Bolehkah Menjamak Salat Karena Terjebak Macet?
Bagaimana jika saat adzan berkumandang, kita benar-benar terjebak kemacetan, tanpa bisa singgah ke Masjid? Bolehkah menjamak sembahyang?
Editor:
Anita K Wardhani

TRIBUNNEWS.COM - Macet sudah jadi masalah bagi warga Jakarta. Tidak sedikit warga ibukota meminggirkan kendaraannya di sebuah masjid demi menunaikan ibadah sembahyang saat tiba waktunya.
Namun bagaimana jika saat adzan berkumandang, kita benar-benar terjebak kemacetan, tanpa bisa singgah ke Masjid? Bolehkah menjamak sembahyang karena kemacetan lalu lintas?
Seperti diawabnya, "Boleh. Jawaban ini dikutip dari Situs resmi Nahdatul Ulama yang menyarikan dari Bahtsul Masa'il Musyawarah Kerja Cabang (Mukercab) PCNU Jakarta Selatan pada 7 Februari 2010 lalu.
Disebutkan dasarnya satu riwayat yang mengisahkan Rasulullah pun dalam keadaan segar-bugar, pernah menjamak sembahyang di Madinah tanpa alasan-alasan berat." Hal ini sesuai dengan yang termaktub dalam Bughyatul Mustarsyidin
"Kami mempunyai pendapat yang membolehkan jamak bagi seseorang yang tengah menempuh perjalanan singkat yang telah dipilih oleh Syekh Albandaniji. Sebuah hadis mengungkapkannya dengan jelas, walaupun jamak dilakukan oleh hadirin (bukan musafir) seperti tercantum dalam Syarah Muslim. Dari Abu Ishak, Alkhatthabi menceritakan kebolehan jamak dalam perjalanan singkat karena suatu hajat. Hal ini boleh saja meskipun bukan dalam kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan sakit. Ibnul Munzir pun memegang pendapat ini,"
Begitu pula keterangan yang terdapat di dalam Kifayatul Akhyar
"Menurut Imam Nawawi, Pendapat yang membolehkan jamak sembahyang bagi orang sakit, sudah terang. Dalam shahih Muslim, Nabi Muhammad SAW menjamak sembahyang di kota Madinah bukan dalam kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan sakit. Menurut Imam Asna'i, Pilihan Nawawi didasarkan pendapat Imam Syafi`i yang tercantum dalam kitab Mukhtasar Imam Muzanni. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah perbandingan dimana alasan sakit laiknya perjalanan jauh menjadi alasan sah orang untuk membatalkan puasa. Kalau puasa saja boleh dibatalkan, maka penjamakan sembahyang lebih mendapat izin. Bahkan sekelompok ulama membolehkan jamak bagi hadirin untuk sebuah hajat. Dengan catatan, ini tidak bisa menjadi sebuah kebiasaan. Abu Ishak Almaruzi memegang pendapat ini. Ia mengutipnya dari Syekh Qaffal yang diceritakan oleh Alkhatthabi dari ahli hadis. Ibnul Munzir Syafi`i dan Syekh Asyhab Maliki menganut pendapat di atas.
Berikut ini pendapat Ibnu Sirin yang diperkuat oleh cerita Ibnu Abbas. Ketika sebuah hadis mengatakan bahwa Rasulullah SAW. menjamak sembahyang zuhur dengan Asar, dan Magrib dengan Isya bukan dalam kondisi terganggunya keamanan maupun hujan lebat, Ibnu Abbas berkomentar bahwa dengan jamak itu, Rasulullah SAW. tidak mau memnyusahkan umatnya. Saat Said bin Jubair bertanya, `Mengapa Rasulullah SAW. melakukannya?' Ibnu Abbas menanggapi, `Rasulullah SAW. tidak mau merepotkan umatnya. Karena itu, Beliau melakukannya tanpa sebab sakit atau alasan lain,'" .
"Sebagian ulama mazhab Syafi`i dan mazhab lain, secara mutlak membolehkan jamak takdim bagi hadirin, tidak sakit, atau alasan lain. Syekh Namari menyebutkan ulama yang sejalan dengan pendapat di atas, antara lain Ibnu Sirin, Rabi`ah, Qaffal Shagir, Asyhab Maliki, Ibnul Munzir Syafi`i, Qaffal Kabir, dan Ahmad bin Hanbal.
Sementara sejumlah ulama membolehkan jamak dengan catatan tidak untuk kebiasaan. Jumlah mereka ini tidak terhitung. Hukum fikih di atas berlaku untuk jamak takdim. Sedangkan untuk jamak takhir, ulama dengan jumlah besar membolehkannya." (nu.or.id)
Klik juga: