Perajin Dandang Cipaku Bertahan Agar Tidak Punah
PEKERJAAN membuat seeng atau dandang untuk menanak nasi secara tradisional sudah mulai jarang ditemukan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Teuku Muh Guci S
TRIBUNNEWS.COM -- PEKERJAAN membuat seeng atau dandang untuk menanak nasi secara tradisional sudah mulai jarang ditemukan. Dari sekian yang jarang itu, Didi Nur Alam (40) dan Tandang (45) masih menjalani pekerjaan tersebut dengan telaten.
Kedua pria warga RT 04/RW 12 Kampung Pabeyan, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, itu tak merasa putus asa melakoni usaha yang dirintis orang tua mereka sejak tahun 1940.
Di sebuah bengkel pembuatan dandang yang berukuran 2x3 meter, Didi dan Tandang setia berteman dengan palu dan aluminium yang memenuhi tempat mereka bekerja setiap harinya.
Alat-alat yang mereka gunakan dalam membuat dandang pun masih tradisional. Mulai palu, tempat melelehkan aluminium, tempat mencetak dandang, dan peranti lainnya yang mendukung pembuatan dandang secara tradisional.
"Total ada 15 alat yang kami buat sendiri untuk membuat dandang. Misalnya seperti palu tatampel, jantur, dan masih banyak rupanya," ujar Tandang ketika ditemui Tribun di bengkel miliknya, Selasa (5/2/2013) siang.
Ketika membuat dandang, sesekali keduanya mengubah posisi lantaran berbagi tugas. Didi yang berambut putih mencoba melelehkan setumpuk aluminium bekas di alat pembakaran yang masih menggunakan arang. Cara membakarnya pun tradisional, menggunakan tenaga angin yang dikeluarkan alat ciptaannya sendiri.
"Dari kayuh sepeda keluar angin dari bawah. Sistem kerjanya seperti tempat pembakaran sate," ujar Didi.
Tandang memukul palu ke arah dandang yang baru dibuatnya. Ia begitu tekun memukul dandang dengan sebuah palu khusus. Masyarakat yang tinggal tak jauh dari bengkel mereka pun tak menghiraukan suara dentuman yang dihadirkan dari tangan Tandang. Sebab, suara keras telah terbiasa mereka dengan sejak puluhan tahun lalu.
"Dulu kampung ini memang semuanya perajin dandang. Tapi sekarang bisa dihitung jari," ujar Tandang
Namun, perasaan lain menggelayut di hati Tandang dan Didi yang sudah sekian lama menjadi perajin dandang atau seeng, biasa warga desa menamai alat untuk menanak nasi itu.
Pasalnya, alat-alat modern telah membanjiri pasar, termasuk juga di wilayah mereka yang dulu menjadi habitat alat masak tradisional. Tentu saja, hal tersebut seolah menutup pintu usaha yang selama ini mereka geluti.
Tandang bercerita, kejayaan pernah dialaminya. Pria berambut kriting ini mengatakan, sempat memiliki delapan pekerja yang ikut membantu usahanya. Baik pesanan maupun permintaan pembuatan dandang saat itu begitu membeludak.
Namun memasuki era reformasi semua mimpi dan harapannya pupus seketika. "Sekarang paling barang kami hanya laku di sekitaran kampung saja. Itu pun paling hanya laku satu dandang setiap harinya. Dulu saya bisa menjual ratusan dalam sehari," kata Tandang.
Tandang pun mengatakan, pelanggan setianya tidak hanya warga Kabupaten Bandung saja. Dandang buatannya selalu sampai Tasikmalaya dan Garut. Namun kini Garutlah yang menjadi produsen dandang secara massal.
Bahkan warga Kabupaten Bandung lebih memilih membeli dandang buatan Garut. Padahal dari segi kualitas, kata Tandang, dandang buatannya lebih baik lantaran bisa bertahan seumur hidup. Menurutnya, pembuatan dandang secara massal hanya bertahan sebentar.