Pemerintah Jepang Belum Ajukan Klaim Minerba Indonesia ke WTO
Pemerintah Jepang tidak akan gegabah dalam mengajukan klaim terhadap larangan ekspor minerba Indonesia.
Editor:
Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Pemerintah Jepang tidak akan gegabah dalam mengajukan klaim terhadap larangan ekspor minerba Indonesia. Sehingga akan mempertimbangkan dan berkonsultasi dengan banyak pihak karena ini sudah menyangkut negara, sudah bukan urusan pribadi atau swasta atau perorangan atau badan tertentu lagi.
"Pihak Jepang pun, ini negara lho, tidak bisa gegabah main ajukan ke badan perdagangan dunia (WTO) mengenai larangan ekspor minerba Indonesia, karena harus mempertimbangkan banyak hal dan koordinasi dengan banyak kementerian seperti kementerian ekonomi perdagangan dan industry (METI), kementerian luar negeri, kementerian keuangan dan sebagainya," papar Naohisa Miyakawa, Ketua Umum Asosiasi Industri Pertambangan Jepang khusus kepada Tribunnews.com, Kamis (4/9/2014) di kantornya.
Jadi sampai saat ini pengajuan klaim ke WTO belum dilakukan oleh Pemerintah Jepang.
"Mereka masih mempertimbangkan baik-baik dan dalam-dalam karena ini menyangkut negara dan kaitan hubungan baik yang sudah ada selama ini harus dijaga dengan baik. Jangan sampai karena hal ini hubungan kedua negara jadi rusak. Kami pun dari pihak asosiasi sebenarnya ingin berdamai agar tercapai kesepakatan win-win solutions bersama," ungkap Miyakawa.
Mengenai solusi misalnya menaikkan pajak ekspor dan membangun smelter di Indonesia, Miyakawa juga melihat hal tersebut agak sulit.
"Secara keseluruhan bisnis pertambahan ini khususnya nikel yang diimpor dari Indonesia tidaklah menguntungkan besar. Jadi kalau dikenakan misalnya pajak ekspor yang besar, hal ini menjadi beban berat dan kami masih akan menghitung lebih serius lagi besar keuntungan lebih lanjut. Sepertinya sulit untuk mendapatkan untung yang pantas kalau sampai kebijakan tersebut diubah dengan peningkatan pajak ekspor yang tinggi," ujarnya.
Demikian pula ajakan Indonesia agar Jepang membuka pabrik smelter di Indonesia tidaklah semudah yang diucapkan.
"Banyak sekali yang harus dipikirkan karena pertambahan itu kan letaknya di pegunungan. Bagaimana dengan infrastrukturnya, bagaimana dengan jalan rayanya, bagaimana dnegan tenaga listriknya, bahan minerba yang bagaimana ada di sana dan sebagainya harus diriset disurvei dengan baik dan mendalam, makan waktu tidak pendek dan investasi sangat besar. Apakah akan menguntungkan nantinya? Belum tentu. Sedangkan Freeport selama ini memang mereka produsen tambang sejak lama dan memang juga sudah memiliki smelter yang baik, lokasi yang baik sehingga tak masalah segalanya. Tetapi kalau kita mulai dari nol di Indonesia, kayaknya sulit ya, meskipun kita punya teknologinya," katanya.
Dari data Asosiasi tersebut per tahun 2013 untuk nikel saja dari 85.403 ton yang diimpor Jepang, 42.022 ton diimpor dari Indonesia. Berarti 49,2 persen nikel dari Indonesia dan kebutuhan Jepang sangat tergantung dari Indonesia.
Tak heran produsen dan industri nikel Jepang khususnya berteriak kencang saat larangan ekspor minerba Indonesia diberlakukan Januari tahun ini.
Jumlah tersebut kemudian disiasati Jepang dengan mengimpor dari Filipna mulai Februari lalu dan Maret lalu dari Chili. Selain itu juga ada impor dari New Kaledonia.