinta. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

Oleh Ferri Amiril Mukminin

IMPUL (15) dan Yuli Sartika (14) terlihat menunjuk sebuah poster sebuah grup boyband di bilik rumah adat suku Sasak, Desa Sade, Kecamatan Punjut, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sambil meneriakkan nama-nama personel grup tersebut, mereka bernyanyi dengan logat dan suara yang khas.

Beberapa poster grup boyband berderet sengaja dipasang tepat di sebuah bale tempat mereka berkumpul untuk belajar dan bermain. Sore itu, suasana Desa Sade tidak terlalu panas. Awan mendung sedikit menaungi teriknya matahari. Kampung Sasak berjarak dua jam perjalanan dari Kota Mataram. Lokasi rumah adat ini terletak sebelum Pantai Kuta Tanjung Aan.

"Saya suka Morgan, makanya dipajang posternya, lagu yang paling saya suka berjudul Senyum Semangat," ujar Impul, yang yang mengenakan pakaian adat Bendang ini. Pengaruh Rafael, Morgan, Rangga dan personel boyband SM*SH ternyata tidak hanya digandrungi di wilayah perkotaan saja.

Anak-anak remaja suku Sasak yang berada di daerah juga ternyata hafal semua lagu yang dibawakan SM*SH. Selain grup band SM*SH, beberapa grup band lainnya cukup terkenal diantara remaja suku Sasak.

Di Desa Sade, suku Sasak sudah tinggal lebih dari 300 tahun dengan lima generasi yang telah hidup di daerah sana. Di Desa Sade ada sekitar 150 rumah, yang dihuni oleh 700 orang dan masih satu famili atau kelompok. Untuk mempertahankan kelompok, suku
Sasak mempunyai kebiasaan dengan mencari pasangan hidup dari kelompok sendiri dan tidak mencari dari luar.

Seorang warga Desa Sade, Menaf (31), mengatakan kebiasaan tersebut hingga saat ini masih terus berlangsung. "Mencari pasangan masih secara intern, untuk mempertahankan kerabat, nikah bisa mencari dari keponakan," ujarnya Rabu (23/11).

Ada beberapa tahapan sebelum pernikahan yang menjadi adat istiadat warga. Hal pertama yang dilakukan calon suami adalah menculik calon istri keluar dari Kampung Sasak. Kebiasaan menculik ini untuk menghormati orang tua perempuan. Biasanya setelah menculik baru ada percakapan antara orang tua perempuan dan orang tua laki-laki.

Bila sudah mendapatkan calon istri, pihak orang tua suami akan bertandang ke rumah calon istri untuk bertanya perihal mas kawin dan biaya pernikahan. "Setelah sepakat maka pernikahan bisa dilangsungkan," ujarnya.

Prosesi pernikahan sendiri cukup unik. Biasanya pengantin diwajibkan untuk berjalan sejauh dua kilometer menuju rumah dengan diiringi oleh tarian dan musik tradisional. "Setelah menikah, pengantin baru akan menempati Bale Kodong, sebuah rumah adat berukuran sekitar 2X2 meter," katanya.

Beberapa nama rumah adat di Desa Sade adalah Bale Soko Enem (sebuah aula tempat pertemuan), Bale Kodong (rumah pengantin baru atau untuk lansia), dan Bale Bontar (rumah untuk keluarga yang sudah mempunyai anak).

Bagin atap rumah adat suku Sasak terbuat dari alang-alang yang tidaak tembus air dan bisa bertahan sampai dengan sembilan tahun. Bagian dindingnya menggunakan bilik dari bambu. Untuk tiang-tiangnya juga kebanyakan terbuat dari bambu.

Hal menarik yang ada di rumaah adat suku Sasak adalah lantai rumah yang terbuat dari tanah liat dicampur sekam dan kotoran sapi. Untuk membersihkan lantainya pun menggunakan kotoran sapi yang belum lama keluar dari sapi.

"Pel pakai kotoran sapi, lantai tanah sekam campuran kotoran sapi, ukuran rumah rata-rata 5X4 meter," katanya. Ada larangan mengenai letak rumah dan posisinya yang harus dipatuhi oleh semua penduduk, yakni posisi rumah tidak boleh menghadap utara selatan, melainkan harus menghadap barat ke timur.

Mata pencaharian penduduk asli sehari-hari sebagai petani. Namun karena lahan yang kurang subur dan minim air padi yang dihasilkan dari panen hanya satu kali dalam setahun, yang disebut padi Gogorancah. Beruntung saat ini Desa Sadea menjadi kampung wisata, sehingga tidak heran jika kain songket yang dihasilkan dari tangan penenun banyak dibeli oleh pengunjung sehinggaa meningkatkan ekonomi masyarakat setempat.

Beberapa ritual masih dilaksanakan oleh warga suku Sasak, seperti Bau Nyale, dimana seluruh warga akan turun ke laut di satu tanggal untuk menyaring ikan cacing. Hal tersebut erat kaitannya dengan cerita seorang putri yang terjun ke laut. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan