Blog Tribunners
Toleransi dan Kerukunan Beragama Redam Terorisme
Langkah antisipsi dengan menjaga kerukunan umat beragama
Penulis:
Yohanes Wawengkang
Editor:
Widiyabuana Slay
Tribun Jabar/GANI KURNIAWAN
Salah seorang menyampaikan sambutan pada peringatan Hari Toleransi Internasional di halaman Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Jumat (16/11/2012). Pada acara tersebut juga dideklarasikan gerakan Bandung Lautan Damai yang bertujuan mempromosikan toleransi di kalangan masyarakat dalam menghadapi perbedaan. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan terdakwa teroris Supriyadi alias Upik Pagar, Agus Prasetyo alias Ayas alias Aidil alias Akbar mengatakan, para peserta pelatihan diberi tiga buah peluru untuk latihan menembak dari jarak 10 meter.
Situasi di Poso sendiri, personel TNI dengan senjata lengkap terus bersiaga di ujung Dusun Tamanjeka, Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso. Sebanyak 200 personel gabungan TNI Polri selama tiga hari menyisir pegunungan Kalora untuk mencari sejumlah terduga teroris dan bahan-bahan peledak yang diduga masih disembunyikan.
Sejak serangan 11 September 2001 di New York, dunia telah mendeklarasikan diri perang terhadap “teroris dan terorisme”, yang pada mulanya dimotori oleh Amerika Serikat.
Istilah terorisme kini menjadi semakin misterius. Negara-negara di dunia pun lantas mengantisipasi adanya teroris di dalam negeri mereka. Indonesia, misalnya, terutama sejak Bom Bali I, juga turut mengantisipasi, bahkan juga ikut berpartipasi dalam memerangi terorisme.
Teror atas nama apa pun biasanya menghendaki adanya perubahan terhadap kondisi yang ada. Ada dua target yang berbeda, yakni target kekerasan dan target pengaruh terhadap masyarakat luas. Akan tetapi tetap pada kerangka untuk mencapai tujuan-tujuan politik, meski terkadang juga untuk mencapai tujuan agama. Perbedaan cara pandang terhadap penyelesaian masalah, bisa jadi merupakan alasan kuat para teroris untuk melakukan perubahan.
Dengan demikian, harus dilihat pula bahwa para pelaku terorisme seringkali mengklaim bahwa mereka tidak memiliki pilihan selain aksi-aksi terorisme.
Setidaknya ada tiga gejala psikologis dalam kelompok terorisme, yaitu pertama, kelompok “fight-flight”, yang menemukan diri mereka terkait dengan dunia luar di mana terdapat ancaman dan ketidakadilan. Kelompok ini bertindak seolah satu-satunya cara untuk mempertahankan diri sendiri adalah dengan bertempur melawan atau menghindari musuh.
Kedua, kelompok “dependency”, di mana ada kepatuhan pada seorang pemimpin yang sangat berkuasa. Para anggotanya menggantungkan setiap keputusan pada pemimpin.
Ketiga, kelompok “pairing”, yang bertindak seolah-olah kelompok itu akan melahirkan juru selamat yang akan menyelamatkan mereka dan menciptakan dunia yang lebih baik.
Untuk kondisi di Poso, kelompok teoris yang ada lebih kepada kelompok fight flight yang memandang bahwa terdapat ancaman berupa pembantaian terhadap umat Islam seperti kasus di Ambon dan Poso pada tahun-tahun sebelumnya sehingga perlu mempersiapkan diri.
Langkah antisipsi dengan menjaga kerukunan umat beragama dan toleransi sehingga tidak terjadi konflik SARA menjadi jalan utama yang harus selalu dikedepankan oleh para stakeholder. Terorisme tidak dapat berkembang jika kondisi masyarakat damai, sejahtera dan saling menghormati antar sesamanya.