UU Anti Konspirasi Jepang Mulai Diberlakukan, Unjuk Rasa Menentang Masih Terjadi
Hari ini dimulainya UU Anti Konspirasi Jepang (Kyobozai), pembaharuan dari UU Penalti Kriminal Terhadap Organisasi Kejahatan dan Terorisme.
Editor:
Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Selasa (11/7/2017) hari ini dimulainya UU Anti Konspirasi Jepang (Kyobozai), pembaharuan dari UU Penalti Kriminal Terhadap Organisasi Kejahatan dan Terorisme.
Namun kelompok menentang UU yang baru ini masih keras menyuarakan perlawanan kepada pemerintah di depan gedung parlemen Jepang.
"UU ini sangatlah penting untuk melindungan masyarakat terutama keamanan mereka dan kita telah melakukannya yang terbaik melindungi kebebasan mereka serta hak asasi mereka. Saya tak akan melupakannya," kata Menteri Kehakiman Jepang, Katsutoshi Kaneda (67), Selasa (11/7/2017).
Pengacara Jepang Yuichi Kaifu menentang UU Anti Konspirasi ini.
"Pada hakekatnya untuk menekan dan membungkam kita semua melawan ketidaksetujuan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu kita akan menentangnya terus dan mengkampanyekan pembatalan UU tersebut," kata Yuichi Kaifu.
Ribuan pengunjuk rasa ingin agar Kyobozai dihapuskan karena ditakutkan justru akan mengorbankan orang yang tak mengerti akan hukum, terperangkap hukum tersebut.
Baca: Pasangan Selamet dan Nenek Rohaya Nikmati Bulan Madu di Hotel
Pemberlakuan Kyobozai hari ini termasuk 277 tindakan kriminal yang termasuk di dalamnya seperti terorisme, pembakaran, juga penggunaan narkoba, perdagangan manusia dan penipuan.
Seseorang yang ikut dalam rapat rencana melakukan terorisme, dia tahu atau tak tahu, sadar atau tak sadar, kalau tertangkap polisi saat ikut rapat tersebut, maka orang tersebut akan terkena pasal Kyobozai tersebut.
Sedangkan di masa lalu, kalau tak ada bukti terorisme maka belum dapat ditangkap.
Perubahan besar ini sebenarnya apa latar belakang dan tujuannya?
Pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe telah membingkai undang-undang tersebut sebagai alat penting untuk mengantisipasi terorisme menjelang Olimpiade Tokyo 2020, dan perlu meratifikasi sebuah perjanjian UN mengenai kejahatan terorganisir internasional.
Jepang adalah satu-satunya negara di antara negara-negara Kelompok Tujuh (G7) yang belum meratifikasi konvensi tersebut meskipun telah menandatanganinya pada tahun 2000.
Namun, para penentang yang termasuk ahli hukum Jepang telah memperingatkan bahwa definisi kelompok teroris dan kelompok kriminal terorganisir lainnya tidak jelas.
Definisi kelompok teroris dan kriminal terorganisir (yakuza) menyisakan ruang bagi siapa pun untuk dihukum.
Para pengacara Jepang juga mengkritik bahwa aplikasi hukum tentang pelanggaran termasuk hal-hal yang tampaknya tidak terkait dengan kejahatan terorganisir, seperti pencurian produk kehutanan bisa terkena Kyobozai ini.