Pemilu 2014
DKPP Dinilai Mainkan Jurus Meliuk untuk Selamatkan KPU
DKPP takut jika KPU diberi sanksi, maka Pemilu 2014 akan terganggu.
Penulis:
Eri Komar Sinaga

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dilanda ketakutan berlebihan, jika memberikan sanksi kode etik kepada komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). DKPP takut jika KPU diberi sanksi, maka Pemilu 2014 akan terganggu.
"DKPP jelas menghindar, memainkan jurus meliuk agar KPU tidak jadi sasaran sanksi, meskipun ditemukan fakta-fakta pelanggaran etik di dalamnya," ujar Ray yang sempat memantau jalannya sidang putusan DKPP di Jakarta, Selasa (27/11/2012).
"Setidaknya, dengan berbagai pertimbangan dan fakta-fakta hukum di persidangan, DKPP dapat memberi sanksi teguran kepada KPU," imbuh Ray.
Menurut Ray, keputusan sidang DKPP kali ini adalah keputusan kompromistis. Artinya, lebih baik kompromi daripada menghukum.
Kompromi-kompromi DKPP yang terlihat nyata, adalah bagaimana lembaga yang dipimpin Jimly Asshiddiqie akhirnya mengorbankan jajaran Sekretariat Jenderal KPU menjadi tumbal, agar KPU tidak disalahkan.
Sekalipun diakui ada keruwetan yang mengakibatkan verifikasi administrasi tidak dijalankan semestinya, maka kesemerawutan tersebut dibebankan kepada para tim pokja di bawah koordinasi kesetjenan.
"Karena itu, sekjen lah yang harus bertanggung jawab terhadap seluruh kesemrawutan. Dengan begitu, mereka mendapat sanksi rekomendasi pemecatan atas kinerja mereka," tutur pemilik nama asli Ahmad Fauzi.
Kompromi makin terasa, manakala DKPP meminta KPU segera memulihkan hak 18 parpol, yang sebelumnya dinyatakan tidak lolos oleh KPU.
"Makin tak jelas, siapa penanggungjawab lolos atau tidaknya parpol. Jika yang menyatakan tidak lolos adalah KPU, mengapa sanksi kelalaian justru dibebankan kepada kesetjenan. Di sinilah bolak-balik peradilan etik DKPP bermula dan berputar," beber pria kelahiran Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Jadi, meski ada peranan kesetjenan yang mengakibatkan beberapa parpol terabaikan haknya, membebankan semua kesalahan kepada setjen, bukan saja bersifat kompromi, tapi juga tidak adil. (*)